Utin dan Hayfa: Potret Keluarga dengan Budaya Literasi yang Tinggi
Budaya literasi di Indonesia disebut-sebut masih sangat rendah. UNESCO di tahun 2023 menyebut, Indonesia menempati ranking ke-62 dari 70 negara dalam literasi. Menurut UNESCO ketika itu, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Sedangkan survei oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukkan, hanya sekitar 10% penduduk Indonesia yang rajin membaca buku. Angka itu menunjukkan minat literasi yang rendah di kalangan masyarakat.
Literasi adalah kemampuan untuk membaca, menulis, dan memahami informasi. Budaya literasi adalah suatu budaya di dalam masyarakat yang meliputi segala usaha manusia yang berkaitan dengan kegiatan membaca dan menulis. Tujuan budaya literasi adalah menciptakan tradisi berpikir yang diikuti proses membaca dan menulis agar menciptakan karya tulis ilmiah berdaya guna.
Tetapi, tingkat budaya literasi di keluarga Utin Supartini dan Amatulla Haifa tentu tidaklah rendah. Ibu dan putri kandung ini telah membuktikan tingginya budaya literasi di keluarga mereka. Wujudnya adalah karya yang mereka hasilkan di bidang tulis-menulis, dan menumbuhkan minat baca di lingkungan sekitar mereka.
Dedikasi Utin Supartini, Menanamkan Cinta Literasi Sejak Dini
Sejak kecil, Utin Supartini telah jatuh cinta kepada dunia literasi. Sewaktu ia kecil, ayahnya sering membawakan majalah Bobo bekas sepulang kerja, yang selalu ia baca dengan antusias. Bahkan, saat masih duduk di bangku kelas 5 SD, ia pernah mencoba mengirimkan tulisan karyanya ke majalah tersebut, meski tidak lolos seleksi. Namun, kegagalan itu tidak membuat ia patah semangat. Justru, di saat itu ia sudah bertekad, “Kalau saya tidak bisa, maka nanti anak-anak saya harus bisa!”
Kecintaannya terhadap membaca pun terus berkembang. Di sekolah, ia mengajukan diri menjadi penjaga perpustakaan. Maksudnya agar bisa membaca lebih banyak buku. Kala duduk di SMP dan SMA, ia berlangganan majalah Annida, yang semakin memerkaya wawasannya dalam dunia kepenulisan.
Ketika telah berkeluarga dan memiliki anak, Utin Supartini berusaha menanamkan kebiasaan membaca sejak dini. Ia sering membawa anaknya ke toko buku. Salah satunya adalah Gramedia Bintaro. Padahal, saat itu sang anak masih kecil, bahkan belum bisa berjalan.
Bersama suaminya, ia juga kerap membelikan buku untuk anak-anak mereka. Menariknya, mereka menempelkan foto sang anak di sampul buku yang dibelikan, seraya berkata, “Sekarang ini fotomu ada di buku orang lain, tetapi semoga suatu saat nanti fotomu ada di buku karyamu sendiri”.
Bersama suaminya, Utin telah 18 tahun mengelola TK dan SD El Fash di daerah Tangerang Selatan, tempat ia berusaha menanamkan kecintaan terhadap membaca dan menulis kepada anak-anak didiknya. Di dunia kepenulisan, Utin Supartini cukup aktif menulis cerpen yang diterbitkan di majalah Annida, Ummi, serta platform semisal Kompasiana dan blog pribadinya. Beberapa buku anak juga telah ia tulis dan terbitkan. Namun, seiring kesibukannya sebagai ibu dan pendidik, frekuensi menulisnya berkurang. Saat ini, ia tengah mengerjakan buku anak bertema “life skill”, yang awalnya merupakan hasil penelitian tesisnya.
Sebagai seorang ibu dan pendidik, Utin memiliki cara tersendiri dalam memotivasi anak-anaknya agar tidak merasa minder dengan karya mereka sendiri. Ia selalu mengajarkan bahwa menulis adalah cara terbaik untuk mengekspresikan perasaan dan emosi.
“Ketika mereka punya perasaan apa pun, sedang merasakan emosi apa pun, saya ajarkan mereka untuk menuliskannya dalam bentuk diary. Dari situ, mereka jadi punya pengalaman dan kesukaan dalam menulis, serta menyadari bahwa menulis itu tidak sulit. Karena apa pun yang ada di sekitar kita, apa pun yang sedang kita rasakan, bisa menjadi bahan tulisan,” tuturnya.
Seiring waktu, minat menulis anak-anaknya semakin besar. Maka, untuk mengasah kemampuan mereka, Utin sering mendaftarkan mereka ke workshop-workshop kepenulisan yang sering diadakan oleh penerbit Mizan melalui program “Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK)”. Meski pun lokasi acara sering kali jauh dari rumah, hal itu tidak menjadi penghalang. Hasilnya, anak-anaknya berhasil menerbitkan karya mereka sendiri, yang sebagian besar berasal dari tulisan-tulisan diary mereka.
“Dari kecil, mereka sudah bisa punya penghasilan sendiri. Itu yang membanggakan. Dan mereka pun puas!” ungkapnya dengan penuh kebahagiaan.
Utin menyebut Asma Nadia dan Helvy Tiana Rosa sebagai dua sosok yang pertama kali menginspirasi dia dalam perjalanan kepenulisannya. Dulu, ia rela menabung demi bisa membeli buku-buku karya mereka. Kini, sebagai pegiat literasi, ia berharap semakin banyak pihak yang berkontribusi dalam menanamkan kecintaan membaca dan menulis kepada anak-anak.
“Saya ingin ada lebih banyak penerbit, komunitas menulis, serta media yang mengadakan kegiatan literasi dan workshop kepenulisan ke sekolah-sekolah. Semangat literasi anak-anak perlahan mulai luntur. Mereka lebih tertarik dengan gadget. Mungkin, jika cerita anak bisa diadaptasi menjadi film atau buku dengan ilustrasi yang menarik, anak-anak akan lebih termotivasi untuk menulis dan membaca,” katanya.
Dengan dedikasi dan semangatnya, Utin terus berupaya menanamkan kecintaan terhadap literasi pada anak-anak, baik di rumah maupun di sekolah. Ia percaya, membaca dan menulis adalah kunci untuk membuka wawasan dan meraih masa depan yang lebih cerah.
Menurut Utin, peran orang tua sangat penting dalam membangun kebiasaan membaca pada anak. “Yang pertama, orang tua harus menciptakan lingkungan yang mendukung kebiasaan membaca. Tidak hanya sekadar memfasilitasi, tetapi juga ikut terlibat. Anak-anak harus melihat orang tuanya membaca, bukan hanya menyuruh mereka membaca,” katanya.
Selain itu, kata Utin, orang tua bisa mengenalkan anak-anak pada tokoh-tokoh literasi yang sukses, mengajak mereka ke toko buku, serta menyediakan buku berkualitas di rumah. Dengan begitu, membaca tidak lagi menjadi kewajiban, melainkan kebiasaan yang menyenangkan.
Amatulla Hayfa, Anak Muda Berprestasi di Dunia Kepenulisan
Amatulla Hayfa, yang akrab disapa Hayfa, adalah putri kandung Utin Supartini. Sejak kecil, ia sudah menunjukkan bakat luar biasa di dunia kepenulisan. Ketika masih duduk di bangku TK, Hayfa mengirimkan tulisan ke majalah Bobo dan tulisan itu berhasil diterbitkan. Saat karya pertamanya terbit, Hayfa merasakan kebahagiaan luar biasa, terutama karena ia menerima hadiah berupa kaos, buku, tas, dan lainnya.
Seiring bertambahnya usia, semangat Hayfa dalam menulis semakin tumbuh. Di kelas 2 SD, ia mulai aktif menulis berbagai karya. Puncaknya, saat duduk di bangku kelas 4 SD, Hayfa mengikuti lomba menulis yang diselenggarakan oleh penerbit Mizan. Karyanya yang berjudul “Al Qur'an Impian” berhasil membuat Hayfa dinobatkan sebagai penulis terbaik dalam lomba tersebut.
Di kelas 5 SD, ia mengikuti program workshop yang diadakan oleh komunitas One Day to Write (ODTW). Hal itu semakin mengasah kecintaannya kepada dunia menulis. Hayfa pun menjadi sosok yang “gila membaca dan menulis”.
Hingga kini, Hayfa telah menghasilkan 25 buku, baik berupa antologi maupun novel solo. Menurut cerita sang ibu, Hayfa pernah berada dalam fase di mana semangat menulisnya begitu tinggi. Di dalam satu bulan, ia mampu menulis tiga novel sekaligus. Semua novel itu diterbitkan oleh Mizan, dan Hayfa meraih royalti sebesar 10 juta Rupiah. Uang tersebut ia gunakan untuk membeli laptop dan keyboard. Meski pun laptop itu kini sudah rusak, Hayfa tetap menyimpannya sebagai kenang-kenangan atas hasil kerja kerasnya.
Namun, memasuki masa SMA, Hayfa mulai jarang menulis karena padatnya aktivitas sekolah. Ia justru lebih sering menggambar dan mendalami dunia ilustrasi. Hayfa mengungkapkan bahwa ia ingin menjadi seorang ilustrator buku, karena menurut dia, menjadi ilustrator lebih menyenangkan dan tidak memerlukan banyak pemikiran mendalam seperti menulis.
Saat ini, Hayfa baru saja menyelesaikan semester pertamanya di ITB. Ia mengambil jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) yang ada di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD). Jurusan tersebut menyelenggarakan mata kuliah “Ilustrasi dan Desain Buku Anak” yang bertujuan mengajarkan cara membuat desain buku ilustrasi anak dengan memelajari bentuk buku, jenis buku, karakter, tipografi, teknik ilustrasi, storyboard, dan layout untuk buku cerita bergambar. Sesuai apa yang diminati dan diinginkan oleh dirinya.
Hayfa mengungkapkan, penulis yang menjadi inspirasinya adalah Kak Fayana, salah satu penulis Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK); serta Leila S. Chudori, penulis novel “Laut Bercerita”. Selain itu, Hayfa juga merupakan penggemar berat karya-karya Tere Liye. Ketika ditanya apa yang membuat dia suka menulis, Hayfa menjawab, “Kalau nulis tuh aku ngerasa bisa menciptakan duniaku sendiri sesuai kemauan dan imajinasi aku. Nggak bakal ada yang nge-judge juga karena itu aku yang bikin”.
Motivasi terbesar Hayfa dalam menulis datang dari kedua orangtuanya. Sebagai anak yang lahir dari keluarga pecinta literasi, ia tumbuh dalam lingkungan yang mendukung kebiasaan membaca dan menulis. Bahkan, di waktu senggang, Hayfa sering membaca tulisan-tulisan yang dibuat oleh orangtuanya.
Sebagai penutup, Hayfa memberikan tips untuk anak muda yang ingin memulai menulis. “Kendala utama dalam menulis itu biasanya adalah ‘takut untuk memulai’. Jadi buat temen-temen, mulai aja gakpapa. Nggak bakal ada yang diomelin. Jangan takut salah, yang penting berani mulai dulu aja,” tuturnya.
Melihat Utin dan Hayfa seolah memandang potret keluarga dengan budaya literasi yang tinggi. Semangat Utin untuk terus berupaya menanamkan kecintaan terhadap literasi pada anak-anak, baik di rumah, di sekolah, maupun di lingkungan dekatnya kiranya bisa menginspirasi dan memotivasi kita semua. Semangat Hayfa dalam berkarya dan mengejar mimpinya adalah bukti nyata bahwa menulis tidak hanya menjadi media untuk berekspresi, tetapi juga sarana untuk menciptakan dunia yang lebih indah melalui kata-kata.