Zakat Kepada Orang Tua Sendiri yang Berhutang, Bolehkah?
Tanya:
Apakah boleh seorang muzakki memberikan zakat malnya kepada kerabat terdekatnya (orang tua,paman,bibi, saudara sekandung ) kalau memenuhi salah satu syarat penerima zakat, seperti terlilit utang yang mereka susah untuk melunasinya ? Ustadz tolong penjelasannya
Arfah, Sorong Papua Barat.
Jawab:
Pada dasarnya seseorang tidak boleh memberikan zakatnya kepada orang yang menjadi tanggungan nafkah wajibnya. Di antara yang menjadi tanggungan nafkah itu adalah orang tua yang miskin atau masuk kategori dhuafa baik karena sakit ataupun memang tak lagi punya harta.
Hal ini disepakati oleh para ulama sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Al-Mundzir dalam kitab Al-Ijma’ hal. 48, ijma’ nomor 119:
“Dan para ulama sepakat bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada kedua orang tua dalam hal yang memaksa muzakki menafkahi orang tuanya itu.”
Tapi ini khusus bila mereka diberikan atas dasar miskin atau faqir. Namun bila kedua orang tua ini termasuk kategori lain dari ke delapan ashnaf zakat yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan dan nafkah wajib muzakki maka boleh diberikan zakat kepadanya. Misalnya bila orang tuanya ini termasuk gharimin yang berhak menerima zakat, atau amil, atau mujahid fii sabilillah yang berhak menerima zakat, atau muallaf, atau budak yang ingin membebaskan diri (fir riqaab).
Sebab hukum tak bolehnya berzakat kepada orang tua atau anak sendiri adalah karena seakan itu pengganti nafkah, sedangkan nafkah adalah kewajiban, lalu bila diganti dengan zakat maka muzakki yang tadinya punya dua kewajiban seakan menggabungnya menjadi satu sehingga dia terlepas dari salah satu kewajiban. Akibatnya dia mendapatkan keuntungan materi, sehingga seakan dia berzakat untuk kepentingannya sendiri.
Maka dari itu sama halnya dengan seorang majikan yang tidak boleh membayarkan upah pekerja yang sudah jadi kewajibannya dari uang zakat bila dia masih mampu membayarkannya dengan uangnya sendiri, karena seakan dia memanfaatkan uang zakat untuk kepentingan pribadinya yaitu membayar pekerja yang seharusnya dia bayarkan bukan dari uang zakat.
Kesimpulannya, bila ada orang tua yang punya banyak hutang dan tak sanggup membayar maka anaknya boleh membayarkan dari uang zakatnya sendiri, karena membayar hutang orang tua atau anak bukanlah kewajiban kita. Dalam hal ini orang tua tersebut termasuk gharimin dan bukan faqir miskin.
Untuk urusan utang piutang maka syariat tidak melimpahkan kewajiban pembayarannya kepada orang lain. Bahkan andai istri berhutang tanpa sepengetahuan suami maka suami tidak wajib membayarnya karena itu di luar tanggungan nafkah.
Referensi:
- Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah jilid 23, hal. 326:
"Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Ibnu Taimiyah dari kalangan Hanabilah memberi ketentuan tidak boleh membayarkan zakat kepada orang tua atau anak sendiri bila dari golongan faqir miskin, tapi kalau memberi zakat kepada mereka dari atas dasar amil, mukatab (budak yang ingin membebaskan diri dengan mencicil), gharimin (orang yang berutang), atau relawan jihad fii sabilillah maka tidak mengapa. Mereka juga mengatakan, kalau dia tidak wajib menafkahi mereka maka boleh memberi zakat kepada mereka."
- Syarh Al-Muhadzdzab oleh An-Nawawi jilid 6, hal. 229:
“Para ulama kami mengatakan, seseorang tidak boleh membayarkan zakat kepada anak dan orang tuanya yang wajib dia nafkahi dari saham faqir dan miskin karena dua sebab, pertama karena dengan nafkahnya maka anak atau orang tuanya ini sudah dianggap berkecukupan.
Kedua, karena dengan membayar zakat kepada mereka berarti menambah manfaat untuk dirinya sendiri yaitu melepaskan diri dari kewajiban nafkah.
Para ulama kami (syafi’iyyah) juga mengatakan boleh membayar zakat kepada anak dan orang tua dari saham amil, mukatab, gharimin dan pasukan perang bila mereka dalam keadaan demikian. Tidak boleh menzakatinya atas dasar muallaf kalau mereka termasuk yang wajib dia nafkahi, karena nanti manfaatnya akan kembali kepada si muzakki ini lagi yaitu pengguguran nafkah. Tapi kalau bukan termasuk yang wajib dia nafkahi maka boleh membayarkan zakat kepadanya.”
Dijawab oleh Ustadz Anshari Taslim, Lc. / Mudir Pesantren Bina Insan Kamil - DKI Jakarta
Bagi pembaca setia Sabili.id yang ingin mengajukan pertanyaan seputar kaidah hukum Islam, silahkan mengirimkan pertanyaannya ke meja redaksi kami melalui email: redaktursabili@gmail.com