Wanita Perindu Al Aqsa (Bagian 5): Razan Ashraf Abdul Qadir al-Najjar

Kami ingin menyampaikan pesan kepada dunia; Saya adalah pasukan bagi diri saya sendiri, dan pedang bagi pasukan saya. Kami punya satu tujuan, yaitu menyelamatkan dan mengevakuasi. Pesan saya kepada dunia adalah, tanpa senjata kami bisa melakukan apa saja.”

Razan Al Najjar adalah gadis muda kelahiran 1997 yang telah melewati tiga fase perang mematikan dari penjajah Israel di Gaza. Razan lahir dan dibesarkan di Khan Yunis, Gaza, tempat keluarganya tinggal sebagai pengungsi sejak Nakba. Razan tumbuh besar di Khuza'a, sebuah kota pertanian kecil di dekat garis gencatan senjata yang memisahkan Israel dari Jalur Gaza di distrik Khan Younes. Ayah Razan, Ashraf, adalah seorang mekanik dan saat ini sedang menganggur. Ibunya, Sabrine, adalah seorang ibu rumah tangga.

Razan adalah anak tertua Ashraf dan Sabrine. Ia memiliki tiga saudara laki-laki dan dua saudara perempuan. Ia bersekolah di sekolah negeri di Khuza'a tetapi tidak dapat melanjutkan pendidikan ke universitas karena keterbatasan keuangan keluarga.

Sejak tahun 2006, penjajah telah memblokade jalur Gaza. Sejak itu, penjajah memegang kuasa penuh atas semua pergerakan barang masuk dan keluar wilayah tersebut. Penjajah Israel membatasi masuk dan keluarnya barang semisal bahan bangunan, makanan, obat-obatan, dan sebagainya.

Razan kecil memiliki keinginan dan tekad kuat menjadi seorang dokter. Namun, efek dari blokade penjajah terhadap Gaza membuat keluarga Razan tak mampu membiayai mimpi sang putri. Sehingga, Razan memilih untuk mengambil kursus keperawatan.

Wanita Perindu Al Aqsa (Bagian 4): Amal Haniyyeh
Amal Haniyyeh mengucapkan selamat tinggal kepada suaminya, Ismail Haniyyeh, saat tiba di Qatar menjelang pemakaman Asy-syahid Ismail Haniyyeh.

Razan dikenal sebagai perempuan yang suka membantu, murah hati, ulet, penuh semangat. Ia sering bekerja shift selama 13 jam. Ketika dia berusia 18 tahun, Razan mulai menjadi sukarelawan sebagai pekerja pertolongan pertama darurat medis di PMRS, setelah menerima beberapa pelatihan singkat pertolongan pertama dan kursus asisten perawat dengan PMRS dan di Rumah Sakit Al Naser. Dia bekerja sebagai sukarelawan di rumah sakit PMRS dan Al Naser yang menyediakan pertolongan pertama bagi komunitasnya.

Razzan, Great Return March, dan Titik Perlawanan Gaza

Setiap hari Jumat selama setahun, warga Palestina di Gaza melakukan demonstrasi besar-besaran di sepanjang perbatasan yang diberlakukan oleh penjajah Israel. Mereka menuntut penjajah menghormati hak mereka untuk kembali ke rumah yang ditinggalkan sejak 1948 ketika penjajah secara paksa memindahkan 750.000 warga Palestina, sebagaimana dilindungi oleh hukum internasional.

Demonstrasi dimulai tanggal 30 Maret 2018. Warga Gaza pun terus melakukan perlawanan meski pun ada ancaman mematikan dari penjajah Israel. Saat protes Great March of Return dimulai, Razan menjual perhiasan dan ponselnya untuk membeli perlengkapan medis. Ia adalah wanita pertama yang menjadi relawan medis, merawat demonstran yang terluka oleh penjajah, meski pun ia sendiri juga mengalami luka-luka. Ia menunjukkan keberanian yang luar biasa, sehingga menjadi ancaman bagi penjajah.

Saya berkorban demi bangsa saya,” kata Razan mengenai kehadirannya di demonstrasi tersebut. “Saya akan selalu ada untuk negara dan rumah saya,” lanjutnya.

Tidak ada perasan ragu dan takut di hati Razan ketika menolong korban-korban yang berjatuhan. Ia menjadi tameng utama dalam memberikan pertolongan pertama. Perempuan energik itu menjadi salah satu target utama dalam penembakan yang akan dilakukan oleh penjajah.

Wanita Perindu Al Aqsa (Bagian 3): Shireen Abu Akleh
Tanggal 21 Mei 2022 adalah hari kemarian Shireen. Shireen begitu akrab dengan warga Palestina, bahkan mereka menganggap dia sudah seperti keluarga.

Tentara mencoba membunuh saya berkali-kali, Kata Razan. Saya menerima beberapa informasi bahwa saya menjadi sasaran tentara Israel dan bahwa saya harus menjauh dari lapangan karena aktivitas saya [merawat yang terluka], tetapi saya mengabaikan semua itu.

Kesyahidan Sang Relawan Medis

Hingga saat hari itu tiba. Di usianya yang menginjak 21 tahun, nama Razan diumumkan sebagai korban pada hari Jumat, 1 Juni 2018. Dia adalah tokoh terkenal di bidang kemanusiaan dan telah membuat banyak pernyataan pers tentang kesehatan orang-orang tak bersenjata yang menjadi korban tembakan penjajah selama demonstrasi Great March of Return.

Seorang penembak jitu telah membunuh Razan saat ia sedang menjalankan amanah sucinya sebagai relawan medis. Kesedihan, sakit hati, dan air mata memenuhi lingkungan Khuza’a di Khan Younis di Jalur Gaza pada hari Sabtu, saat warga Palestina berduka atas kematian Razan al-Najjar, seorang paramedis berusia 21 tahun yang terbunuh oleh tembakan penjajah Israel. Ribuan orang mengantarkan jenazahnya, termasuk Najjar Ashraf, ayah Razan. Ia membawa seragam berlumuran darah yang dikenakan putrinya saat dia tertembak.

Malaikatku telah meninggalkan tempat ini, dia sekarang berada di tempat yang lebih baik. Aku akan sangat merindukannya. Semoga jiwamu beristirahat dengan tenang, putriku yang cantik,” katanya.

Najjar menuturkan, sebagaimana seorang paramedis, putrinya berkonsentrasi membantu wanita dan anak-anak yang terluka selama demonstrasi.

Wanita Perindu Al Aqsa (Bagian 2): Jamila Abdallah Thaha al-Shanti
Semasa hidupnya, Jamila Al Shanti selalu dekat dengan perang, perlawanan, dan senjata. Ia menyaksikan betapa kejinya penjajah yang mulai merenggut nyawa keluarganya satu demi satu. Termasuk kekasih hidupnya, Abdel Aziz Rantisi.

Putri saya akan keluar setiap hari Jumat antara pukul 7 pagi dan 8 malam. Dia berada di lapangan melakukan pekerjaannya, menyembuhkan luka-luka mereka yang terluka, dan putri saya adalah seorang paramedis pemberani yang tidak pernah takut dengan penembak jitu Israel,” kata Sabrine, Ibu Razan Al Najjar. Dia biasa pulang ke rumah dengan seragam berlumuran darah. Dia biasa bertahan dalam unjuk rasa sampai semua orang pergi.

Perjuangan Razan bukanlah hal yang main-main. Gadis berusia 21 tahun ini sudah mampu mencetak sejarah, bagaimana keteguhan dan perjuangan warga Gaza. Razan mengecam kebiadaban Israel, dalam wawancaranya dengan media Internasional, dia mengatakan dengan tegas dan tanpa rasa takut tentang hal itu.

"Kami menyaksikan banyak serangan oleh pasukan Israel - paramedis dan jurnalis menjadi sasaran,” katanya. “Saya menyerukan kepada dunia untuk melihat dan memahami mengapa pasukan Israel menargetkan kami. Kami tidak melakukan apa pun. Kami hanya menyelamatkan orang-orang yang terluka dan menyembuhkan luka-luka mereka.

Jasadnya di Surga, Namun Misinya Terus Berlanjut

Kepergian Razan meninggalkan duka mendalam bagi bangsa Palestina dan dunia. Kita telah kehilangan gadis yang memiliki tekad kuat melawan penjajah, menjadi garda terdepan dalam membela kemanusiaan, menolong rakyat Gaza yang terluka. Sabrine, Ibu Razan, bersaksi bahwa Razan telah menghabiskan hidupnya dengan sibuk bekerja sebagai pekerja kemanusiaan di PMRS.

Ibunya berkata, Seseorang tidak punya kata-kata untuk menggambarkan perasaan saya. Saya ingin memberi tahu dunia bahwa Razan telah tiada, dan saya ada di sini menggantikannya. Inilah sebabnya saya mulai menjadi relawan di PMRS di garis depan. Apa yang dilakukan Razan adalah pekerjaan kemanusiaan, dan saya tidak mengerti mengapa mereka membunuhnya. Meski pun dia menghadapi bahaya dan tekanan yang besar, dia bersikeras. Ketika saya mulai menjadi relawan sebagai pekerja pertolongan pertama PMRS, saya mulai menyadari apa artinya melayani orang-orang yang sedang dalam kesulitan.

Wanita Perindu Al Aqsa (Bagian 1): Hanady Al Halawani
Sejak kecil, Hanady Al Halawani sering diajak neneknya ke Masjidil Aqsa. Neneknya sering kali menceritakan bagaimana kejinya penjajah membunuh kerabat dia saat peristiwa Nakba 1948.

Razan meninggalkan keluarganya. Dia akan sangat dirindukan oleh keluarga PMRS-nya. Seperti yang dikatakan ibunya, “Razan meninggal tetapi misinya terus berlanjut.”

Kontribusi-kontribusinya

  • Layanan Medis dalam Krisis: Memberikan bantuan medis selama protes perbatasan Gaza terhadap pengepungan penjajahan Israel.
  • Pemberdayaan Perempuan: Menjadikan perempuan turut serta dan berkontribusi di garda terdepan dalam pelayanan darurat medis.
  • Simbol Kemanusiaan: Menjadi simbol dedikasi terhadap tujuan kemanusiaan.
  • Advokasi Melawan Penjajah: Menggunakan perannya sebagai tenaga medis untuk melawan penjajah dan menarik perhatian terhadap penderitaan rakyat Gaza.
  • Inspiring Youth: Menjadi inspirasi bagi pemuda Palestina dan lainnya di seluruh dunia atas keberanian dan komitmennya terhadap perjuangan.