Tunda Sidang Pleno, DPR Lemparkan Bola ke KPU
Rapat Paripurna DPR RI yang sedianya digelar pada Kamis (22/8/2024) pagi kemarin, batal dilaksanakan. DPR RI memutuskan untuk menunda rapat paripurna yang beragendakan Pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah sebagai Revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tersebut, karena jumlah peserta rapat yang hadir ketika itu tidak memenuhi kuorum. DPR RI memutuskan rapat pleno tersebut dijadwal ulang namun belum ditentukan waktunya.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, yang memimpin rapat pleno itu, memutuskan penundaan rapat dengan mengatakan bahwa rapat tersebut hanya dihadiri oleh 176 Anggota DPR RI, yang terdiri dari 89 orang hadir secara fisik dan 87 orang izin tidak menghadiri secara langsung. Dasco mengatakan, jumlah tersebut tidak memenuhi persyaratan kuorum karena kurang dari 50 persen dari total jumlah Anggota DPR RI plus 1. Anggota DPR RI berjumlah 575 orang. Artinya, minimal rapat itu harus dihadiri 289 orang Anggota DPR RI. Selain itu, kuorum juga tidak terpenuhi karena tidak dihadiri perwakilan dari seluruh fraksi yang ada di DPR RI.
“Oleh karena itu, kita akan menjadwalkan kembali rapat Bamus (Badan Musyawarah) untuk rapat paripurna karena kuorum tidak terpenuhi,” kata Sufmi Dasco Ahmad.
Penundaan rapat pleno itu dilakukan di tengah berlangsungnya aksi unjuk rasa memprotes upaya DPR merevisi UU Pilkada di luar Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, yang digelar sejak Kamis pagi. Sejumlah elemen masyarakat sipil, mulai dari mahasiswa, dosen, akademisi, tokoh masyarakat, artis, selebritis, hingga influencer dan selebgram, Kamis (22/8/2024) melakukan aksi unjuk rasa yang diberi tajuk “Peringatan Darurat Indonesia”. Isu utama yang dibawa dalam aksi itu adalah menolak pengesahan Revisi UU Pilkada. Aksi tersebut serentak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, antara lain di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Makassar.
Sehari sebelumnya, Rabu (21/8/2024), Badan Legislatif (Baleg) DPR dan pemerintah menyepakati untuk melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur atau RUU Pilkada dalam Rapat Paripurna DPR terdekat agar disahkan menjadi undang-undang.
Revisi UU Pilkada tersebut dilakukan sehari setelah MK (Mahkamah Konstitusi) membuat putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, yang mengubah syarat pencalonan dalam Pilkada. Di dalam putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 itu, disebutkan bahwa syarat parpol dan gabungan parpol untuk bisa mengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur adalah memperoleh suara sah dari 6,5 persen hingga 10 persen, tergantung jumlah pemilih tetap di provinsi yang bersangkutan. Pada Selasa (20/8/2024) itu, MK juga mengeluarkan putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, yang menyatakan bahwa calon kepala daerah harus memenuhi prasyarat usia minimal calon kepala daerah itu di saat penetapan pasangan calon oleh KPU. Bukan saat pelantikan (jika terpilih).
Namun, DPR tidak mengakomodasi keseluruhan putusan itu. Pada Rabu (21/8/2024) kemarin, Baleg DPR memutuskan bahwa aturan syarat pencalonan untuk partai-partai politik yang punya kursi di DPRD tetap mengikuti aturan lama. Yaitu, partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD, dapat mendaftarkan calon kepala daerah jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Hal sama terjadi pada putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024. Rabu (21/8/2024) kemarin, terjadi perdebatan di Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada DPR. Salah satunya adalah tentang syarat batas usia minimal Calon Kepala Daerah. Mereka ingin anak bungsu Presiden Joko Widodo dapat tetap diloloskan menjadi Calon Kepala Daerah, berdasarkan putusan MA, bukan putusan MK. Alasan mereka, MK tidak boleh menganulir putusan MA dengan menetapkan syarat batas usia 30 tahun pada saat pendaftaran, bukan 30 tahun ketika pelantikan.
Pembahasan tentang Revisi UU Pilkada itu pun dilakukan. Hasilnya, hari Rabu (21/8/2024) itu revisi UU Pilkada disetujui oleh delapan dari sembilan fraksi yang ada di DPR RI. Delapan fraksi itu adalah Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Demokrat, Fraksi Golkar, Fraksi PKS, Fraksi NasDem, Fraksi PAN, Fraksi PKB, dan Fraksi PPP. Hanya Fraksi PDIP yang menolak. Hasil pembahasan itu kemudian disepakati untuk dibawa ke Rapat Pleno yang direncanakan diadakan pada Kamis (22/8/2024) pagi, namun batal karena Anggota DPR yang hadir tidak memenuhi kuorum.
Di dalam Rapat Panja RUU Pilkada, ada dua materi penting yang dibahas. Pertama, Pasal 7 UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan yang disepakati sesuai dengan putusan Mahkamah Agung. Pasal 7 ayat (2) huruf e, disepakati berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih. Kedua, Pasal 40 UU Pilkada yang mengakomodasi sebagian putusan Mahkamah Konstitusi tentang ketentuan ambang batas pengajuan calon dalam pilkada, namun pemberlakuannya hanya untuk partai non parlemen atau tidak memiliki kursi di DPRD. Untuk partai politik yang memiliki kursi di DPRD, mereka tetap mengikuti aturan lama, yaitu minimal 20 persen perolehan kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah dalam Pemilu terakhir.
Kontan sikap dan langkah yang ditempuh DPR dan pemerintah itu memancing reaksi khalayak. Aneka komentar dan meme pun viral di media sosial setelah DPR bermanuver mengabaikan putusan MK. Di media sosial lantas muncul gerakan “Peringatan Darurat Indonesia” yang lantas menjadi viral dengan kode gambar lambang negara, Garuda Pancasila, berlatarbelakang warna biru. Aksi demonstrasi yang diadakan di depan Gedung MK dan Gedung DPR/MPR/DPD kemarin itu adalah bagian dari gelombang besar protes dengan bingkai gerakan “Peringatan Darurat Indonesia” tersebut. Demo besar itu dilakukan serempak dan serentak di sejumlah kota, antara lain di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Makassar.
Bersamaan dengan aksi demonstrasi besar di luar Gedung MPR/DPR/DPD, di dalam gedung juga terjadi aktivitas. Sufmi Dasco menjelaskan, awalnya hanya 86 orang Anggota DPR yang datang ke rapat pleno, di antaranya dari Fraksi Gerindra. Ketika membuka rapat pleno, Dasco mengatakan, rapat tersebut dihadiri 89 orang anggota. Kemudian, rapat diskors selama 30 menit. Namun, jumlah anggota yang hadir tak juga bertambah hingga memenuhi 50 % jumlah anggota ditambah 1 anggota. Ujungnya, rapat pleno paripurna pengesahan RUU Pilkada di DPR RI ditunda karena tidak memenuhi kuorum.
Selain Sufmi Dasco, Pimpinan DPR RI yang hadir saat itu adalah Wakil Ketua DPR RI lainnya, yaitu Lodewijk F. Paulus dan Rachmat Gobel. Sedangkan Ketua DPR RI, Puan Maharani, tidak hadir. Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, Masinton Pasaribu, seperti dikutip antaranews.com mengatakan, ketidakhadiran Puan karena sedang menjalankan tugas kenegaraan, yaitu tugas antarparlemen.
Di sisi lain, Masinton Pasaribu menegaskan, partainya tegak lurus dengan putusan MK. Sehingga, ia menyebut, PDI Perjuangan akan mendaftarkan calon kepala daerah yang akan diusung pada Pilkada 2024 sesuai dengan putusan MK terkait dengan ketentuan partai politik atau gabungan partai politik yang dapat mengusung pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Alasannya, karena putusan MK bersifat final dan mengikat.
Maka, dengan penundaan Rapat Pleno, “bola” pelaksanaan aturan dalam UU Pilkada kini ada di KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebagai pihak penyelenggara Pilkada. KPU RI sendiri telah menyatakan ikut putusan MK berkaitan dengan perubahan aturan dalam UU Pilkada, walau pun DPR telah melakukan akrobat politik dengan membuat revisi kilat dalam 7 jam melalui Badan Legislasi (Baleg) DPR. Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin, menegaskan, KPU menempuh langkah menindaklanjuti putusan MK.
“Jadi kalau pertanyaannya apakah KPU menindaklanjuti putusan MK, (maka) kami tegaskan, KPU menindaklanjuti putusan MK,” ucapnya.
Afif menambahkan, guna menindaklanjuti dan mengakomodasi putusan MK ke dalam Peraturan KPU (PKPU), KPU perlu menempuh konsultasi terlebih dahulu dengan pembentuk undang-undang. Namun, ia menegaskan, konsultasi itu sekadar bentuk “tertib prosedur”. Sebab, berdasarkan Putusan MK Nomor 92/PUU-XIV/2016, KPU wajib menempuh konsultasi dengan DPR dan pemerintah, sebelum menerbitkan PKPU. Sedangkan di tahun 2017, MK memutuskan, hasil rapat konsultasi tersebut tidak mengikat bagi KPU.
“Mengapa (konsultasi) ini kami lakukan? Kami punya pengalaman, dulu ada putusan MK dalam proses Pilpres, (yaitu) putusan 90 yang saat itu dalam perjalanannya kemudian kami tindak lanjuti, tetapi konsultasi tidak sempat dilakukan karena satu dan lain hal, selanjutnya dalam aduan dan putusan DKPP, kami dinyatakan salah dan diberi peringatan keras dan keras terakhir,” jelas Afif.
Menurut Afif, permintaan konsultasi berkaitan dengan tindak lanjut putusan MK soal UU Pilkada itu sudah dilayangkan KPU sejak Rabu (21/8/2024). Sementara itu, pendaftaran calon kepala daerah akan dibuka pada 27-29 Agustus 2024 nanti.
“Saya kira ini sudah clear untuk menjadi informasi yang disampaikan teman-teman ke khalayak, masyarakat pemilih, dan seterusnya. Tentu jalur-jalur konsultasi ini semata-mata tertib prosedur sebagimana pengalaman yang kita alami,” imbuhnya.
Mochammad Afifuddin juga menyatakan, saat ini pihaknya tengah menyiapkan draf revisi PKPU Nomor 8 tahun 2024 tentang syarat Pilkada sebagai tindak lanjut dari putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024.
Jadi, apakah KPU akan benar-benar tegas melaksanakan putusan MK dalam proses penerimaan pendaftaran calon kepala daerah? Ataukah masih akan ada lagi manuver politik yang dilakukan pemerintah dan partai-partai politik di DPR? Kita tunggu saja.