KH Raden Ma’mun Nawawi, Tokoh di Balik Pusat Pelatihan Hizbullah di Cibarusah

KH Raden Ma’mun Nawawi, Tokoh di Balik Pusat Pelatihan Hizbullah di Cibarusah
KH Raden Ma’mun Nawawi / Foto Istimewa

Di awal 1945, situasi Indonesia penuh dinamika. Banyak tokoh gelisah saat menjelang kemerdekaan, karena ada keinginan yang sangat untuk segera melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Ketika Jepang yang menduduki Indonesia sejak 1942 menjanjikan kemerdekaan, bahkan disertai pelaksanaan pelatihan ketentaraan, rakyat pun menyambut dengan antusias.

Di kalangan kiai, santri, pemuda Islam, dan pondok pesantren tercetuslah ide untuk membentuk satuan tentara khusus umat Islam. Kala itu, Jepang juga menjanjikan kemerdekaan dan menyatukan serta melatih para kiai dan santri dalam latihan militer. Satuan itu pun dibentuk pada 8 Desember 1944, dan dikenal sebagai Laskar Hizbullah atau Tentara Hizbullah Indonesia. Keberadaannya di bawah Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang ketika itu dipimpin KH Hasyim Asy’ari.

Pelatihan pertama anggota Laskar Hizbullah dilakukan pada 28 Februari 1945 di Perkebunan Karet Cibarusah. Pembukaan pelatihan laskar Hizbullah ketika itu dihadiri Ketua Muda Masyumi, KH Wahid Hasyim, salah satu penggagas pembentukan Laskar Hizbullah tersebut. Waktu itu Cibarusah termasuk wilayah Bogor. Kini, Cibarusah adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Bekasi. Pesantren-pesantren di Jawa dan Madura masing-masing mengirim lima orang utusan untuk mengikuti pelatihan. Sekitar lima ratus orang pemuda Islam dan santri ikut dalam pelatihan itu.

Cibarusah dipilih sebagai lokasi pelatihan Laskar Hizbullah, karena lokasinya strategis dan dekat dengan Pusat Pemerintahan militer Jepang. Tetapi selain itu, ada alasan yang lebih personal. Yaitu karena di Cibarusah itu ada KH Raden Ma’mun Nawawi atau yang akrab disapa Mama Cibogo. Cibogo adalah nama sebuah desa di Cibarusah yang menjadi tempat tinggal KH Raden Ma’mun Nawawi. Mama Cibogo memang secara emosional dekat dengan KH Hasyim Asy’ari.

Baca Juga : Laskar Hizbullah: Kontribusi Kiai dan Santri bagi Militer Indonesia

Tugas Langsung Kiai Hasyim

Pada 1936, KH Raden Ma’mun Nawawi atau Mama Cibogo menjadi santri di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, yang diasuh KH Hasyim Asy’ari. Mama Cibogo juga dikenal sebagai teman sejawat putra sulung KH Hasyim Asy’ari, yaitu KH Wahid Hasyim. Di dalam pelatihan Laskar Hizbullah di Cibarusah itu, Mama Cibogo ditugaskan langsung oleh Kiai Hasyim Asy’ari untuk melakukan pembinaan mental dan menempa semangat perjuangan para anggota laskar.

Mama Cibogo bukan hanya berperan sebagai tokoh di belakang layar penyelenggaraan Pelatihan Laskar Hizbullah. Sebab, Mama Cibogo juga turut berjuang di masa perang kemerdekaan tahun 1945-1949. Selama masa perang kemerdekaan itu, Mama Cibogo menjadi penasihat rohani dan pengurai masalah kebatinan para pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam Laskar Hizbullah.

Bukan hanya soal perang dan strategi pertempuran saja yang dipelajari para peserta Pelatihan Laskar Hizbullah di Cibarusah itu. Khususnya di malam hari, mereka juga mengisi aktivitas dengan mengaji bersama ulama semisal KH Mustafa Kamil dari Singaparna, Jawa Barat. Yang unik, mereka juga belajar tentang bahan peledak dari KH Abdul Halim.

Setelah tiga bulan berjalan, pelatihan Laskar Hizbullah selesai. Usai pelatihan, para anggota Laskar  Hizbullah dipersilakan kembali ke daerah masing-masing. Waktu itu, alumni pelatihan Laskar Hizbullah di Cibarusah paling banyak datang dari Surabaya. Kepada para alumni itu, masing-masing diharapkan untuk membuat pelatihan serupa terhadap para santri dan pemuda setempat.

Santri yang Giat Belajar

Menurut nu.or.id, KH Raden Ma’mun Nawawi atau Mama Cibogo lahir di hari Kamis bulan Jumadil Akhir 1330 Hijriyah atau 1912 Masehi. Ayahnya adalah KH Raden Anwar dan ibunya adalah Ny Hj Romlah. Mama Cibogo adalah keturunan ke-12 dari Sunan Gunung Djati atau ke-11 dari Raja Pertama Kesultanan Banten, Maulana Hasanuddin.

Sejak kecil, Mama Cibogo dikenal sebagai seorang yang sangat giat belajar. Guru pertamanya tentu saja sang ayah, Kiai Raden Anwar. Ia digembleng oleh ayahnya hingga usia delapan tahun untuk belajar memahami dasar-dasar agama. Selanjutnya, Mama Cibogo tidak lagi belajar memperdalam agama tetapi mulai belajar di Sekolah Rakyat (SR) di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Ketika menuntaskan Pendidikan di SR, ia menjadi lulusan terbaik dan lantas memiliki keilmuan umum yang unggul.

Ia tak langsung melanjutkan pendidikannya setelah lulus SR. Baik ke sekolah umum maupun ke pondok pesantren. Ketika itu, ia terlebih dulu membantu ayahnya untuk berjualan kitab. Sembari berdagang, Mama Cibogo mengajar ilmu agama untuk masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Ketika telah berusia 15 tahun, Mama Cibogo baru memulai kembali pendidikannya. Ia mondok di Pondok Pesantren Plered Purwakarta, asuhan KH Tubagus Ahmad Bakri As-Sampuri atau Mama Sempur. Ketika itu, Mama Sempur adalah seorang ulama NU yang berpengaruh di Jawa Barat dan Banten.

Baca Juga : Jenderal Soedirman, Bapak TNI dan Konseptor Perang Gerilya

Selama belajar dari Mama Sempur, Mama Cibogo tidak banyak bicara. Ia hanya fokus belajar kitab dan mengaji. Sehingga, ia lupa untuk keluar pondok. Bahkan, Mama Cibogo kala itu hanya mau keluar dari pondok jika sedang disuruh oleh Mama Sempur, misalnya untuk mengambil air atau bercocok tanam.

Setelah dirasa cukup menimba ilmu dari Mama Sempur, Ma’mun Nawawi lantas melanjutkan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Di sana, ia belajar banyak kepada banyak tokoh, di antaranya Sayyid Alwi Al-Maliki dan Syekh Mukhtar bin Atharid Al-Bughuri Al-Batawi Al-Jawi Al-Makki. Sepulang dari Mekkah, Ma’mun Nawawi langsung melanjutkan belajar ke beberapa pesantren di Tanah Jawa. Salah satunya adalah Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Di Tebuireng, Ma’mun Nawawi belajar langsung kepada Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari.

Di Pondok Pesantren Tebuireng, ia kian menunjukkan kecerdasannya. Kecerdasan dan keilmuan Ma’mun Nawawi itu diakui oleh gurunya, KH Hasyim Asy’ari. Bahkan, ketika ia telah menuntaskan pelajaran dan ingin melanjutkan nyantri ke Pesantren Jampes, Lirboyo, dan Termas, Kiai Hasyim Asy’ari menyembelih seekor sapi sebagai bentuk rasa syukur karena punya murid secerdas KH Raden Ma’mun Nawawi.

Singkatnya, KH Raden Ma’mun Nawawi lantas meneruskan belajar di Pondok Pesantren di Jampes, Lirboyo, dan Termas. Ia lalu menekuni Ilmu Falak ke Jembatan Lima. Di sana, ia dibimbing langsung oleh Guru Mansur. Kelak di kemudian hari, KH Raden Ma’mun Nawawi pun menjadi seorang ulama ahli falak dan tafsir.

Saat belajar dari Guru Mansur pun ia menunjukkan kecerdasan. Guru Mansur bahkan menganggap Ma’mun Nawawi sebagai murid paling cerdas dan mengangkat dia pada posisi satu level di atas teman-teman sebayanya waktu itu. Selepas belajar dari Guru Mansur, ia tetap berada di Jakarta. Kemudian, ia juga belajar ke ulama-ulama Betawi lain, semisal Habib Usman dan Habib Ali Kwitang.

Setelah tuntas berguru di Jakarta, ia kembali ke Sempur dan menikahi putri Mama Sempur. Tak lama berselang, ia mendirikan sebuah pesantren sendiri di Pandeglang. Namun, ia tak lama di sana. Sebab, ketika itu ia diminta ayahnya untuk kembali ke Kampung Cibogo, Cibarusah. Pulanglah ia Kembali ke Cigobo.

Produktif Menulis

KH Raden Ma’mun Nawawi lantas mendirikan Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat di Cibogo pada 1938. Sejak itu, ia dikenal dengan nama Mama Cibogo. Setelah didirikan, banyak orang Pandeglang, Banten yang ikut hijrah atau ke belajar ke Al-Baqiyatus Sholihat. Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat di Cibogo kemudian dikenal luas, karena menjadi tempat latihan Laskar Hizbullah pada Februari 1945, dalam rangka pembekalan para pemuda Islam tentang dunia kemiliteran.

Sehari-hari, Mama Cibogo fokus di pesantren. Banyak pengajian yang diadakan tidak hanya untuk para santrinya saja. Setiap Selasa pagi, dibuka pengajian bagi ustadz atau kiai kampung. Rabu untuk orang-orang yang sudah lanjut usia. Jumat pagi, pengajian dibuka untuk kalangan ibu. Sedangkan Ahad ada pengajian untuk umum.

Selain beraktivitas sebagai pemuka agama dan pemimpin pesantren, Mama Cibogo juga berprofesi sebagai wirausahawan. Ia juga adalah penulis yang produktif. Ketika ingin mendirikan pesantren, ia mulai banyak menulis, memproduksi, dan menjual berbagai kitab. Bukan hanya itu. Ia juga membuat dan menjual berbagai barang kebutuhan Masyarakat, semisal kecap dan jamu. Uang hasil dari berdagang ia gunakan untuk membiayai pesantren. 

Sebanyak 63 kitab yang Mama Cibogo tulis. Ia juga rajin membaca karya ulama terdahulu untuk kemudian menukil karya-karya para ulama tersebut menjadi referensi kitab yang ia tulis. Mama Cibogo banyak menulis kitab dengan aksara Arab berbahasa Sunda. Beberapa hasil karya tulisannya adalah Hikayat al-Mutaqaddimin, Kasyf al-Humum wal Ghumum, Majmu’at Da’wat, Risalah Zakat, Syair Qiyamat, dan Risalah Syurb ad-Dukhan. 

Selama masa menjelang kemerdekaan dan sepanjang perang kemerdekaan, Mama Cibogo terlibat aktif di belakang layar untuk menyiapkan para santri santri dan pemuda Islam berlatih kemiliteran. Setelah perang kemerdekaan berakhir, ia kembali fokus membangun pesantrennya. Ia antara lain juga membuka jejaring pesantren, misalnya dengan KH Muhammad Thohir Rohili, Habib Ali Kwitang, dan Guru Mansur. Ulama-ulama Betawi itulah yang kemudian memperbanyak karya-karya Mama Cibogo untuk disebarkan ke masyarakat. Selain para kiai Betawi, Mama Cibogo juga membangun dan memiliki kedekatan dengan para jawara di Tanah Betawi.

Baca Juga : Mengenang Pelatihan Laskar Hizbullah di Cibarusah, Bekasi

Dari semua pelajaran ilmu agama yang sudah didalami Mama Cibogo, Ilmu Falak adalah ciri khasnya. Kevalidan data Mama Cibogo dalam memprediksi sesuatu sudah diakui oleh ulama-ulama lain. Ketika masyarakat butuh rujukan untuk bercocok tanam, memulai puasa dan lebaran, maka rujukan utamanya adalah Mama Cibogo.

Hingga kini, pesantren yang ia bangun di Cibogo itu dikenal sebagai Pesantren Falak. Bahkan, Pesantren Al-Baqiyyatus Sholihat Cibogo, Cibarusah, itu dikenal sebagai pelopor almanak atau kalender yang kemudian disebarkan di daerah Bogor, Bekasi, Banten, dan Jakarta.

KH Raden Ma’mun Nawawi atau Mama Cibogo wafat pada 26 Muharram 1395 atau 7 Februari 1975 pada usia 63 tahun. Ia meninggalkan 40 anak dan empat istri. Tokoh ulama dan pejuang Bekasi, KH Noer Ali, langsung mengimami shalat jenazahnya. Kini, Bekasi dikenal memiliki dua patok. Di utara ada KH Noer Ali dan di selatan ada Mama Cibogo.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.