Universitas Paramadina Mengulik Karakteristik Gen-Z di Dunia Kerja
Gen Z adalah singkatan dari Generasi Z. Gen Z adalah orang-orang yang lahir tahun 1997 hingga 2012. Kerap kali muncul kritikan bahwa Gen Z punya karakteristik unik. Nah, untuk memahami karakteristik unik Gen Z itulah, Universitas Paramadina menyelenggarakan diskusi bertajuk “Gen-Z & Work Ethic Problem”, Jumat (25/10/2024). Diskusi itu dihadiri sejumlah tokoh inspiratif. Di antaranya termasuk Nila Marita; Tia Rahmania, M.Psi, Psikolog; Adrian Wijanarko, MM; serta Coach Rene Suhardono.
Diskusi itu mengangkat tantangan, karakteristik unik, dan ekspektasi Gen-Z dalam menghadapi dunia kerja. Di kesempatan itu, Nila Marita yang sehari-hari Director Corporate Affairs GoTo memaparkan bahwa Gen-Z sangat menghargai transparansi informasi, peluang untuk menunjukkan kemampuan, serta perlunya apresiasi melalui umpan balik.
“Di GoTo, kami menyediakan pelatihan khusus seperti Engineering Bootcamp dan Associate Product Manager Bootcamp untuk membantu Gen-Z mengembangkan keterampilan mereka. Karyawan kami merasa lebih bermakna dan merasakan dampak langsung dari pekerjaan mereka,” tutur Nila.
Gen-Z, yang diprediksi akan mencakup 27% populasi tenaga kerja di tahun 2025, sering kali menghadapi tekanan tinggi akibat ekspektasi yang berorientasi pada hasil instan dan kebutuhan akan keseimbangan hidup. Hal itu dijelaskan oleh Dosen Universitas Paramadina, Tia Rahmania, M.Psi, Psikolog.
“Banyak Gen-Z yang mengalami stres karena terlalu fokus pada hasil akhir dan kurang menghargai proses. Ini kerap kali menjadikan mereka cepat berpindah pekerjaan dan menuntut lingkungan kerja yang tidak toxic serta fleksibel,” ungkap Tia.
Sementara itu, Ketua Program Studi Manajemen Universitas Paramadina, Adrian Wijanarko, di kesempatan itu mengungkapkan bahwa kesulitan ekonomi dan sulitnya akses perumahan menjadi masalah serius bagi Gen-Z. Terlebih dengan ketidakpastian ekonomi global saat ini. “Hasil riset kami menunjukkan bahwa 62% Gen-Z merasa perlu mendapatkan pengakuan atas harga dirinya dalam mencari pekerjaan, misalnya untuk soal gaji atau kompensasi,” jelas Adrian.
“Gen-Z menginginkan pekerjaan yang short term, maka short win atau kecepatan kompensasi setelah proyek berhasil dikerjakan. Pola pengupahan juga harus disesuaikan, karena Gen Z juga ingin memilih sendiri benefit semisal tunjangan kendaraan, komunikasi, dan lain sebagainya,” lanjut Adrian.
Sedangkan Coach Rene Suhardono menekankan bahwa Gen-Z tidak bisa dianggap sebagai generasi yang seragam atau monolitik. “Setiap individu memiliki keunikan tersendiri, dan generalisasi semacam ini hanya akan menciptakan jarak antar generasi,” jelasnya.
Ia menambahkan, orang tua juga memegang peran penting dalam membantu Gen-Z mengelola tekanan dari dunia digital yang serba cepat. “Jika ada yang perlu dievaluasi, mungkin adalah bagaimana orang tua memberikan pemahaman terkait penggunaan teknologi dan media sosial yang sehat,” ucapnya.
Mengutip Ryan Jenkins, Coach Rene menambahkan, “Keunikan Gen-Z adalah bagian dari siklus generasi, seperti halnya keunikan setiap generasi sebelumnya. Namun, kita perlu melihat mereka sebagai pembawa harapan yang akan menciptakan perubahan positif di masa depan. Dengan memberikan kesempatan yang sesuai, Gen-Z dapat menjadi agen perubahan yang kuat bagi lingkungan kerja dan masyarakat”.