Roehana Koeddoes, Wartawati Perintis Surat Kabar Perempuan

Roehana Koeddoes, Wartawati Perintis Surat Kabar Perempuan
Roehana Koeddoes, Wartawati Perintis Surat Kabar Perempuan / Foto Istimewa

Di tengah momen peringatan Hari Pers Nasional 9 Februari 2025, kami ajak Anda menyimak perjalanan hidup salah satu sosok penting dalam perkembangan pers Indonesia. Namanya adalah Roehana Koeddoes (Ruhana Kuddus atau Rohana Kudus). Ia sosok wartawati atau jurnalis wanita pertama di Indonesia, yang memainkan peran kunci dalam merintis surat kabar perempuan “Soenting Melajoe”.

Roehana Koeddoes adalah tokoh yang pada 8 November 2019 ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai Pahlawan Nasional asal Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Sebelumnya, ketika berlangsung peringatan Hari Pers Nasional ke-3 pada 9 Februari 1987, Roehana Koeddoes menerima penghargaan sebagai wartawati pertama Indonesia. Dan Menteri Penerangan Harmoko waktu itu menganugerahi dia predikat sebagai Perintis Pers Indonesia.

Google melansir, Roehana Koeddoes lahir tanggal 20 Desember 1884 dengan nama Siti Roehana, di Nagari (desa) Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, di pedalaman Sumatera Barat. Google pun menyebut, Roehana terus menulis artikel di sepanjang karirnya. Hal itu telah mendorong perempuan di masa itu untuk membela kesetaraan dan melawan kolonialisme. Perjuangannya itu mendapatkan pengakuan nasional, dan banyak pihak yang lantas menganggap bahwa sejak ia terus menulis, perempuan dalam jurnalisme Indonesia menjadi lebih kritis dan berani dari sebelumnya.

Selain lewat surat kabar, Roehana Koeddoes juga dikenal aktif memerjuangkan kesetaraan perempuan melalui bidang pendidikan. Surat kabar Soenting Melajoe yang ia prakarsai dan terbit pertama kali pada 10 Juli 1912 ia gunakan untuk mewadahi perjuangan perempuan di seluruh tanah Melayu.

Dalam Didikan Ayah

Roehana adalah putri dari Muhammad Rasjad Maharadja Sutan dan Kiam. Ayahnya, Muhammad Rasjad Maharadja Sutan, adalah Hoofd Djaksa (Kepala Kejaksaan) di Jambi dan Medan yang memulai karir sebagai juru tulis di Alahan Panjang, Sumatera Barat. Dikutip kompas.com, Roehana Koeddoes adalah saudara tiri Sutan Sjahrir dan keponakan Agus Salim. Keduanya adalah tokoh intelektual dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Roehana juga merupakan bibi dari salah satu penyair besar Indonesia, Chairil Anwar.

Roehana kecil tumbuh dan berkembang di lingkungan kejaksaan, dengan fasilitas yang memadai. Sejak kecil, ia telah dibawa orangtuanya merantau, sehingga sejak dini sudah mendapat banyak pengalaman baru dan berharga. Kondisi ekonomi keluarga yang baik, serta pendidikan tinggi dan kecintaan ayahnya pada literatur, memberikan pengaruh besar bagi perkembangan Roehana kecil.

Roehana tidak menerima pendidikan formal. Tetapi, ilmu pengetahuan tetap ia dapatkan. Ayahnya yang mengajar beragam pengetahuan itu. Bahkan, sejak usia 5 tahun, ayahnya sudah mengajari Roehana membaca huruf Latin, Arab, dan Arab Melayu. Sehingga, di usia 6 tahun, ia sudah mahir membaca dan menulis. Roehana juga pandai menjahit. Ia juga rajin ibadah sebagai seorang Muslim.

Sewaktu ayahnya ditugaskan di Alahan Panjang, Roehana bertetangga dengan seorang jaksa bernama Lebi Rajo Nan Sutan dan istrinya, Adiesa. Pasangan itu menyayangi Roehana dan menganggap ia sebagai anak. Selama dua tahun tinggal di sana, Lebi Rajo Nan Sutan dan Adiesa turut membimbing Roehana membaca dan menulis, serta mengajarkan keterampilan menjahit, merajut, dan memasak.

Baru berusia 8 tahun, Roehana sudah lancar membaca dan menulis dalam huruf Arab, Latin, dan Arab Melayu. Ia juga mahir berbahasa Melayu dan Belanda. Dan untuk menambah luas pengetahuan Roehana, sang ayah berlangganan buku anak-anak dari Medan. Ia juga memesan langsung buku cerita dari Singapura. Selain itu, juga ada buku-buku hadiah dari petinggi Belanda. Semua itu menjadi bekal Roehana untuk memupuk kesukaan dia pada membaca dan menulis yang lantas menjadi hobinya.

Di tahun 1892, ayah Roehana pindah kerja sebagai pengurus kebun kopi di Simpang Tonang Talu, Paseman. Roehana ikut pindah bersama orang tuanya. Di sana, setiap sore, Roehana pergi ke tempat orang-orang berkumpul untuk membacakan surat kabar dengan suara lantang. Ia senang melakukan itu. Begitu pun orang-orang di sana, mereka suka mendengar ia membaca dengan lantang.

Minat Roehana membaca di depan umum bukan saja menarik perhatian orang hingga banyak yang kagum kepada dia, tetapi secara bersamaan juga kian mengasah kemampuannya. Hal itu pun lantas mengilhami banyak anak, baik perempuan maupun laki-laki, untuk meniru. Mereka meminta Roehana mengajari membaca dan menulis. Roehana tak langsung menyanggupi. Ia meminta pertimbangan ayahnya dulu, dan setelah mereka berdiskusi, permintaan itu disanggupi.

Roehana membuka kelas sederhana di teras rumahnya. Hanya beralas tikar, ia mengajar membaca, menulis, mengaji Al Qur’an, memasak, dan menjahit. Dan ia pun kian bersemangat mengajar serta semakin ingin meningkatkan pendidikan kaum perempuan.

Merintis Pendidikan Perempuan

Tahun 1897, ibu Roehana, Kiam, meninggal dunia. Sejak itu, Roehana tinggal bersama nenek mereka dari pihak ibu, Tuo Tarimin, di Koto Gadang. Di Koto Gadang, Roehana tetap memertahankan semangat untuk memerjuangkan hak pendidikan kaum perempuan dengan membuka taman belajar. Ia menjadi semakin tertarik untuk mengajar gadis-gadis di sana belajar kerajinan tangan dan membaca Al Qur’an.

Seperti dilansir nu.or.id, di usia 24 tahun, Siti Roehana menikah dengan seorang notaris bernama Abdoel Koeddoes pada 1908. Sejak itu, ia dikenal sebagai Roehana Koeddoes. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Jasma Juni.

Abdoel Koeddoes adalah putra dari Sutan Dinagari Lareh Hoofd IV Koto yang dikenal dengan gelar Pamuncak Sutan. Abdoel Koeddoes aktif dalam partai politik yang menentang pemerintahan Belanda. Abdoel Koeddoes mendukung keinginan dan semangat istrinya untuk bekerja mendidik perempuan.

Pada Februari 1911, di Koto Gadang, Roehana Koeddoes mendirikan sekolah pertama di Indonesia yang khusus diperuntukkan bagi perempuan. Sekolah itu mengajarkan perempuan mulai dari pelajaran literasi, membaca tulisan Jawi dan Latin, bahasa Arab, kerajinan tangan, hingga moralitas. Namanya adalah Sekolah Kerajinan Amai Setia.

Menjadi Jurnalis

Didukung sang suami, Roehana Koeddoes mengembangkan keinginan dia untuk berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman dengan perempuan dari wilayah lain. Caranya adalah dengan menjadi jurnalis atau wartawan. Karir jurnalistik Roehana Koeddoes dimulai tahun 1908, ketika ia menjadi kontributor Poetri Hindia, surat kabar perempuan pertama di Batavia.

Tak berapa lama setelah itu, Roehana pindah ke Bukittinggi, Sumatera Barat. Di Bukittinggi, Roehana Koeddoes memainkan peran kunci dalam merintis surat kabar perempuan bernama Soenting Melajoe.

Hal itu bermula dari keiginan kuat Roehana untuk kian mengasah kemampuan dia dalam dunia jurnalistik. Ia lalu mengirim surat kepada pemimpin redaksi surat kabar Oetoesan Melajoe di Padang, Datuk Sutan Maharadja, dan memohon agar perempuan diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk menulis di surat kabar itu. Ia mengusulkan agar Oetoesan Melajoe memberi ruang untuk tulisan dari penulis perempuan.

Datuk Sutan Maharadja berkenan menemui Roehana. Di depan Maharadja, Roehana mengutarakan keinginan untuk menerbitkan surat kabar khusus perempuan. Ternyata Datuk Sutan Maharadja mendukung keinginan Roehana. Dan lahirlah surat kabar Soenting Melajoe. Terbitnya mingguan.

Dengan bantuan Datuk Sutan Maharadja, Roehana Koeddoes menjadi penerbit surat kabar Soenting Melajoe (dibaca: Sunting Melayu). Koran ini terbit pertama kali pada 10 Juli 1912. Nama “Soenting Melajoe” dipilih karena surat kabar tersebut diperuntukkan bagi perempuan di seluruh tanah Melayu. Sebab, sunting berarti perempuan dan Melayu adalah nama yang mewakili wilayah mereka.

Roehana aktif mengajak kawan-kawan dan murid perempuannya untuk menulis di Soenting Melajoe sebagai kontributor. Soenting Melajoe pun kian berkembang. Ia tidak hanya beredar di Sumatera, tetapi juga menjangkau Malaka dan Singapura.

Pada 1920, Roehana pindah ke Medan. Di sana, ia menjadi pemimpin redaksi Perempuan Bergerak bersama Satiman Parada Harahap. Setelah itu, ia menjadi redaktur di surat kabar Radio. Dan terus bergelut di dunia jurnalistik hingga di usia senja. Bahkan, sebelum wafat di usia 88 tahun pada 17 Agustus 1972, Roehana Koeddoes masih menjadi Pemimpin Redaksi surat kabar Perempuan Bergerak.

Semasa aktif menulis artikel, Roehana sering memotivasi kaum perempuan agar bergerak lebih maju. Ia juga mengritik perlakuan tidak manusiawi yang diterapkan terhadap para pekerja perempuan pada masa penjajahan Belanda.

Sejumlah Penghargaan

Perjuangan Roehana Koeddoes sebagai seorang tokoh yang berjasa bagi kemajuan kaum perempuan di masa penjajahan itu pun diakui pemerintah Republik Indonesia. Wujudnya, Roehana Koeddoes telah menerima sejumlah penghargaan. Baik di tingkat lokal maupun nasional.

Penghargaan yang telah diterima Roehana Koeddoes antara lain adalah Penghargaan sebagai “Wartawati Pertama” dari Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (17 Agustus 1974). Ia juga dianugerahi Penghargaan “Perintis Pers Indonesia” oleh Menteri Penerangan Republik Indonesia (9 Februari 1987). Selain itu, ia pun menerima Penghargaan “Bintang Jasa Utama” dari Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, pada 9 November 2010. Roehana Koeddoes juga menyandang gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 120/TK/Tahun 2019.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.