Veto Resolusi PBB, Amerika Kian Menunjukkan Standar Ganda dalam Melihat Palestina
Sebelumnya, Sekjen PBB, Antonio Guterres, telah mengirimkan surat yang berisi penggunaan Pasal 99 Piagam PBB yang sangat jarang digunakan. Pasal 99 Piagam PBB itu memberikan kewenangan kepada Sekjen PBB untuk menyampaikan kepada DK PBB suatu masalah yang dinilai dapat mengancam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Guterres menggunakan pasal yang juga baru pertama kali ia keluarkan selama menjabat Sekjen PBB itu, karena DK PBB belum mengadopsi resolusi yang menyerukan gencatan senjata antara Pejuang Hamas dengan Zionis Israel dan sekutu mereka.
“Dunia menghadapi risiko besar runtuhnya sistem kemanusiaan di Gaza. Saya mendesak Dewan Keamanan untuk membantu mencegah bencana kemanusiaan dan segera mengumumkan gencatan senjata kemanusiaan,” kata Guterres ketika itu.
Runtuhnya sistem kemanusiaan yang dicemaskan Sekjen PBB itu karena saat ini telah terjadi genosida atas warga sipil Palestina oleh militer Zionis Israel. Genosida yang dilakukan tentara Zionis Israel di Gaza Palestina sejak 7 Oktober 2023 itu telah menewaskan lebih dari 17.000 orang, serta menimbulkan korban luka lebih dari 48.000 orang. Kementerian Kesehatan Gaza, Jumat (8/12/2023), mengumumkan 17.487 warga Palestina tewas akibat gempuran Zionis Israel sejak 7 Oktober 2023, 70% di antaranya adalah Perempuan dan anak-anak.
Jumat, 8 Desember 2023, DK PBB menggelar pemungutan suara dalam proses mengeluarkan Resolusi DK PBB terkait gencatan senjata di Gaza, Palestina. Pemungutan suara itu dilakukan setelah Sekjen PBB hari Rabu, 6 Desember 2023, menggunakan Pasal 99 untuk secara resmi memperingatkan DK yang beranggotakan 15 negara itu tentang ancaman global dari perang di Gaza yang telah berlangsung dua bulan tersebut.
Namun, rancangan Resolusi PBB terkait gencatan senjata di Gaza itu dirusak AS karena mereka menggunakan hak veto. Waktu itu, 13 anggota DK PBB mendukung resolusi, AS memilih veto, dan Inggris Raya menyatakan abstain. Washington (AS) beralasan, mereka memveto resolusi tersebut karena menurut mereka gencatan senjata tidak akan efektif.
Baca juga: Komunitas Internasional Punya Tanggung Jawab untuk Akhiri Krisis di Gaza
Hak veto adalah hak untuk membatalkan suatu rancangan resolusi yang telah diputuskan oleh suara terbanyak Anggota DK PBB. Amerika Serikat (AS) adalah salah satu dari lima anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB yang punya hak veto. Empat pemilik hak veto yang lainnya adalah Rusia, Perancis, China, dan Inggris Raya.
Utusan Palestina untuk PBB, Riyad Mansour, kontan mengungkapkan kekecewaan atas gagalnya adopsi Resolusi PBB itu karena diveto AS. “Ini sangat disesalkan dan membawa bencana,” kata Riyad Mansour, dalam berita di UN News, Sabtu (9/12/2023), seperti dikutip cnnindonesia.com. “Jutaan nyawa warga Palestina berada dalam bahaya. Setiap nyawa adalah berharga, layak diselamatkan,” tambahnya.
“Bagaimana hal ini bisa dibenarkan? Bagaimana seseorang bisa membenarkan pembantaian seluruh rakyat?” lanjutnya.
Duta Besar Israel untuk PBB, Gilad Erdan, tidak berpidato di DK ketika itu, namun ia mengeluarkan pernyataan pers. “Gencatan senjata hanya akan mungkin terjadi jika semua sandera kembali dan Hamas hancur,” kata Gilad Erdan seperti dikutip cnnindonesia.com.
Resolusi WHO
Sementara itu, Al Jazeera mengabarkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyetujui sebuah resolusi, yang menyerukan pentingnya akses segera terhadap bantuan kemanusiaan dan diakhirinya pertempuran di Gaza. Resolusi yang diadopsi melalui konsensus di akhir sesi khusus Dewan Eksekutif WHO, Ahad (10/12/2023) ini merupakan resolusi pertama yang dikeluarkan oleh badan PBB. Lewat resolusi itu, WHO meminta “saluran bantuan kemanusiaan yang segera, berkelanjutan dan tanpa hambatan, termasuk akses terhadap personel medis”.
Pernyataan itu juga menyeru kepada semua pihak “untuk memenuhi kewajiban mereka berdasarkan hukum internasional” dan menegaskan kembali “bahwa semua pihak yang terlibat konflik bersenjata harus sepenuhnya mematuhi kewajiban yang berlaku bagi mereka berdasarkan hukum humaniter internasional terkait dengan perlindungan warga sipil dalam konflik bersenjata dan personel medis.”
Pengesahan resolusi WHO itu “menggaris bawahi pentingnya kesehatan sebagai prioritas universal, dalam segala keadaan, dan peran layanan kesehatan dan kemanusiaan dalam membangun jembatan menuju perdamaian, bahkan dalam situasi yang paling sulit sekali pun.”
Seperti diberitakan banyak media massa, Zionis Israel telah membombardir Gaza lewat serangan dari udara, melakukan pengepungan, dan melancarkan serangan darat ke Gaza. Selain itu, sebagian besar dari 2,3 juta penduduk Palestina telah diusir dari rumah mereka. Pertempuran kembali terjadi bulan ini setelah jeda selama seminggu.
Baca juga: Dapatkah Dewan Keamanan PBB Hentikan Agresi Militer Zionis Israel di Gaza?
Menurut Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, Resolusi WHO itu dapat menjadi titik awal untuk tindakan lebih lanjut. Sebab, PBB mengatakan, kira-kira 80% penduduk Gaza telah mengungsi serta menghadapi kekurangan makanan, air, dan obat-obatan, serta meningkatnya ancaman penyakit. Ketika Zionis Israel meningkatkan aksi militernya saat ini di Gaza selatan yang berpenduduk lebih dari 2 juta orang, seruan untuk mengakhiri pertempuran pun semakin meningkat.
“Resolusi itu tidak menyelesaikan krisis, namun ini adalah platform yang harus dibangun,” katanya dalam pidato penutupnya di hadapan dewan, seperti dikutip Al Jazeera. “Tanpa gencatan senjata, tidak ada perdamaian. Dan tanpa perdamaian, tidak ada kesehatan. Saya mendesak semua negara anggota, terutama negara-negara yang memiliki pengaruh paling besar, untuk bekerja secepat mungkin guna mengakhiri konflik ini,” tegasnya.
Standar Ganda AS
Sementara itu, kritik dan kekecewaan terus diutarakan terhadap sikap AS yang menghalangi resolusi PBB karena menggunakan hak veto. Banyak negara tidak sepakat dengan manuver Washington itu. Di antaranya, Wakil Menteri Luar Negeri Korea Utara untuk organisasi internasional, Kim Son Gyong, menyebut, veto yang dikeluarkan AS itu menunjukkan standar ganda yang digunakan AS terhadap persoalan di Palestina. Hal itu ia katakan kepada media pemerintah Korea Utara, KCNA, yang dilansir Reuters.
“Penyalahgunaan hak veto Amerika Serikat untuk melindungi sekutunya (Israel) yang membantai puluhan ribu warga sipil bukan hanya merupakan manifestasi dari standar ganda yang ilegal dan tidak masuk akal, tetapi juga merupakan puncak kejahatan yang tidak manusiawi,” kata Kim Son Gyong.
Kim Son Gyong menilai, AS menerapkan standar ganda dengan membiarkan perang di Gaza, sementara Washington mengutuk peluncuran satelit Korea Utara baru-baru ini yang tidak menimbulkan kerugian bagi negara lain. Sebelumnya, hari Sabtu (9/12/2023) penasihat keamanan nasional AS, Korea Selatan, dan Jepang, dikabarkan bertemu untuk menegaskan kembali tanggapan terkoordinasi mereka atas peringatan dari Korea Utara yang akan mengerahkan lebih banyak satelit mata-mata.
Menanti Majelis Umum
Setelah veto AS, Majelis Umum PBB diperkirakan secepatnya akan melakukan pemungutan suara tentang resolusi gencatan senjata. Perkiraan itu setelah Mesir dan Mauritania menggunakan Resolusi 377A (V) “Bersatu untuk Perdamaian”. Seperti dikutip cnbcindonesia.com, Resolusi 377A (V) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB tahun 1950 memperbolehkan Badan PBB yang beranggotakan 193 negara tersebut untuk bertindak jika DK PBB gagal “melaksanakan tanggung jawab utamanya untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional”. Surat mereka tersebut mengacu pada penerapan Pasal 99 Piagam PBB oleh Sekjen PBB pada 6 Desember 2023.
Mesir dan Mauritania telah secara resmi meminta pertemuan dengan menggunakan Resolusi Majelis Umum PBB 377A (V) “Bersatu untuk Perdamaian”. Surat tersebut menekankan perlunya pertemuan kembali setelah manuver AS memveto proposal resolusi gencatan senjata yang diajukan Uni Emirat Arab (UEA) dan didukung 102 negara.