Wajar Tanpa Pengecualian yang Beraroma Ketidakwajaran
WTP. Sebuah singkatan yang cukup populer. Media massa sering menyebut singkatan ini saat mewartakan laporan keuangan lembaga pemerintah, baik di pusat maupun di daerah. Wajar Tanpa Pengecualian, itulah kepanjangan dari WTP.
Kisah WTP kembali ramai dibincangkan publik, terutama saat terbongkar fakta di persidangan yang tengah mengadili kasus gratifikasi dengan terdakwa mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL). Di dalam sidang yang digelar tanggal 8 Mei 2024, Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Dirjen PSP) Kementan, Hermanto, dihadirkan sebagai saksi di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Di dalam kesaksiannya, Hermanto menyebutkan bahwa untuk memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pihak Kementan harus tawar menawar dengan pihak auditor BPK yang konon menyodorkan angka hingga 12 miliar rupiah. Fakta persidangan tentang masih adanya transaksi dalam pemberian opini oleh BPK inilah yang kemudian membuat istilah WTP kembali menjadi gunjingan publik.
Sebagai lembaga pemeriksa keuangan, BPK memang institusi yang memiliki mandat untuk mengeluarkan opini tentang laporan keuangan lembaga-lembaga pemerintah. Sebenarnya BPK memiliki 3 opini lain selain WTP. Ada opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Memberikan Pendapat (TMP), dan opini Tidak Wajar (TW). Masing-masing opini memiliki kriteria dan konsekuensi. Namun, WTP memang yang paling popular. Selain menjadi target semua instansi pemerintah yang memang sedianya harus mendapatkan opini WTP, juga dalam beberapa waktu terakhir, status opini WTP kerap memunculkan tanda tanya publik. Sebab, banyak kementerian yang beberapa pejabat bahkan menterinya tersandung kasus korupsi, ternyata memiliki status opini WTP. Bagaimana itu bisa dijelaskan?
Mandat untuk memberikan opini terkait laporan keuangan semestinya dilakukan oleh BPK secara profesional dengan menjunjung tinggi pertanggung jawaban moral dan hukum. Dengan perannya itu, BPK adalah institusi yang menjadi alat deteksi dini terkait adanya peluang kebocoran dan penyalah gunaan anggaran negara sekaligus alat untuk memaksa agar para pejabat tidak main-main dengan anggaran yang mereka pegang.
Tetapi apa lacur, justru ada oknum BPK yang melacurkan diri menjadi konsultan bagi kementerian dan lembaga untuk mendapatkan opini WTP. Yah, situasi yang secara kepentingan ekonomi bisa dimengerti, namun tak pernah bisa diterima secara profesional dan moral.
Baca juga: Energi Langit Bagi Jiwa
WTP bak binatang buruan yang sangat langka. Semua instansi mengejar dan mengincarnya. Mereka (dari kalangan BPK maupun kementerian/lembaga) yang memiliki kedangkalan moral dan abai terhadap nilai-nilai profesionalisme tergoda untuk menggunakan jalan pintas. Oknum yang ada di BPK tergoda mengubah kacamata auditor menjadi kacamata pelaku bisnis; kelangkaan dan harga! Sementara itu, oknum yang ada di kementerian/lembaga ingin semakin moncer karirnya di satu sisi dan tak ingin terendus dosa-dosa anggarannya.
Jadi, perlu langkah tipu-tipu untuk mendapatkan WTP yang prestisius itu. Terjadilah kerja sama yang baik. Saling tolong menolong sesama aparatur pemerintah. WTP bisa didapatkan dengan sejumlah ketidak wajaran, namun tetap harus sesuai nilai jasa konsultannya. Membayar auditor dengan uang korupsi baru, untuk menutupi jejak korupsi lama.
Wajar Tanpa Pengecualian pun menjadi opini di mana-mana. Sayang prosesnya dipenuhi ketidak wajaran moral dan profesional. Tidak terlalu salah, jika ada pihak yang menuding bahwa WTP memang diperjual belikan, mengingat adanya sejumlah ketidak wajaran yang selalu muncul sebagai kenyataan saat WTP telah diberikan.
Mengapa opini WTP Dijual? Jawabnya mudah: “Karena ada yang mau beli dan ada yang mau menjual”.
Tetapi sulit untuk dijawab jika pertanyaannya: “WTP kok bisa dijual? Bukankah itu mestinya bukan untuk diperjual belikan?”
Sulit dijawab, bukan karena kurang argumen, tetapi karena pertanyaannya mungkin dianggap terlalu naif! Seperti pertanyaan anak-anak yang lugu yang sebaiknya didiamkan saja. Karena tidak ada jawaban pasti, maka publik bisa menerka-nerka sendiri, berspekulasi, dan bahkan beprasangka buruk. Beberapa di antara terkaan yang muncul adalah:
Pertama, mungkin sistem kita memang telah busuk. Segala sesuatu telah diakal-akali sedemikian rupa. BPK adalah produk dari kebusukan sistemik yang bersifat menyeluruh itu, ia hanya kena imbas yang bersifat niscaya. Akan sangat sulit mencari figur ASN, pejabat, dan auditor yang benar-benar bisa bertahan untuk tetap wangi di tengah kepungan kebusukan yang nyaris menyeluruh. Artinya, jangan buru-buru salahkan BPK semata. Ada lingkungan, budaya dan sistem birokrasi dominan yang menjebak institusi semacam BPK menjadi mandul.
Kedua, BPK sebagai instrumen pemerintahan tidak diawasi dengan baik. Siapa yang bisa dengan efektif mengawasi dan mengaudit kinerja para auditor itu? Meski pun badan pengawas, BPK juga secara manajerial perlu diawasi dengan ketat. Maraknya WTP bodong bisa jadi muncul dari mekanisme pengawasan yang masih lemah.
Baca juga: Tumbal Pencalonan Gibran: Akankah Sebanding?
Ketiga, pejabat dan auditor BPK mungkin perlu disterilkan dari orang-orang politik. Bukan rahasia, beberapa jabatan kementerian dan lembaga negara kerap jadi incaran para politisi. Nah, lembaga-lembaga semacam BPK ini semestinya tidak diisi oleh politisi atau mereka yang jelas berafilisasi pada Parpol tertentu karena rentan konflik kepentingan dan mengganggu independensi lembaga tersebut.
Jika WTP berhasil diperjual-belikan karena alasan ke-3 dan ke-2, mungkin masih ada harapan besar untuk memperbaiki kinerjanya pada masa yang akan datang. Tetapi jika yang terjadi adalah ekses dari masalah pertama, dimana BPK terimbas dari kebusukan sistem yang sudah parah, maka pengobatannya tidak akan mudah. Perlu perubahan-perubahan yang bersifat mendasar dan dalam jangka panjang.
Kita berharap, BPK masih cukup punya kredibitas moral dan profesional untuk secara jernih membedakan batas kewajaran dan ketidak wajaran serta berani menempuh jalan wajar di tengah besarnya arus yang menyeret pada kubangan ketidak wajaran.