Abdoel Moeis: Sastrawan, Wartawan, Pahlawan

Abdoel Moeis (Abdul Muis) lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 3 Juli 1883. Ayahnya adalah Datuk Tumenggung Lareh dari Sungai Puar, Sumatera Barat. Ibunya berasal dari Jawa dan dikenal menguasai seni bela diri pencak silat.

Sejak remaja, Abdoel Moeis telah merantau ke Pulau Jawa. Setelah menjalani pendidikan di ELS (Europees Lagere School) dan menuntaskan pendidikan Kleinambtenaarsexamen (Amtenar Kecil), mulai tahun 1900 Abdoel Moeis meneruskan pendidikan di sekolah kedokteran Stovia di Jakarta, namun pada 1902 terpaksa berhenti sebelum lulus karena sakit.

Kecerdasan yang ia punya membuat Abdoel Moeis sangat pandai berbahasa Belanda. Bermodal kemampuan Bahasa Belanda itu, ia lantas magang di sebuah lembaga yang dipimpin oleh Mr Abendanon, Departemen van Onderwijs en Eredienst (Departemen Pendidikan dan Ibadah). Di sana, pada 1903 ia diangkat menjadi klerk (staf), tetapi keluar di tahun 1905 karena tak disukai oleh pegawai-pegawai Belanda di lembaga itu lantaran kerap menunjukkan sikap patriotik dan cinta terhadap tanah airnya.

Keluar dari sana, penguasaan Bahasa Belanda yang baik membawa Abdoel Moeis berkarir di bidang jurnalistik. Pada 1905, ia diterima bekerja sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia di Bandung. Namun, tahun 1907 majalah yang banyak memuat berita politik itu dilarang terbit oleh pemerintah Hindia Belanda. Abdoel Moeis pun pindah kerja ke Bandungsche Afdeelingsbank, namun lima tahun kemudian ia diberhentikan dengan hormat karena terlibat cekcok dengan controleur (pengawas).

Buya Hamka: Menulis dengan Hati, Berdakwah Melawan Tirani
Buya Hamka adalah seorang penulis yang produktif dan tajam menyampaikan pemikirannya. Sebagai pemimpin Muhammadiyah, Hamka menegakkan Islam berlandaskan Al Qur’an dan Sunnah. Sebagai Ketua Umum MUI yang pertama, ia berdiri tegak di atas keyakinan yang kokoh.

Di tahun 1912 pula, Abdoel Moeis langsung diterima bekerja di kantor harian De Preanger Bode di Bandung. De Prianger Bode adalah sebuah surat kabar harian berbahasa Belanda yang terbit di Bandung. Di koran itu, karirnya melaju hingga menjabat hoofdcorrector (korektor kepala).

Terjun ke Politik Praktis

Pada 1913, sebagai pemuda berjiwa nasionalis dan pejuang, Abdoel Moeis keluar dari De Prianger Bode. Ketertarikan pada dunia politik membawa Abdoel Moeis bergabung ke Sarekat Islam (SI) pimpinan Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Ia lantas dipercaya untuk memimpin salah satu surat kabar milik SI yang terbit di Bandung, Kaum Muda, bersama A.H. Wignyadisastra.

Aktivitas di SI juga memertemukan Abdoel Moeis dengan dr. Cipto Mangunkusumo dan R. Suwardi Suryaningrat. Mereka berempat (dr. Cipto Mangunkusumo, Wignyadisastra, Abdoel Moeis, dan Suwardi Suryaningrat) membentuk organisasi bernama Komite Bumi Putera. Organisasi itu dibentuk atas prakarsa Cipto Mangunkusumo. Tujuannya untuk mendesak Ratu Belanda agar memberikan kebebasan bagi bangsa Indonesia dalam berpolitik dan bernegara.

Melalui SI pula, Abdoel Moeis aktif dalam gerakan yang memerjuangkan agar Hindia Belanda memeroleh otonomi yang lebih luas. Aktivitas itu menjadikan dia sebagai anggota delegasi Comite Indie Weerbaar (Panitia Ketahanan Hindia) yang berkunjung ke Belanda di tahun 1917. Selama ia berada di negeri "Kincir Angin", surat kabar Kaum Muda dibreidel, sehingga sepulang dari Negeri Belanda ia tidak bisa lagi bekerja di sana. Tetapi, atas usaha Datuk Tumenggung di Jakarta, Sarekat Islam menerbitkan surat kabar harian lagi yang diberi nama Neratja. Abdoel Moeis pun diangkat sebagai pimpinan harian itu.

Roehana Koeddoes, Wartawati Perintis Surat Kabar Perempuan
Pada 8 November 2019, Roehana Koeddoes ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Pada 9 Februari 1987, ia menerima penghargaan sebagai wartawati pertama Indonesia, dan dianugerahi predikat sebagai Perintis Pers Indonesia. Ia pun penerima Penghargaan “Bintang Jasa Utama”.

Di sisi lain, aktivitas politik di SI juga membuat Abdoel Moeis secara resmi diangkat menjadi anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) tanggal 18 Mei 1918. Tetapi, pertentangan yang terjadi di dalam tubuh Sarekat Islam membuat ia pergi dari Pulau Jawa, kembali ke Sumatera Barat di tahun 1923. Di Sumatera Barat, perjuangan Abdoel Moeis tak berhenti. Ia memimpin harian Utusan Melayu dan harian Perobahan. Dua harian itu kerap menuliskan artikel berisi protes dan perlawanan terhadap segala kebobrokan pemerintah Belanda di Indonesia ketika itu.

Sebagai wartawan, Abdoel Moeis banyak menulis berita dan artikel politik. Selain menjalani profesi sebagai wartawan, ia masih aktif dalam dunia pergerakan. Salah satunya, di tahun 1922 ia dan sejumlah tokoh lainnya memimpin PPPB (Perkumpulan Pegawai Pegadaian Bumiputera) untuk mengadakan pemogokan di Yogyakarta. Di tahun 1923, ia memimpin gerakan memrotes aturan landrentestelsel (Undang-Undang Pengawasan Tanah) yang akan diberlakukan oleh Belanda di Sumatera Barat. Protes tersebut berhasil dan landrentestelsel tak jadi diberlakukan.

Namun, pemerintah Belanda menganggap aktivitas Abdoel Moeis dalam aksi tersebut dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Sehingga, di tahun 1926 ia "dicekal" dan dikirim kembali ke Jawa lalu tak boleh meninggalkan Pulau Jawa selama Iebih kurang tiga belas tahun (1926 -1939).

Perjuangan Lewat Media

Tak boleh keluar dari Pulau Jawa tak membuat Abdoel Moeis berhenti berjuang. Tetapi ia mengalihkan perjuangannya dari medan politik praktis di SI menjadi perjuangan lewat media. Ia mendirikan surat kabar harian Kaum Kita di Bandung dan Mimbar Rakyat di Garut, walau dua surat kabar itu terbitnya tidak lama. Dan sejak itu pula, ia menulis novel serta menyadur karya sastra dari luar negeri.

Mediator Perdamaian, Sisi Lain Jusuf Kalla
Tak banyak negarawan dan politisi negeri ini yang masih produktif memegang organisasi tingkat nasional dengan peran yang begitu besar pada usia tersebut.

Di periode itulah lahir Salah Asuhan. Itulah karya sastra yang disebut-sebut monumental pada zamannya. Sebab, karya prosa itu mendapat perhatian dari berbagai kalangan, termasuk para kritikus terkemuka waktu itu. Salah Asuhan dipandang berbeda dari karya sastra yang lain di zaman itu, karena tidak lagi memasalahkan adat istiadat dan kawin paksa yang sering dianggap tidak cocok lagi dengan kemajuan zaman, tetapi ia memertanyakan kawin antar bangsa.

Selain roman, karya prosa Abdoel Moeis juga berupa novel sejarah. Dua karyanya, Surapati dan Robert Anak Surapati, adalah novel sejarah. Ia juga menulis cerpen (cerita pendek) dan puisi. Cerpen yang terkenal hasil karya Abdoel Moeis di antaranya berjudul Suara Kakaknya dan Di Tepi Laut. Sedangkan puisi karya Abdoel Moeis di antaranya adalah Ummat Hanjut di Doenia Goelita; Insjaflah; Kenangan; Koedjoendjoeng; Melati; dan Rindoe Dendam. Karya terjemahannya antara lain adalah kisah petualangan Tom Sawyer karya Mark Twain berjudul Tom Sawyer Anak Amerika (Balai Pustaka, 1928) dan Don Quixote karya Miguel de Cervantes. Ia juga menyadur cerita anak-anak karya Hector Malot ke Bahasa Indonesia dengan judul Sebatang Kara (Balai Pustaka, 1949).

Tahun 1926, SI mencalonkan dia menjadi anggota Regentschapsraad (Dewan Kabupaten) Garut. Dan terpilih. Di tahun 1932, Abdoel Moeis diangkat menjadi Regentschapsraad Controleur (Pengawas Dewan Kabupaten) hingga 1942.

Di masa pendudukan Jepang, Abdoel Moeis masih bekerja meski mulai menderita sakit darah tinggi. Oleh Jepang, ia diangkat sebagai pegawai sociale zaken (lembaga yang menangani hal-hal kemasyarakatan). Di tahun 1944, Abdoel Moeis berhenti bekerja karena merasa sudah cukup tua. Tetapi setelah Indonesia merdeka, ia kembali aktif dan bergabung dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan. Ia juga pernah menjadi anggota DPA di masa kemerdekaan.

Fatahillah yang Mengusir Armada Protugis dari Sunda Kelapa
Sultan Trenggono menyikapi penguasaan Portugis atas Sunda Kelapa dengan mengutus Fatahillah untuk memimpin pasukan Kesultanan Demak yang menyerang Portugis di Sunda Kelapa.

Yang menarik, Abdoel Moeis juga disebut menulis buku berjudul Hakikat Kemunafikan Yahudi. Seperti ditulis sejarawan Hadi Nur Ramadhan di akun Instagram pribadinya, @pusdoktamaddun, Abdoel Moeis menulis buku Hakikat Kemunafikan Yahudi tahun 1954 untuk mengedukasi para peserta Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955. Sebab, Sekretaris Panitia KAA Bandung, Roeslan Abdul Ghani, ketika itu mengatakan, "KAA Bandung adalah spirit melawan Imprerialisme dan Anti Zionisme!". Karya itu menunjukkan sikap dan pembelaan Abdoel Moeis terhadap perjuangan bangsa Palestina untuk merdeka.

Semua aktivitas tersebut menegaskan sosok penting Abdoel Moeis sebagai sastrawan, aktivis, politisi, dan wartawan Indonesia. Semua posisi itu menjadikan pula Abdoel Moeis dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2183/59, tanggal 30 Agustus 1959. Pengukuhan lewat Surat Keputusan itu menjadikan Abdoel Moeis sebagai orang pertama yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Maka, tak salah pula jika setiap tanggal 3 Juli yang merupakan tanggal kelahiran Abdoel Moeis kini diperingati setiap tahun sebagai Hari Sastra Indonesia. Penetapan 3 Juli sebagai Hari Sastra Indonesia dilakukan pada 24 Maret 2013 dalam pertemuan para sastrawan terkemuka Indonesia di Bukittinggi, Sumatera Barat. Abdoel Moeis sendiri wafat di Bandung, 17 Juni 1959, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Ia meninggalkan dua istri dan 13 anak.