Umat Terjebak Pinjol dan Rentenir, Apa Kabar Dakwah Ekonomi?
Peristiwanya belum genap seminggu. Seorang suami di Bandung membunuh istrinya sendiri. Apa pasal? Bukan karena perselingkuhan, tetapi karena sang istri memiliki hutang ke rentenir sejumlah 2.000.000 rupiah.
Bagi banyak orang, mungkin itu jumlah yang tak seberapa untuk dikonversi dengan hilangnya nyawa istri. Tetapi bagi keluarga ini, angka itu memiliki nilai penting untuk menambal kebutuhan keluarga di satu sisi, dan pada sisi lain angka itu mendatangkan masalah yang sangat memusingkan saat harus menghadirkannya untuk membayar tagihan berikut bunganya.
Suami-istri asal Bandung ini rajin bekerja. Bahkan dua-duanya bekerja sebagai buruh lepas. Namun, kepanikan dan kejengkelan memicu suami-istri itu terlibat dalam cekcok. Pada akhirnya, cekcok itu berujung pada hilangnya nyawa sang istri.
Kasus yang lain, sebagaimana diwartakan oleh Disway.id, 29 Juni 2023, sepasang suami-istri di Banyuwangi, Jawa Timur, harus menghabisi nyawa mereka secara bersama-sama dengan cara bunuh diri. Menurut kesaksian tetangga, mereka berdua kerap terlibat cekcok karena tak mampu membayar pinjaman online atau Pinjol yang terus menagih pasangan suami-istri muda itu.
Masih di bulan Juni 2023, kisah pilu yang serupa menimpa pasangan dari Kota Gorontalo. Sang istri yang terjebak pinjaman online, depresi karena teror tagihan dan penipuan Pinjol. Pada akhirnya ia mengambil jalan pintas: Bunuh diri! Padahal, sang suami tengah berupaya menggadaikan BPKB kendaraannya untuk menyicil hutang sang istri.
Kasus itu sempat membetot simpati netizen di tanah air, karena korban yang seorang karyawan di salah satu minimarket waralaba terkenal di Indonesia itu, sempat membuat video sambil menangis. Di dalam video itu ia mengungkapkan kalau dirinya sudah lelah menghadapi masalah kehidupan. Videonya beredar luas dan memantik perhatian netizen tanah air setelah kematiannya.
Masih banyak kasus serupa terjadi di banyak tempat di seluruh Indonesia. Sebab, pinjaman online mampu menjangkau nasabah secara luas. Dan seluas itu pula ia menebar simalakama di tengah kehidupan ekonomi umat. Tidak memakai jasa Pinjol pemenuhan kebutuhan dasar keluarga bermasalah, namun jika digunakan teror tagihan pun muncul sebagai masalah baru.
Akses yang mudah, menyelusupkan penawaran di gadget masyarakat, tidak ada syarat dokumen yang mendukung bankable atau tidaknya nasabah, cepat cair, dan tanpa agunan! Semua itu menjadi jurus ampuh Pinjol untuk menjebak nasabah sebanyak-banyaknya dengan bunga tinggi. Hal ini makin tumbuh subur dengan dukungan perubahan gaya hidup masyarakat itu sendiri. Semakin konsumtif dan kian pragmatis.
Lihatlah data yang dirilis oleh Ogi Prastomiyono, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, tanggal 4 Juli 2023; Untuk provinsi Jawa Barat saja, ada serapan dana Pinjol sebesar 13,8 triliun rupiah. Angka ini mendudukkan Jawa Barat sebagai pemuncak pertama yang warganya paling banyak terlilit utang Pinjol. Sementara itu, provinsi DKI Jakarta menduduki peringkat kedua dengan serapan dana tembus 10,5 triliun rupiah. Dari dua provinsi ini saja, terlihat ada serapan dana lebih dari 24 triliun rupiah dana Pinjol yang digunakan oleh masyarakat.
Sementara itu, menukil dari databoks.katadata.co.id, di tahun 2022 dana Pinjol yang digunakan oleh masyarakat Indonesia hingga Agustus 2022 sebesar 19,21 triliun rupiah. Kita bisa lihat, ada kenaikan cukup besar jumlah dana Pinjol yang digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam satu tahun terakhir.
Catatan pentingnya, data di atas adalah data yang masuk dari Pinjol resmi yang terafiliasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ada banyak Pinjol ilegal yang juga bergentayangan menawarkan pinjaman secara mudah, namun bunga mencekik. Ironisnya, kalangan masyarakat miskin dan kurang terdidik justru banyak terjebak di sini.
Dakwah Pemberdayaan Ekonomi
Ada faktor pemicu yang penting, sehingga masyarakat beramai-ramai meminjam dana secara online. Pertama, ada hubungan yang penting antara Pandemi Covid-19 dengan menurunnya daya beli masyarakat. Tahun 2022 dan 2023 adalah awal geliat ekonomi masyarakat secara leluasa pasca terkungkung dalam berbagai pembatasan sosial yang diberlakukan oleh pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19.
Kedua, geliat ekonomi masyarakat yang telah kehilangan semua modalnya itu butuh dukungan modal yang bersifat cepat. Pinjol, dengan segala risikonya, menawarkan kecepatan dan kemudahan akses itu.
Ketiga, perubahan perilaku dan gaya hidup masyarakat. Pandemi juga mengajarkan model kerja online, transaksi online, belajar online, dan lain sebagainya. Lebih dari 2 tahun, berbagai kebiasaan online itu berubah menjadi budaya baru, apalagi teknologi semakin menunjang pula. Pinjaman online yang serba mudah adalah bagian dari perubahan perilaku dan gaya hidup itu.
Keempat, ada kecenderungan yang terus meningkat dari sisi konsumerisme masyarakat. Masyarakat semakin konsumtif dengan berbagai alasan, tetapi yang paling dominan adalah tumbuhnya konsumerisme untuk mendukung gaya hidup.
Pinjol, dari banyak sisi, hadir menawarkan sejumlah alternatif yang paling mungkin dan mudah. Namun risiko ekonomi dan sosialnya juga sangat tinggi. Umat terjebak dalam praktik rentenir dan riba yang tak akan pernah membawa mereka pada kehidupan yang makin baik. Kualitas hidup makin menurun, kesejahteraan mental pun kian tergerus.
Jika tidak ditangani secara baik, akan muncul persoalan sosial yang makin luas di tengah masyarakat. Mereka yang tidak bisa bertahan dari tekanan Pinjol akan bunuh diri, seperti kasus-kasus di atas. Mereka yang paham, akan mencoba berkelit dan mencari celah untuk bisa pinjam dana tanpa mengembalikannya. Secara kolektif akan muncul kerapuhan sosial dan ekonomi di kalangan umat yang potensial memantik suburnya kriminalitas, prostitusi dan perjudian. Rusaklah kualitas masyarakat dan umat.
Apa yang telah dilakukan oleh gerakan dakwah? Sungguh telah banyak hal yang berhasil dicapai oleh gerakan dakwah. Masyarakat makin paham agama, masyarakat makin gemar bersedekah makanan, masyarakat makin rajin umroh dan haji, makin banyak berdiri rumah-rumah Al Qur'an, banyak orang tua yang ingin anaknya jadi hafiz Qur'an. Dan seterusnya. Sesuatu yang harus kita syukuri.
Namun ada fakta lain yang juga harus kita lirik. Kemiskinan di kalangan umat yang terus meningkat, betapa banyaknya kepala rumah tangga muslim yang hari ini tidak bekerja secara penuh, bahkan banyak yang menganggur total. Meningkatnya nasabah Pinjol dan terjebaknya keluarga muslim dalam lingkaran syetan praktik rentenir dengan berbagai bentuknya adalah simtom yang menunjukkan adanya kerentanan sosial ekonomi umat yang akut.
Menghadapi situasi ini, gerakan dakwah setidaknya harus hadir dalam dua agenda penting. Pertama, melakukan gerakan penyadaran kepada umat tentang bahaya pola hidup konsumtif. Perilaku konsumtif ini telah menjadi wabah yang berbahaya menyentuh kalangan muslim yang kaya maupun yang miskin.
Akibat perilaku konsumtif ini, yang miskin akan makin miskin dan mungkin bunuh diri. Karena tidak bisa menyelaraskan antara pendapatan dan gaya hidup. Sementara itu, muslim yang kaya dan terperangkap dalam gaya hidup konsumtif hanya akan mengejar standar hidup dan kemewahan diri. Celakanya, ibadah pun terperangkap dalam syahwat konsumerisme ini. Naik haji berkali-kali, umroh saban Ramadhan dengan seluruh keluarga, sayang jika itu semua hanya panggilan gaya hidup dan syahwat konsumerisme!
Nah, gerakan dakwah harus menata kembali mental umat untuk tidak konsumtif. Harus tumbuh kesadaran umat bahwa perilaku konsumtif lebih dekat pada sikap hubbud dunya cinta dunia yang Rasulullah khawatirkan justru akan menghancurkan umat Islam karenanya.
Kedua, dakwah pemberdayaan. Ini adalah langkah nyata yang harus dilakukan. Optimalisasi dana umat, yang biasa wira-wiri umroh, diajak untuk mengentaskan kemiskinan di kalangan umat Islam. Dana infaq umat di masjid-masjid perlu diberdayakan untuk menjadi dana bergulir yang mampu menyelesaikan masalah pengangguran dengan cara membentuk wadah keuangan, simpan-pinjam jamaah, koperasi jamaah, bahkan mungkin Baitul Mall Wat Tamwil.
Kita jalankan secara murni tanpa riba. Boleh harian, mingguan atau bahkan bulanan. Memerangi praktik Pinjol dan rentenir tak bisa dengan wacana. Harus dengan amal nyata yang setara. Langkah inilah yang bisa kita optimalkan untuk menjadi tandingan dari Pinjol dan rentenir yang melilit leher ekonomi umat Islam Indonesia. Masak sih, umat Islam nggak bisa?