Berdiri di Atas Demokrasi: Berkah dan Bahayanya

Berdiri di Atas Demokrasi: Berkah dan Bahayanya
Photo by Fred Moon on Unsplash

Masih segarkah dalam ingatan sejarah kita tentang perjuangan para kaum muda dalam menumbangkan tahta Soeharto di masa Orde Baru? Geliat yang mereka namakan reformasi itu mendapat angin segar atas nama demokrasi. Tidak hanya kaum muda saja yang berorasi di gedung-gedung dan lapangan terbuka, tetapi kaum tua pun ikut terjun, menandai semangat reformasi yang kian bergelora.

Terlepas dari bagaimana akhir kisah panjang proses reformasi yang hingga kini masih menggantung di tangan para pemimpin negeri ini, euforia reformasi menjadi catatan penting tentang bagaimana demokrasi menemukan momen-momen pentingnya. Bukan hanya itu. Di negeri Barat yang menjadi pioneer demokrasi, masyarakat muslim pun dapat mengekspresikan dan mengembangkan Islam walau pun tetap menghadapi tantangan.

Bahkan, pengenalan Islam dan penyebaran Al Qur’an gratis telah bebas dilakukan di negeri-negeri Barat.  Sebut saja Eropa. Perkembangan Islam yang sangat pesat di negara-negara Eropa belakangan ini juga membuat beberapa kalangan semakin takut akan adanya “Islamisasi Eropa”. Gerakan SIOE (Stop Islamization in Europe) pernah merasa khawatir akan perkembangan pesat Islam dan akhirnya mengadakan demonstrasi yang cukup besar. Tetapi kita bisa saksikan, di sepanjang tahun 2023 sampai 2024 terjadi kenaikan jumlah mualaf dari Eropa hingga 400%, selama serangan Israel ke Gaza, Palestina. Pun ada kenaikan mualaf di Amerika yang mereka juga ternyata selebgram, tiktoker, dan influencer lain, bahkan aktivis HAM yang jumlah follower-nya luar biasa. Ini akan menjadi faktor plus (nilai tambah) dakwah Islam di dunia.

Fenomena di atas juga bisa dianalogikan dengan kisah Rasulullah saw yang meminta suaka kepada Raja Najasyi yang seorang Nasrani, ketika hijrah bersama para sahabat dan pengikutnya.  Sebabnya, nasib kaum muslimin yang ditindas habis-habisan di Mekkah, sementara masyarakat Islam yang diidam-idamkan masih dalam impian. Ternyata, walau pun Raja Najasyi adalah seorang Nasrani, ia menerima.

Jadi bisa dibilang, jika terjadi di masa kini dia bisa disebut sebagai demokrat sejati, yang toleran dan siap menerima banyak perbedaan. Bahkan, akhirnya Raja Najasyi masuk Islam atas dasar keyakinannya terhadap kebenaran agama yang dibawa Nabi Muhammad saw.

Baca juga: Korupsi sebagai Implikasi Cinta Dunia yang Berlebih

Namun, di balik berkah tersebut kita harus dapat mengenali, mewaspadai, dan selanjutnya bisa mengantisipasi bahaya di balik manisnya berkah demokrasi yang menggiurkan tersebut.  Demokrasi yang merupakan produk barat ini menuai kontroversi dari banyak kalangan Islam, dikarenakan potensi bahaya yang ditimbulkannya.

Tentu saja banyak alasan kuat yang melatarinya. Pertama, demokrasi yang merupakan produk Barat ini melandaskan diri pada sesuatu yang bersifat sekuler, jauh dari nilai-nilai Ilahiah, sehingga sangat mungkin menyimpang dari hal-hal yang menyentuh moralitas. Batasan-batasan demokrasi akhirnya menjadi kabur.

Kedua, suara rakyat adalah suara Tuhan. Ini dapat kita ketahui dari bagaimana penghargaan terhadap suara rakyat dan mengabaikan apakah suara rakyat tadi sudah sesuai dengan nilai-nilai kebenaran Ilahi atau tidak. Sikap mendewa-dewakan demokrasi ini berbahaya, karena kebenaran itu ditentukan oleh banyak faktor.

Ketiga, demokrasi mengabaikan kualitas dibandingkan kuantitas, konten dibandingkan konteks. Sebagai contoh, dalam sebuah pemungutan suara, suara seorang yang hanya tamat SD nilainya sama dengan suara seorang Profesor. Oleh karenanya, money politic pun masih menjamur. Khususnya di negeri ini.

Banyak kalangan mengatakan, Pemilu 2024 adalah pemilu terburuk. Banyak hal dipolitisasi. Kecurangan dan pelanggaran hukum menjadi hal yang lumrah saja. Segala cara akan ditempuh untuk mengumpulkan sesuatu yang berharga yang bernama suara. Sodok ke sana ke mari tak jadi soal. Fitnah dan hoaks pun merajalela, bahkan ada pabriknya dengan buzzer dan provokator sebagai agennya. Kecurangan demi kecurangan pun menjadi-jadi. Sedihnya, itu semua sudah bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. 

Keempat, mengabaikan kelemahan sistem perwakilan dengan asumsi bahwa suara seorang wakil rakyat telah mewakili suara rakyat. Padahal, seringkali rakyat kecewa dengan apa yang sudah diamanahkan kepada wakilnya.

Baca juga: Bukan Negara Agama, tetapi Agama Selalu Disalahkan

Kelima, mengabaikan kelemahan institusi partai. Pada kenyataannya, terkadang kepentingan partai lebih mendominasi dibandingkan kepentingan masyarakat. Bahkan mungkin masyarakat justru menjadi korbannya.  Tetapi, kita juga tidak bisa menjatuhkan judgement ini kepada semua partai. Sebab, bagi partai yang sadar akan hak dan kewajibannya, tentunya ia akan berfikir untuk maslahat umat.

Keenam, ketidakteraturan dalam pengungkapan ekspresi atau pendapat. Ini juga dapat menjadi bumerang bagi sebuah negara.  Jika pada masa pemerintahan diktator suara rakyat dibungkam dan dibunuh sehingga rakyat hidup dalam kestatisan dan keapatisan, maka dalam alam demokrasi suara rakyat ibarat air kran yang terus mengalir tak terbendung. Akhirnya, terkadang masyarakat jadi mudah dimobilisasi untuk melakukan koreksi bahkan perlawanan yang bersifat anarkis dan brutal.

Ketujuh, adanya euforia demokrasi menjadikan “persaingan” ketat dari banyak ideologi dan nilai yang muncul. Demokrasi menjadi penghambat konsolidasi sebuah sistem nilai karena semua nilai akan mendapatkan tempatnya. Nilai-nilai keagamaan akan mendapatkan dukungan dengan adanya kelembagaan dalam lingkup kekuasaan. Akan tetapi, nilai-nilai materialisme, hedonisme, pragmatisme, pluralisme, liberalism, dan turunannya, juga mendapat tempat yang sama bahkan mungkin lebih.

Kita bisa melihat fenomena ini di sekitar kita. Begitu banjirnya ideologi merusak yang keberadaan informasinya juga ditunjang oleh kemajuan digital yang seolah tanpa batas. Dan pada akhirmya, informasi-informasi tersebut yang akan membangun paradigma dan perilaku negatif di masyarakat.

Ini menjadi sangat berbeda ketika kita mengingat kembali bagaimana Rasulullah saw tercinta menghidupkan “demokrasi ala Rasulullah” yang begitu manis dan jauh dari intrik jahat.  Perang Uhud yang begitu mengguncang karena sahabat-sahabat terbaik gugur, tidak pernah menjadi penyesalan Rasulullah hanya karena pendapat beliau untuk bertahan di kota dan tidak menyerang ditolak oleh syuro saat itu. Ini terjadi juga karena ketidak taatan pasukan kepada pemimpin. Mereka lebih tergiur kepada harta rampasan yang tidak lain adalah jebakan dari musuh.

Kita juga tentu masih ingat, bagaimana Rasul saw tidak pernah menunjuk seseorang sebagai penggantinya. Seperti yang kita ketahui, dalam sirah nabi tentang proses terangkatnya Abu Bakar Shidiq sebagai khalifah pengganti Rosul, walau secara aklamasi tetapi terjadi dengan proses yang agak alot.

Baca juga: Kedengkian Politik Menjadikan Ia Gembong Kemunafikan

Keputusan pada perang Khandaq yang pada akhirnya mengambil ide gemilang seorang Salman Al Farisy untuk membuat parit juga menjadi sejarah “demokrasi ala Rasulullah” yang diingat oleh sejarah.

Sering kali pembahasan demokrasi disandingkan dengan syuro. Di dalam Islam, sistem syuro butuh otoritas keilmuan dan pemahaman agama. Pengambil kebijakan hanya orang-orang yang punya integritas. Nilai-nilai yang tidak punya batasan-batasan akan menjadi spektrum yang terpancar liar. Sebagaimana juga demokrasi. Ia butuh integritas di mana pun ia berada. Dan integritas melekat pada manusia sebagai subyek. Tanpa itu, kerusakan pasti akan terjadi di mana-mana.

Saya akan mengutip definisi syuro yang dirangkum dari berbagai pendapat ulama. Syuro adalah berbagai pendapat yang beraneka ragam dan disertai sisi argumentatif dalam suatu perkara atau permasalahan, diuji oleh para ahli yang cerdas dan berakal, agar dapat mencetuskan solusi yang tepat dan terbaik untuk diamalkan, sehingga tujuan yang diharapkan dapat terealisasikan (Asy Syura fi al-Kitab wa as-Sunnah halaman 13).

Mengakhiri sebuah kisah panjang berjudul demokrasi memang sangat sulit. Khususnya menelaah di balik berkah dan bahayanya. Kita harus ingat bahwa dengan semakin tuanya bumi ini, maka semakin banyak ideologi yang akan lahir dengan bidan-bidannya yang mungkin kita tidak tahu siapa. Tiba-tiba saja ideologi itu sudah menjadi wacana publik yang akhirnya berkembang menjadi satu kepercayaan bersama.

Maka, membahas demokrasi, ada banyak yang perlu kita sikapi secara arif dan cerdas. Tentunya mencari benang merah yang bisa menjadikan demokrasi sebuah angin segar untuk menghasilkan banyak kebaikan?

Wallahu a’lam bishowwab.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.