Masjid Bani Ghifar di Bukit Sila

Masjid Bani Ghifar di Bukit Sila
Masjid Bani Ghifar terletak di Bukit Sila’ / Muhammad Hanif (Sabili.id)

Ada pengalaman menarik jika mengunjungi Masjid Bani Ghifar. Masjid Bani Ghifar terletak di Bukit Sila’. Jaraknya tujuh ratus meter ke sebelah barat dari Masjid Nabawi.

Yang menarik, masjid ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitabnya, “Al-Maraasiil”, merupakan salah satu dari sembilan masjid – termasuk Masjid Nabawi – yang jamaahnya bisa mendengar suara lantunan azan Bilal bin Rabah. Setelah suara azan Bilal terdengar, kemudian mereka bisa melaksanakan shalat di masjid masing-masing. Namun, menurut para ulama, hadits ini lemah dan tidak bisa menjadi pegangan untuk beramal.

Dinukil dari Anas bin ‘Iyadh dan juga beberapa ulama lainnya, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat di masjid di perkampungan Suku Ghifar. Ada pun bangunan itu ialah milik keluarga Abu Rahm Kultsum bin Al-Hushain Al-Ghifari, salah seorang sahabat Rasulullah ﷺ‎. Masjid Bani Ghifar dahulu berdekatan dengan Masjid Juhainah. Namun, pada sekitar abad ketujuh hijriyah, bangunan Masjid Juhainah diratakan dan saat ini tidak dapat dipastikan lagi di mana lokasi detailnya. (Kitab Wafa’ Al-Wafa’ bi Akhbari Dar Al-Mushthafa, halaman 57)

Bangsa Arab dahulu ketika mendengar nama Ghifar mereka akan langsung terbayang suku yang terkenal sebagai pemberani, gerombolan perampok, senang berperang dan menumpahkan darah. Suku Ghifar juga terkenal sebagai suku yang tahan menghadapi penderitaan, kekurangan, dan kelaparan.

Suku Ghifar dari dahulu dibenci suku Quraisy, karena mereka menghalalkan berperang di bulan-bulan haram (Dzul qa’dah, Dzul hijjah, Muharram, dan Rajab).

Baca juga: Napak Tilas di Museum Kereta Api Hijaz

Adalah Lembah Waddan, sebuah area penting yang terletak di antara Makkah dan Syam. Sebab, Lembah Waddan merupakan jalur perlintasan kafilah dagang yang strategis. Di lembah itulah tinggal suku Ghifar. Mereka hidup dari “pajak” yang mereka pungut dari setiap kafilah yang datang. Bahkan, mereka tak segan merampok kafilah yang tidak membayar sesuai dengan apa yang telah mereka tentukan.

Masjid Bani Ghifar terletak di Bukit Sila’ / Muhammad Hanif (Sabili.id)

Di tengah kerasnya hidup suku Ghifar, terdapatlah seorang tokoh yang cukup berpengaruh, yang kelak setelah Rasulullah ﷺ‎ hijrah ke Madinah, ia akan membawa kejamnya suku Ghifar menuju kelembutan Islam. Dialah Jundub bin Junadah atau yang kerap dikenal karib sebagai Abu Dzar Al-Ghifari Radhiyallahu ‘anh. Beliau lahir di tengah-tengah keluarga perampok, menjadikan aksi teror dan kekerasan sebagai aktivitas kesehariannya di kala itu.

Sebelum masuk Islam, Abu Dzar Radhiyallahu ‘anh adalah seorang yang ahnaf, yaitu orang-orang yang di masa jahiliyah-nya tidak pernah menyembah berhala. Dan setelah masuk Islam, dia juga diberi julukan lagi, yaitu assabiqunal awwalun (orang-orang yang awal masuk Islam). Bahkan, diriwayatkan beliau adalah orang keempat di antara sahabat yang lain.

Abu Dzar dikenal sebagai sosok yang zuhud dan memiliki ijtihad berbeda dari sahabat yang lain. Beliau berpendapat, jika seseorang telah terpenuhi kebutuhan primernya, maka harta yang lain wajib disedekahkan kepada yang membutuhkan. Tak heran, belakangan muncul buku yang menyebutkan Abu Dzar adalah sosok sosialis pertama dalam Islam, semisal buku “Isytirakiyyah Abi Dzar” (Sosialisme Abu Dzar) karangan Mahmud Syilbi. Namun buku ini perlu dikaji lebih lanjut.

Di awal masa Abu Dzar memeluk agama Islam, beliau diperintahkan Rasulullah ﷺ‎ untuk mendakwahi sukunya. Bersama saudaranya Unais dan Ibunya, mulailah mereka mengetuk tiap-tiap pintu untuk mendakwahi Islam. Alhasil, berkat izin Allah, hampir semua kalangan suku Ghifar memeluk agama Islam setelah Rasulullah ﷺ‎ hijrah ke Madinah. Lalu menyusul setelahnya suku Aslam yang ada pertalian darah dengan mereka. Rasulullah ﷺ‎ berdoa:

أَسْلَمُ سَالَمَهَا اللَّهُ, وَغِفَارُ غَفَرَ اللَّهُ لَهَا
“Bani Aslam, semoga Allah menyelamatkannya, dan Bani Ghifar, semoga Allah mengampuninya” – HR. Bukhari no. 3513

Di dalam perjalanan menuju perang Tabuk, Abu Dzar ra tertinggal dari pasukan, karena beliau mengendarai tunggangan yang lambat. Saat mengetahui hal itu, para sahabat memberitahu Rasulullah ﷺ‎, lalu memutuskan untuk berhenti sementara. Abu Dzar yang merasa kecewa dengan tunggangannya waktu itu lantas turun dan lansung memikul barang sendiri di pundak beliau, lalu meninggalkan tunggangan tersebut.

Baca juga: Gunung Uhud dan Arti Sebuah Ketaatan

Dari kejauhan sahabat melihat beliau, lalu mengabari Rasulullah ﷺ‎. Kemudian, Rasulullah ﷺ‎ bersabda:

رحم الله أبا ذر، يمشي وحده، ويموت وحده، ويبعث وحده
“Semoga Allah ﷻ merahmati Abu Dzar, beliau berjalan sendiri, diwafatkan sendiri, dan kelak akan dibangkitkan dalam keadaan sendiri” – HR. Ibnu Ishaq, dalam kitabnya, Al-Maghazi

Hadits tersebut menjadi kenyataan, dimana Abu Dzar ra nantinya meminta izin kepada Khalifah Utsman ra untuk pergi ke luar Madinah, yang akhirnya beliau wafat di sana, terpisah dari khalayak orang ramai. Padahal, hadits tersebut Rasulullah ﷺ‎ ucapkan jauh sebelum Abu Dzar ra wafat.

Masjid Bani Ghifar terletak di Bukit Sila’ / Muhammad Hanif (Sabili.id)

Di antara nasihat Abu Dzar ra ialah, “Kekasihku (Rasulullah ﷺ‎) berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) agar aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) agar aku melihat kepada mereka yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada mereka yang berada di atasku, (3) agar aku menyambung silaturahim meski mereka berlaku kasar padaku, (4) agar aku tidak meminta-minta kepada manusia, (5) agar aku mengatakan yang benar walaupun itu pahit, (6) agar aku tidak takut atas celaan orang-orang yang suka mencela, (7) dan agar aku memperbanyak membaca ‘la haula wala quwwata illa billah’ karena kalimat itu bagian berharga dari ‘Arsy”. (HR Ahmad, V/159)

Abu Dzar wafat tahun tiga puluh dua hijriyah, dan dimakamkan di Rabazah, daerah yang tidak jauh dari Madinah. Menjelang beliau dikebumikan, Abdullah bin Mas’ud ra dan sebagian kecil sahabat yang ada menshalati beliau untuk terakhir kalinya. Beruntunglah Abu Dzar, yang hanya mendapati dunia dalam genggamannya, dan menaruh dengan baik akhirat di dalam lubuk hatinya.

Ada pesan berharga dari kisah ini. Bahwasanya kita tidak tahu akhir dari sebuah episode kehidupan seseorang. Barangkali suku atau orang yang kita anggap dahulu celaka, bisa saja Allah SWT takdirkan kebaikan untuk mereka, atau pun sebaliknya. Oleh karena itu, mari kita bersama menjadi pribadi yang selalu ber-husnudzan. Dan kita berharap semoga kita diwafatkan dalam keadaan husnul khatimah. aamiin.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.