Wanita Perindu Al Aqsa (Bagian 6): Ahed Tamimi, Singa Cilik yang Menggigit Penjajah
“Jika Allah menghendaki, saya akan belajar Hukum. Saya akan mengajukan gugatan atas pelanggaran terhadap warga Palestina di pengadilan pidana, dan mengadili penjajah Israel atas hal itu. Serta menjadi pengacara hebat dan mengembalikan hak-hak negara saya.”
Ahed Tamimi adalah seorang aktivis Palestina. Ia lahir pada 31 Januari 2001 dan dibesarkan di desa kecil Nabi Saleh, sebuah desa kecil Palestina di Ramallah dan al-Bireh, di tengah Tepi Barat, yang menjadi pusat perlawanan terhadap penjajahan Israel.
Sejak kecil, Tamimi menyaksikan kekejian penjajah Israel yang tiada habisnya. Ia melihat, penjajah Israel mengancam hak-hak warga sipil, bahkan terhadap perempuan dan anak-anak. Sejak saat itu, Tamimi bertekad untuk melakukan perlawanan.
Semua keluarga Al-Tamimi dikenal sebagai keluarga yang menjdi garda terdepan dalam melawan Israel di Kota Nabi Saleh. Ahed Tamimi beserta beberapa anggota keluarganya, termasuk orang tua dan saudara laki-lakinya, berulang kali ditangkap oleh penjajah karena perlawanan mereka terhadap invasi penjajah Israel atas tanah Palestina.
Tamimi adalah ikon generasi muda Palestina yang memberontak dan telah menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki toleransi terhadap pelanggaran penjajah Israel yang terus menggerus hak dan kebebasan bangsa Palestina. Setelah menghabiskan delapan bulan di penjara karena menghadapi tentara pendudukan Israel di halaman belakang rumahnya, Ahed Tamimi muncul lebih kuat dan lebih bertekad untuk menyampaikan penderitaan dan perjuangan rakyatnya kepada dunia.
“Kekuasaan ada di tangan rakyat, dan rakyat akan dan mampu menentukan nasib mereka sendiri serta menentukan masa depan,” katanya.
Lahir dari Keluarga Besar Aktivis
Ahed Tamimi berasal dari keluarga yang dikenal aktif dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah Israel, dan memiliki kisah panjang dalam aktivisme politik perlawanan. Ayahnya, Bassem Tamimi, adalah aktivis berpengalaman serta terlibat dalam berbagai protes sejak Intifadha pertama. Pada 2011, ia dipenjara dengan tuduhan mengorganisasi kelompok remaja untuk melemparkan batu kepada penjajah Israel. Setahun kemudian, ia ditangkap kembali karena memimpin unjuk rasa boikot di Supermarket Ramy Levy di Tepi Barat karena menjual produk Israel. Ibunya Ahed, Nariman Tamimi, juga memiliki peran penting dalam memperjuangkan hak-hak Palestina dan telah ditangkap beberapa kali oleh otoritas Israel.
Latar belakang keluarga ini telah membentuk Ahed Tamimi untuk berkomitmen melakukan perlawanan terhadap penjajah, serta menjalankan perjuangan untuk membela hak-hak bangsanya. Ahed Tamimi menghabiskan masa kecilnya untuk sering terlibat dalam aksi protes terhadap penjajah Israel. Dia sering berdiri di garis terdepan dalam menantang penjajah Israel yang bersenjata lengkap, dengan tangan kosong.
Melawan Penjajah Sejak Usia 11 Tahun
Warga Nabi Shaleh rutin melaksanakan demonstrasi setelah shalat Jumat. Dengan bermodalkan ketapel sekadarnya, Tamimi dan pemuda Palestina lainnya melemparkan kembali gas air mata yang ditembakkan tentara Israel dari jarak sekitar 300 meter. Mereka memprotes pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat yang dianggap ilegal menurut hukum internasional. Sejak 2009, permukiman Yahudi Halamish menyasar desa mereka untuk dianeksasi yang akhirnya melahirkan protes mingguan. Selain itu, mata air yang menjadi andalan penduduk untuk pertanian juga dikendalikan penuh oleh pemukim Yahudi. Mereka melarang warga Nabi Saleh untuk mengakses dan memanfaatkannya.
Aksi yang dilakukan penduduk Nabi Salih dikomandoi oleh keluarga besar Tamimi dan kerap berujung pada tindak kekerasan. Mereka merespons gas air mata, peluru karet, meriam air, dan amunisi, yang dilontarkan tentara Zionis dengan batu-batu dan ketapel.
Sosok Ahed Tamimi menjadi dikenal publik sejak tahun 2012, saat usianya baru menginjak 11 tahun. Ketika itu, ia mempertahankan ibunya yang ditahan oleh penjajah Israel, serta membela kakak laki-lakinya yang ditangkap penjajah. Karena keberaniannya itu, Ahed Tamimi sempat dipuji oleh Presiden Palestina saat itu, Mahmoud Abbas.
Saat dia berusia 14 tahun, Ahed Tamimi kembali menjadi sorotan setelah rekaman video menampilkan Ahed menggigit seorang penjajah Israel untuk mencegah mereka menangkap adik laki-lakinya yang saat itu sedang menggunakan gips di lengan. Perlawanan Ahed Tamimi berlanjut dan terekam kamera pada 15 Desember 2017. Saat itu, Ahed Tamimi menghadapi tentara penjajah Israel yang memasuki halaman rumahnya di desa Nabi Saleh di Tepi Barat. Ia kemudian menampar, menggigit, dan menendang mereka. Ibunya merekam kejadian tersebut dan videonya menjadi viral. Atas keberanian inilah, penjajah mulai terancam dengan adanya aktivis 17 tahun itu, sehingga hidup Tamimi mulai berada dalam sorotan penjajah.
Peristiwa ini bermula saat sejumlah penjajah Israel bersiaga di dekat rumah keluarga Tamimi. Di dalam video yang beredar, terlihat Ahed dan keluarganya berusaha mengusir dua tentara dari halaman rumah mereka. Di dalam momen ketegangan, gadis berambut keriting itu tampak mendekati dua penjajah dan mencoba mengusir mereka. Ia lalu memukul, mendorong, dan menampar seorang penjajah Israel yang bersenjata. Sebelum insiden ini, keluarga Tamimi dan warga Desa Nabi Salih telah mengalami penangkapan dan intimidasi oleh Israel, termasuk penembakan peluru karet terhadap sepupu Ahed.
Hingga 1 Januari 2018. Waktu itu, Tamimi ditangkap. Pengadilan Tepi Barat mendakwa Tamimi dalam 12 dakwaan. Dia kemudian menerima kesepakatan di pengadilan untuk mengaku bersalah atas penyerangan, penghasutan, dan tuduhan menghalangi penjajah. Dunia marah atas penangkapan Tamimi. Ia menjadi ikon pembelaan perjuangan Palestina, sehingga potret besar dirinya dilukis di tembok Israel dengan Tepi Barat di Betlehem dekat Yerusalem.
Tekad Kuat Tamimi Menjadi Ahli Hukum
Setelah Israel mendapat desakan internasional, 29 Juli 2018, Ahed Tamimi dibebaskan setelah 8 bulan menjalani hukuman dalam penjara. Keluar dari penjara, ia muncul dengan lebih berani. Ia mengatakan bahwa tidak ada penyesalan dalam melawan penjajah.
“Pengalaman ditangkap itu sangat berat. Seberapa pun saya berusaha, saya tidak dapat menggambarkannya,” kata Ahed.
Namun, ia menambahkan, “Pengalaman ini memberi nilai tambah kepada hidup saya, mungkin membuat saya lebih dewasa, lebih sadar, namun saya tidak pernah menyesalinya”.
“Jika Allah berkehendak, saya akan belajar hukum,” tambah gadis berusia 17 tahun (pada tahun 2018, red) dari Nabi Saleh di Tepi Barat itu. “Saya akan mengajukan pelanggaran terhadap warga Palestina ke pengadilan pidana, dan mengadili Israel atas hal itu. Dan menjadi pengacara hebat dan mengembalikan hak-hak negara saya,” imbuhnya.
Selama dalam penjara, ia menghabiskan waktunya untuk duduk seharian sembari mempelajari teks hukum. “Kami berhasil mengubah penjara menjadi sekolah,” katanya.
Kasusnya menyoroti penangkapan dan penahanan terhadap lebih dari 300 anak di bawah umur Palestina, menurut kelompok hak asasi manusia setempat. Ahed mengatakan, pengalamannya di penjara membantu dia mencapai ambisinya untuk menjadi pengacara internasional.
“Misalnya, saya diinterogasi. Ada pelanggaran terhadap saya. Hukum internasional mengatakan bahwa hal ini tidak boleh terjadi kepada saya,” katanya, seraya menambahkan bahwa di kehidupan lain ia akan dilatih untuk menjadi pemain sepak bola profesional.
“Mereka takut akan kebenaran. Jika mereka tidak salah, mereka tidak akan takut akan kebenaran. Kebenaran membuat mereka takut. Dan saya berhasil menyampaikan kebenaran ini kepada dunia. Dan tentu saja, mereka takut seberapa jauh jangkauan saya. Mereka selalu takut akan kebenaran. Mereka adalah penjajah, dan kami berada di bawah pendudukan,” tuturnya.
Ketenaran dia menjadikan Ahed Tamimi lebih bersemangat lagi dalam membela hak-hak bangsanya. Dialah seorang gadis yang dianggap sebagai pahlawan lokal sebelum ia duduk di sekolah menengah.
“Saya merasa bangga telah menjadi simbol perjuangan Palestina untuk menyampaikan pesan Palestina ke seluruh dunia. Tentu saja, ini merupakan beban berat bagi saya. Memang benar; ini merupakan tanggung jawab yang besar. Namun, saya sepenuhnya yakin bahwa saya mampu melakukannya,” katanya.
Karya-Karya
- They Called Me A Lioness: Palestinian Girl’s Fight from Freedom
- Ahed Tamimi: A Girl Who Fought Back