Blunder Membawa Berkah

Blunder Membawa Berkah
Ilustrasi Palu, Jokowi, Prabowo, dan Gibran / sabili.id

Mahkamah Konstitusi (MK) Senin (16/10) kemarin, telah membacakan keputusannya ihwal batas usia Capres/Cawapres. Banyak pakar hukum yang kena prank, lantaran tiga keputusan MK yang dibacakan sedari pagi hingga siang di hari itu, menolak gugatan yang diajukan PSI, Partai Garuda, dan sejumlah Kepala Daerah. MK menilai, aturan batas usia capres/cawapres minimal 40 tahun adalah Open Legal Policy yang menjadi ranah pembuat Undang-Undang, yakni DPR dan Pemerintah.

Namun, sore hari saat Ketua MK, Anwar Usman, membacakan putusan atas gugatan seorang mahasiswa Universitas Surakarta atas persoalan yang sama, keputusan MK berubah. Usia minimal 40 tahun itu ditambah frase “atau pernah/sedang menjadi Kepala Daerah”. Dengan begitu, Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka yang juga putra sulung Jokowi, lolos syarat pencalonan. Keputusan MK itu sontak menyulut kontroversi. Bahkan, 4 hakim konstitusi menyatakan Dissenting Opinion. Saking kagetnya, hakim konstitusi Saldi Isra sampai menyatakan, "bingung dan benar-benar bingung mau mulai dari mana menyatakan dissenting opinion" lantaran keputusan MK yang berubah dalam sekelebat.

Apakah yang sebenarnya terjadi dan bagaimana kira-kira dinamikanya ke depan pasca keputusan MK tersebut? Keputusan MK Senin (16/10) itu bukanlah ujug-ujug, tetapi merupakan rangkaian dari strategi dan taktik Jokowi untuk mempertahankan kekuasaan. Pak Lurah merasa belum cukup waktu untuk menuntaskan "gawean"-nya, terutama berkaitan dengan IKN. Segala cara dan upaya pun dilakukan.

Mulanya, aturan tentang Pilkada yang digarap. Sukses. Pilkada yang seharusnya berlangsung tahun 2022, ditunda hingga usai pilpres/pileg. Untuk mengisi kekosongan jabatan, akan ditunjuk pejabat gubernur/bupati/walikota oleh Mendagri. Lantaran diangkat oleh Mendagri yang notabene bawahan Presiden, para pejabat Kepala Daerah itu diharapkan akan mengamankan kemauan Jokowi.

Langkah selanjutnya adalah melakukan penggalangan opini agar pembatasan jabatan presiden dua kali berturut-turut diubah, setidaknya menjadi tiga kali. Namun, ketika upaya ini mendapatkan resistensi keras dari berbagai kalangan, opini digeser menjadi perpanjangan masa jabatan sekurangnya dua tahun. Artinya, masa jabatan kedua Presiden Jokowi baru berakhir pada Oktober 2026. Tentu termasuk juga anggota DPR/DPRD, DPD dan MPR. Alasannya, selama pandemi Covid 19, pemerintah kehilangan waktu nyaris dua tahun penuh untuk melaksanakan programnya. Untuk memuluskan keinginan itu, berbagai paguyuban dan lembaga kemasyarakatan dikerahkan menyuarakan ide perpanjangan tersebut. Yang paling getol adalah Paguyuban Kepala Desa. Namun, upaya ini juga tidak berjalan mulus.

Usaha lain, meski dilakukan secara tersembunyi dan terselubung melalui sejumlah tokoh dan pakar, adalah membuka opsi penundaan pemilu. Salah satu dalihnya, karena biaya pemilu yang mahal, sementara anggaran negara sedang cekak. Namun, upaya ini macet lantaran para pimpinan partai ngotot pemilu harus tetap berlangsung sesuai rencana. Salah satu yang paling keras adalah PDIP. Hal ini wajar mengingat berbagai survey menempatkan partai moncong putih itu bakal mencetak hatrick, tiga kali berturut-turut memenangkan pemilu.

Pada waktu yang sama, bawahan Jokowi, KSP Muldoko, berusaha merebut kepemimpinan Partai Demokrat dari genggaman SBY dan keluarga. Namun, upaya itu buntu. Penguasaan parpol ini penting mengingat yang berhak mencalonkan capres/cawapres, anggota DPR/DPRD maupun calon kepala daerah, adalah parpol. Di sinilah kelemahan utama Jokowi. Ia hanya kader PDIP, bukan pimpinan partai itu. Pencalonan dirinya sebagai Walikota, Gubernur, dan Presiden melalui partai pimpinan Megawati tersebut. Begitu juga anak dan menantunya, Gibran dan Bobby. Tak heran jika Megawati secara terbuka kerap menyebut dia sebagai petugas partai. Sebutan yang sejatinya tak sedap dan kurang elok. (Lihat tulisan: Demi Dinasti: Demokrat tak Dapat, PSI pun Jadi).

Baca Juga : Demi Dinasti: Demokrat Tak Dapat, PSI pun Jadi

Dengan keputusan MK di atas, jalan Gibran mendampingi Prabowo sebagai cawapres dari koalisi KIM terbuka lebar. Nama-nama yang sebelumnya beredar sekadar gimmick. Boleh jadi hal ini juga yang sebenarnya ditunggu Prabowo, sehingga tak kunjung menyatakan Cak Imin sebagai cawapresnya, meski Gerindra dan PKB sudah setahunan "pacaran". Bukan mustahil pula Cak Imin sudah tahu sejak awal skenario di atas, sehingga dengan cepat menyambar peluang yang ditawarkan Surya Paloh untuk melompat ke Koalisi Perubahan.

Mengapa harus Gibran? Padahal ia tergolong "anak kemarin sore" yang pengalaman politiknya seumur jagung dan prestasinya sebagai Walikota Solo pun seujung kuku? Bukankah di koalisi KIM ada Erick Tohir, Airlangga Hartarto, Muhadjir Effendi, dan sejumlah tokoh lain yang diajukan sebagai Cawapres? Bukankah mereka adalah para pembantu "setia" Jokowi dengan usia yang lebih matang dan jam terbang jauh lebih panjang?

Jika Gibran benar-benar jadi cawapres KIM, publik sekali lagi kecele. Erick, Airlangga, Muhadjir, dan yang lain boleh jadi benar-benar setia dan mendukung penuh Jokowi. Masalahnya, apakah Jokowi percaya mereka benar-benar setia dan siap menjaganya selepas jadi Presiden? Bukankah dalam politik "tidak ada teman sejati, tidak ada musuh abadi, yang ada adalah kepentingan"? Sebagai politikus ulung, Jokowi tentu sangat memahami adagium politik tersebut. 

Jangan lupa pula, perpolitikan di negeri ini kental dengan warna perselingkuhan dan "pengkhianatan". Kita mulai dengan kejatuhan rezim Soeharto. Selain karena demo besar-besaran yang marak di mana-mana dan penolakan sejumlah tokoh nasional masuk Komite/Kabinet Reformasi yang direncanakannya, lengsernya Soeharto juga lantaran adanya Surat Pernyataan 14 Menteri yang menolak masuk Kabinet Reformasi. Tanggal 20 Mei 1998, ke-14 Menteri itu rapat di Gedung Bappenas dipimpin Menko Ekuin, Ginanjar Kartasasmita. Surat itu diterima Soeharto dari ajudannya Kol. Sumarjono malam hari. Surat itu bak palu godam yang membuat Soeharto mantap memutuskan mundur keesokan harinya 21 Mei 1998. Ia merasa dikhianati oleh orang-orang kepercayaannya dan orang-orang yang diselamatkannya.

Berlanjut kepada Era Habibie. Ahli aeronautika itu sesungguhnya berhasil membawa Indonesia dari kemelut politik dan moneter yang dahsyat. Kurs rupiah terhadap US dollar yang sempat menyentuh angka 16.800 (1 Juni 1998) secara cepat turun ke angka 6.550 (28 Juni 1999) yang membuat ekonomi rakyat kembali menggeliat. Secara politik, Presiden Habibie membuka kebebasan pers yang selama era Orba dibelenggu. Keharusan SIUPP dan STT untuk menerbitkan media massa dihapuskan. Begitu juga kepada para tahanan politik. Namun, dalam SI MPR tahun 1999, sejumlah pihak mengkhianatinya. Laporan Pertanggungan jawabannya ditolak, sehingga Habibie memilih mundur.

Habibie turun, naiklah Gus Dur. Namun hanya dua tahun menjadi presiden, mantan Ketua Umum PBNU itu mengalami hal yang sama. Ia lengser digantikan sang Wapres Megawati, seorang yang dianggap sebagai sahabat sejati, bahkan layaknya kakak-adik. Pemilu 2004, sebagai incumbent Megawati yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi harus menghadapi kenyataan dikalahkan pasangan SBY-JK. Padahal, SBY adalah Menko Polhukam saat Mega jadi presiden. Sementara JK adalah pentolan Golkar yang menyeberang ke kubu SBY, padahal Golkar saat itu mengusung pasangan Wiranto-Wahid.

Pemilu 2009, Megawati maju lagi berpasangan dengan Prabowo, sebagai Ketua Gerindra. Saat itulah ramai beredar ikhwal Perjanjian Batutulis, Bogor. Konon, salah satu isinya adalah pada pemilu berikutnya PDIP dan Gerindra akan berkoalisi mengusung Prabowo sebagai Capres. Namun fakta bicara lain. Pada Pilpres 2014 PDIP bukan mencalonkan Prabowo, tetapi justru menyodorkan nama Jokowi, yang waktu itu baru 2 tahun menjabat sebagai Gubernur DKI. Padahal, saat kampanye Pilgub DKI 2012 mantan Walikota Solo itu berjanji, jika terpilih akan menunaikan amanah sampai selesai masa jabatan di 2017. Namun, janji tinggal janji. Syahwat politik dan kekuasaan membuat orang gampang ingkar janji.

Menariknya, pemunculan nama Jokowi saat pilgub DKI tahun 2012 juga atas andil besar Prabowo. Mantan Danjen Kopassus itu yang kabarnya keras membujuk Mega agar memasangkan Jokowi dengan kader Gerindra, Ahok. Mega pun luluh dan memaksa Walikota Solo itu meninggalkan jabatannya dua tahun lebih cepat dari seharusnya. Jokowi-Ahok menang pilgub. Tetapi siapa nyangka Jokowi yang disorongkan jadi Cagub DKI oleh Prabowo justru menjadi rival sang mantan Pangkostrad itu saat pilpres tahun 2014.

Baca Juga : Duh, Genitnya MK dalam Pusaran Draker (Drama Keluarga)

Dengan sederet fakta politik di atas, sangat beralasan jika Jokowi tidak percaya kepada siapa pun, kecuali keluarganya sendiri. Terlebih lagi banyak parpol juga mempercayakan regenerasi kepemimpinan kepada keluarga alias politik dinasti. Megawati telah menyiapkan anak-anaknya, Puan Maharani dan Prananda Prabowo, sebagai penerus di PDIP. SBY menyerahkan tongkat kepemimpinan Demokrat kepada AHY yang terpaksa pensiun dini dari TNI saat berusia 39 tahun dengan pangkat Mayor. Padahal, AHY saat itu adalah perwira muda kandidat pimpinan TNI di masa datang.

Jadi, jika Ketua MK Anwar Usman yang juga ipar Jokowi meloloskan keputusan yang membuka jalan sang keponakan jadi cawapres Prabowo, hal itu logis saja. Jika pasangan ini memenangkan Pilpres tahun depan, Jokowi bisa bernafas lega. Setidaknya untuk lima tahun ke depan. Kebijakannya saat jadi Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan Presiden, yang mungkin tersandung hukum, tidak akan mencuat. Kalau pun nongol, bisa segera ditenggelamkan kembali. Di sisi lain, berbagai utang janji kepada sejumlah pihak – utamanya oligarki – bisa diselesaikan. Namun, mengusung Gibran sebagai Cawapres Prabowo, akan memuncukan berbagai implikasi serius.

Pertama, orang-orang inner circle Jokowi yang selama ini setia dan loyal lantaran berharap akan mendapat benefit politik sebagai cawapres akan kecewa. Padahal, mereka telah mengerahkan waktu, tenaga, dan dana yang tak sedikit. Termasuk di dalamnya pimpinan partai politik KIM yang berharap diusung jadi Cawapres Prabowo. Tidak ada makan siang gratis. Kekecewaan itu tentu akan menggerus kepercayaan dan kesetiaan kepada Jokowi. Ujungnya, bukan saja mereka berpotensi mencelat, tetapi juga berubah jadi oposan.

Kedua, ketegangan hubungan Jokowi dengan PDIP – khususnya Megawati – yang dipicu loncatnya Kaesang ke PSI, bakal semakin keras. Di dalam pidatonya di Solo kemarin, Mega bahkan menyindir kader yang suka lompat pagar. Padahal, pendukung setia Jokowi selama ini basis utamanya adalah massa PDIP. Ada memang berbagai kelompok relawan semisal Projo, Joman, dan lain-lain, tetapi seberapa besar kekuatannya masih samar. Yang sudah pasti, para pentolan organisasi relawan Jokowi itu mendapatkan benefit yang besar. Mereka diangkat jadi direktur dan komisaris BUMN, Wakil Menteri, hingga Menteri.

Ketegangan hubungan dengan PDIP dan Mega ini akan memicu dampak lanjutan. Boleh jadi, banyak pihak berhimpun di sekitar Jokowi lantaran melihat dukungan kuat PDIP dan Mega kepadanya. Sementara PDIP selain sudah dua kali berturut-turut menang Pileg dan Pilpres, juga diprediksi bakal kembali menjadi jawara di pemilu 2024 mendatang. Jika sekarang hubungan itu merenggang – bahkan putus – bukan mustahil mereka juga akan menyingkir dari Jokowi. Ini seperti dinyatakan Allah dalam firman-Nya,

تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعًا وَّقُلُوْبُهُمْ شَتّٰىۗ
"Kamu sangka mereka bersatu padu, padahal hati mereka terpecah belah" – QS Al Hasyr: 14

Ketiga, para pendukung yang selama ini menganggap Jokowi sosok yang demokratis dan pro rakyat akan menilainya hipokrit, ambisius, serta membahayakan masa depan bangsa. Nada seperti itu sudah ramai digaungkan para pakar hukum, akademisi, dan aktivis pro demokrasi yang selama ini membela Jokowi. Buntutnya mereka bisa berbalik arah. Setidaknya hal itu sudah ditunjukkan oleh wartawan senior, Gunawan Mohammad.

Frase "membahayakan masa depan kehidupan bangsa ini" nampaknya bakal menjadi senjata pemukul Jokowi yang ampuh. Fakta bahwa 4 hakim konstitusi menyatakan Dissenting Opinion dan 2 orang lagi Concurring Opinion terhadap keputusan MK yang dibacakan Anwar Usman, adalah indikator betapa keputusan MK itu bermasalah. Tak pelak jika publik menilai Jokowi dan Anwar Usman telah merusak MK menjadi "Mahkamah Keluarga".

Baca Juga : Titah Demi Trah, Projo Terbelah!

KIM dan Prabowo harus berpikir panjang sebelum memaksakan Gibran sebagai Cawapres. Mengapa? Karena jika pasangan ini menang pada Pilpres 2024 dan di tengah jalan Prabowo mangkat mengingat usianya yang sudah sepuh, maka negara dihadapkan pada situasi dilematis. Menyerahkan kepemimpinan nasional kepada Gibran sesuai konstitusi, terlalu riskan dan berbahaya. Tanpa kemampuan yang teruji dan pengalaman yang minim, sulit baginya mengendalikan negara seluas, sebesar, dan sekompleks Indonesia. Apalagi di tengah gejolak politik dan ekonomi regional dan global yang rumit dan dinamis. Taruhannya adalah kedaulatan dan masa depan bangsa. Tetapi mengeliminasi dia juga musykil, karena hal itu bertentangan dengan konstitusi yang berlaku. Jalan yang paling bijak adalah tidak menjadikan Gibran sebagai Cawapres saat ini.

Namun, jika KIM dan Prabowo tetap nekad, insya Allah terjadi "Blunder Membawa Berkah". Rakyat yang selama ini terpecah menjadi Pro dan Anti Jokowi akan bersatu untuk menolaknya. Dengan atau tanpa pemilu. Perhatikan firman Allah dalam Al Qur'an,

ۨاسْتِكْبَارًا فِى الْاَرْضِ وَمَكْرَ السَّيِّئِۗ وَلَا يَحِيْقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ اِلَّا بِاَهْلِهٖ ۗفَهَلْ يَنْظُرُوْنَ اِلَّا سُنَّتَ الْاَوَّلِيْنَۚ فَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللّٰهِ تَبْدِيْلًا ەۚ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللّٰهِ تَحْوِيْلًا
"Karena kesombongan (mereka) di bumi dan karena rencana (mereka) yang jahat. Rencana yang jahat itu hanya akan menimpa orang yang merencanakannya sendiri. Mereka hanyalah menunggu (berlakunya) ketentuan kepada orang-orang yang terdahulu. Maka kamu tidak akan mendapatkan perubahan bagi Allah, dan tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi ketentuan Allah itu" – QS Fathir: 43

Wallahu a'lam bishawab.

 

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.