Umar bin Khattab, Pemimpin yang Tak Baperan
Umar bin Khattab adalah salah satu khalifah terbaik dalam sejarah Islam. Ia khulafaurasyidin kedua dan dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan disegani. Bahkan, dalam sebuah hadits disebutkan, kalau setan akan lewat di depan Umar, mereka akan memilih jalan lain.
Umar bin Khattab juga dikenal sebagai “The Conqueror” (sang penakluk). Sebab, di masa dia, daerah-daerah musuh Islam di Romawi Timur (Byzantium) dan Persia takluk di tangan Islam. Ekspansi Islam yang dimulai pada masa khalifah Abu Bakar pun mencapai puncaknya pada masa khalifah Umar bin Khattab. Di dalam waktu yang relatif singkat, wilayah kekuasaan Islam meluas dengan sangat pesat, mencakup Jazirah Arab, Syam (Suriah, Palestina, Yordania), Mesir, Irak, dan Persia.
Namun, di balik sosok yang kuat itu, tersimpan hati yang peka terhadap penderitaan rakyatnya. Dan beliau juga tidak baper (terbawa perasaan, red) ketika menghadapi kritikan, bahkan julidan. Beberapa kisah menarik juga menggambarkan bagaimana Umar bin Khattab berinteraksi dengan rakyatnya.
Contohnya, saat berpidato, beliau pernah mengajak rakyatnya untuk meluruskan dia jika salah. Umar bin Khattab saat itu berkata, “Wahai, Muslimin. Kalau aku bengkok, luruskan aku”.
Tak disangka, seorang lelaki dengan lantang menyahut ucapan Umar tersebut. “Oh, jelas. Nanti saya luruskan kamu pakai pedang!” serunya.
Namun, alih-alih marah, Umar justru bersyukur karena ada yang peduli untuk menegurnya. Beliau berkata, “Alhamdulillah, ada yang mau meluruskan Umar dengan pedangnya”.
Di dalam kesempatan lain, saat blusukan, Umar mendapati seorang ibu dan anak-anaknya yang kelaparan. Sang ibu memasak batu dalam air untuk menghibur anak-anaknya supaya cepat tidur, karena mereka kelaparan dan tidak ada lagi bahan makanan di rumah mereka. Umar datang dan bertanya tentang hal itu. Sang ibu yang tidak kenal siapa Umar lantas menyalahkan kondisi yang ia alami disebabkan karena Umar yang ia sebut tidak peduli terhadap rakyatnya. Khalifah Umar bin Khattab yang mendengar keluhan ibu itu merasa terenyuh dan segera bergegas pulang lalu kembali dengan membawa makanan. Ia menggotong sendiri sekarung gandum dan daging sambil menangis lalu menyerahkannya kepada ibu itu.
Di waktu lain, di suatu malam, ia mendengar tangisan seorang anak kecil yang kurang gizi. Umar menegur ibunya, “Wahai, ibu. Takutlah kepada Allah!”
Sang ibu pun menjelaskan dan mengeluhkan kurangnya subsidi dari pemerintah. Keesokan harinya, Umar terlihat menangis saat shalat subuh. Setelah shalat, rasa empati yang mendalam terhadap rakyatnya mendorong Umar untuk mengubah kebijakan subsidi.
Kisah-kisah di atas menunjukkan beberapa hal penting. Pertama, kepemimpinan yang terbuka. Umar tidak takut dikritik dan selalu terbuka terhadap masukan dari rakyatnya. Ia memang keras terhadap orang yang memusuhi Islam, tetapi ia penyayang kepada kaum Muslimin. Betapa langkanya karakter seperti itu di zaman kita.
Kedua, kepekaan sosial. Umar sangat peka terhadap penderitaan rakyat dan selalu berusaha untuk mencari solusi.
Ketiga, tanggung jawab. Umar merasa bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya dan tidak segan untuk mengubah kebijakan demi kepentingan rakyat.
Kisah hidup Umar bin Khattab tersebut seharusnya menjadi inspirasi bagi para pemimpin saat ini. Pemimpin di semua bidang dan di semua tingkat. Dari mulai keluarga, tingkat RT, gubernur, pemimpin perusahaan, pemimpin ormas, pemimpin partai, DPR, hingga pemimpin negara. Mari jadikan kisah ini sebagai renungan, seberapa peka dan terbuka kita kepada orang yang kita pimpin. Sebab, kata Nabi, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanya tentang yang dipimpinnya” – HR. Bukhari