Zainal Abidin Ahmad: “Pejuang dan Arsitek Masyumi”
Diantara para tokoh Pergerakan dan Intelektual Masyumi yang sering diceritakan oleh Kakek sewaktu di Bukit Tinggi adalah Prof. Zainal Abidin Ahmad. Karya-karyanya sudah saya baca sejak duduk dibangku Madrasah Muallimin dan menjadi rujukan wajib training advance Pelajar Islam Indonesia.
Sebagai alumni dari Sekolah Thawalib Padang Panjang Sumatera Barat, beliau diamanatkan oleh Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim (penulis kitab Ushul Fiqh As-Sulam) untuk mengajar pada kelas tertinggi (1929-1933). Salah satu buku refrensi yang dipakainya ketika itu ialah buku The New World of Islam karya Lottrop Stoddard yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Amir Syakib Arselan berjudul Hadirul Alam Islamy.
Karena pengaruh ajaran yang diberikannya pada waktu itu membangkitkan semangat jihad para siswa Sumatera Thawalib, maka pemerintah kolonial melarang beliau mengajar (onderwijsverbod).Pada waktu itu pemerintah Hindia Belanda memberlakukan “wilde scholeh ordonantie”, yaitu ordonasi yang sengaja dibuat untuk melumpuhkan apa yang dinamakan oleh penjajah dengan “sekolah-sekolah liar”.
Dalam dunia karang-mengarang, Allahuyarham Zainal Abidin Ahmad adalah seorang penulis produktif. Buku-buku karanganya antara lain: Konsepsi Politik dan Ideologi Islam, Konsepsi Negara Bermoral menurut Imam al-Ghazali, Negara Adil dan Makmur menurut Ibnu Sina, Piagam Madinah: Konstitusi Negara Tertulis yang Pertama di Dunia, Ilmu Politik Islam, Memperkembangkan dan Mempertahankan Pendidikan Islam di Indonesia, Riwayat Hidup Imam al-Ghazali, Riwayat Hidup Ibnu Rusyd, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, dan beberapa buku lainnya. Karya-karyanya ini merupakan hasil pengembaraan intelektual beliau sewaktu menjelajah dunia Eropa dan Timur Tengah.
Dalam jagat kewartawanan ia juga pernah memimpin sejumlah media massa yang berpengaruh di Nusantara. Seperti “Panji Islam” (1934-1942) Medan, “Al-Manar” (1937-1942) Medan, “Fadjar Asia” (1943-1942) Singapura, “Berita Melayu” (1944-1945) Singapura, “Indonesia Raya” (1947-1948) Yogyakarta, “Pemandangan” (1950) Jakarta, dan “Harian Abadin” (1951-1957) Jakarta.
Pada awal zaman pergerakan tahun 1934 sejumlah insan pers Muslim seperti: Hamka, Yunan Nasution, dan HM. Joesoef Ahmad mendirikan Persatuan Wartawan Muslimin Indonesia (WARMUSI). Dan ia terpilih sebagai ketua (1937-1942). Murid dari Syeikh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ini memang tergolong seorang penulis yang bukan saja produktif, tetapi kalimat-kalimatnya pun begitu lancar, mudah dicerna dan dimengerti oleh orang awam sekalipun.
Pada tahun 1957 Himpunan Pengarang Muslim Indonesia (HPI) di Jakarta mengadakan angket untuk seluruh pembaca tanah air, menyebut sepuluh orang pengarang Islam terkemuka. Antara lain: 1. HAMKA, 2. Isa Anshari, 3. Mohammad Natsir, 4. Tamar Djaya, 5. Moenawwar Khalil, 6. Zainal Abidin Ahmad, 7. Hasbi As-Shiddiqiy, 8. Firdaus AN, 9. Ahmad Hassan, 10. Zaenal Arifin Abbas.
Cendikiawan Melayu-Minangkabau yang dianugerahi gelar profesor oleh Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta pada 1982 ini sudah aktif berpolitik sejak usia belia. Bahkan di zaman Belanda, pada usia 23 tahun, ia sudah ikut mendirikan serta memimpin Partai Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), Partai Islam Indonesia (PII), dan kemudian sebagai aktifis Partai Masyumi. Ia sempat menjadi Wakil Ketua DPR untuk masa jabatan 1955-1959. Selain tokoh “Bulan Bintang” seperti M Natsir, Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito dan Sukiman. Ia juga sebagai seorang ‘think-tank’ (pemikir dan ideolog) Masyumi yang menjalankan mesin roda politik dalam berjuang. Karya-karyanya menjadi bacaan wajib bagi para anggota dan kader Masyumi di berbagai daerah.
Bagi aktivis Masyumi yang partainya di bubarkan Presiden Soekarno setelah Demokrasi Terpimpin, bukanya berpangku tangan. Banyak diantara mereka yang meneruskan perjuangannya di bidang lain. Bagi orang-orang beriman, keadaan yang dihadapinya itu merupakan cobaan semata; dan diterimanya sebagai kehendak Allah, untuk kebaikan bersama. Lagi pula, bagi seorang pejuang, kalah menang dalam perjuangan, timbul atau tenggelam dalam pergolakan semuanya adalah sunnah ilahi semata. Bagi mereka, tempat berjuang mengabdikan diri kepada Allah, negara, bangsa, dan agama bukan hanya ada di gedung DPR; tidak hanya di dalam pemerintahan saja; tetapi juga dapat dilakukan di berbagai bidang lain. Partai yang berlambang bintang dan bulan itu tak lantas kemudian vacuum dari dunia dakwah. Mereka terus bekerja bagi kemaslahatan umat dan bangsa. Karenanya saat partai Masyumi dibubarkan, sebahagian tokoh Masyumi kemudian mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.
Prof.Kamal Hassan (Cendikiawan asal Malaysia/mantan Rektor IIUM) dalam disertasinya di Columbia University mengatakan Dewan Dakwah yang didirikan para tokoh Masyumi adalah sebagai “Laboratorium Dakwah”. Dewan Dakwah aktif melakukan kaderisasi da’i, mendirikan masjid, memberikan bantuan sosial, membina angkatan muda baik sekolah, pesantren maupun kampus. Sampai ada sebuah ungkapan, “Jika dulu berdakwah lewat jalur politik, maka sekarang berpolitik lewat jalur dakwah”.
Di awal tahun 1980an Zainal Abidin Ahmad sering didatangi oleh para aktifis Pelajar Islam Indonesia (PII) wilayah Jakarta untuk meminta nasihatnya sekaligus menimba ilmu Sejarah Peradaban Islam. Ketika awal kebangkitan dakwah kampus Salman ITB beliaulah yang menjadi salah satu instruktur pada LMD (Latihan Mujahid Dakwah) yang dikomandani Bang ‘Imad, AM Saefuddin, AM Lutfi, Fuad Amsyari, Kuntowijoyo, dan Endang Saifuddin Anshari.
Dalam buletin Dakwah no.24 yang diterbitkan oleh DDII Jakarta Raya tahun 1974 Zainal Abidin Ahmad menulis: “Ide yang besar pasti akan melahirkan suatu usaha yang besar. Dan sebaliknya ide yang kecil hanyalah menimbulkan usaha yang kecil juga, meskipun dibungkus atau dihiasai dengan nama yang besar. Bungkusannya yang besar tidaklah dapat menghasilkan suatu usaha yang besar, kalau memang ide yang mendukungnya adalah kecil”. Seorang Muslim haruslah menjadi “Ideien drager” (pembawa dan pendukung cita-cita besar), malah harus lebih tinggi. Bukan hanya cita-citanya besar dan tinggi, tetapi niatnya juga harus ikhlas, menuju kepada arah yang satu, yaitu kepada Allah SWT. Pekerjaan hijrah adalah ide yang besar, merupakan suatu lompatan sejarah yang merubah wajah Arabia dari jahiliyah kepada Islamiyah, dan merubah umat Islam yang tertindas menjadi umat yang berkuasa dan berdiri di atas kedaulatannya sendiri”.
Pejuang dan Ideolog Masyumi yang lahir pada 11 April 1911 di Sulit Air Sumatera Barat ini dan wafat pada Selasa 26 April 1983 di Rumah Sakit Islam Jakarta. Dalam pandangan sahabat dan kawan seperjuangannya H.M. Yunan Nasution mencatat, Allahuyarham mempunyai watak kepemimpinan, yang selalu bersifat membimbing, suka bergaul dengan setiap lapisan masyarakat. Dalam rapat dan pertemuan selalu mengemukakan pendapat yang membangun, tidak merasa benar sendiri, suka memberi dan menerima (take and give), tidak konfrontatif, kalau orang lain belum dapat menyetujui pikirannya, ia tidak mutung, tapi diterimanya dengan lapang dada.
Ibarat menemukan sebuah harta karun yang sekian lama terpendam, saya merasa bersyukur banyak mengoleksi karya-karya intelektual Masyumi khususnya karya Zainal Abidin Ahmad yang masih saya miliki sebagai warisan dari kakek. Semoga juga kita berharap karya pejuang dan intelektual Masyumi ini dapat kembali terbit. Agar generasi selanjutnya dapat melanjutkan estafet perjuangan bapak-bapak Bulan Bintang. “Risalah Merintis Dakwah Melanjutkan” dapat terwujud.