Konflik di Sudan telah memicu kecaman internasional. Pembantaian dan kekerasan sistematis yang meluas terjadi di wilayah tersebut, terutama di Provinsi Al-Jazirah.
Al-Azhar Al-Sharif, salah satu institusi keagamaan terbesar di dunia, mengutuk kekerasan di Sudan ini. Al-Azhar Al-Sharif menyebutnya sebagai “pembantaian brutal” yang telah menargetkan warga sipil tak bersalah, termasuk anak-anak dan perempuan.
Kecaman Al-Azhar dan Seruan untuk Aksi Internasional
Di dalam pernyataan resminya pada Senin (28/10/2024), Al-Azhar menyoroti tragedi kemanusiaan di Al-Jazirah, terutama di desa-desa di bagian barat, selatan, dan timur wilayah itu. Tragedi ini telah mengakibatkan ribuan orang menjadi korban, dengan banyak yang tewas, terluka, atau hilang. Al-Azhar menyebut tindakan tersebut sebagai “kejahatan teroris yang keji” yang melanggar nilai-nilai Islam. Al-Azhar juga mendesak masyarakat internasional untuk segera bertindak mendukung rakyat Sudan dan menuntut para pelaku pembantaian ini untuk dimintai pertanggungjawaban.
Utusan AS Kritik Pasukan Dukungan Cepat
Utusan khusus Amerika Serikat untuk Sudan, Tom Perriello, turut mengutuk kekerasan yang terjadi. Perriello mengungkapkan, Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces atau RSF) melakukan pembantaian terhadap warga sipil, memerkosa perempuan, dan membunuh anak-anak. Ia menyerukan agar RSF menghentikan semua tindakan yang melanggar komitmen mereka terhadap Kode Etik Aliansi Dukungan Sudan dan Deklarasi Jeddah yang ditandatangani oleh komandan mereka, Mohammed Hamdan Dagalo atau Hemeti.
UNICEF: Laporan Pembunuhan Massal dan Kekerasan Seksual Meluas
Laporan tentang krisis kemanusiaan ini juga diungkap oleh UNICEF, badan PBB yang fokus pada perlindungan anak-anak. Direktur Eksekutif UNICEF, Catherine Russell, menyatakan keprihatinannya atas meningkatnya kekerasan yang menargetkan anak-anak dan keluarga di Provinsi Al-Jazirah.
Berdasarkan laporan yang diterima, terjadi banyak pembunuhan massal dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan, sementara rumah-rumah dan kebun warga dihancurkan.
“Kekerasan ini adalah bagian dari krisis kemanusiaan buatan manusia yang sangat mengerikan, menewaskan ribuan anak-anak, melukai banyak lainnya, mengungsikan lebih dari 11 juta orang, dan membuat jutaan lainnya berada dalam bahaya besar,” ungkap Catherine Russell.
Sudan, menurut Russel, kini sudah menjadi pusat dari salah satu krisis kemanusiaan dan pengungsian terbesar di dunia.
Kesaksian Warga dan Kampanye Balas Dendam di Al-Jazirah
Di dalam laporan langsung dari media Al-Jazeera Mubasher, para saksi mata mengungkapkan “kengerian” yang mereka alami di Al-Jazirah, di mana mereka menyaksikan RSF menyerbu dan menguasai berbagai daerah. Warga melaporkan pengusiran paksa terhadap ribuan orang dan dipaksa berjalan kaki puluhan kilometer dalam kondisi yang sangat sulit.
Laporan terbaru juga mengungkapkan bahwa RSF melakukan balas dendam di lebih dari 30 desa di bagian timur Al-Jazirah. Mereka melakukan pembunuhan secara acak, penyiksaan, pemerkosaan, pengusiran paksa, dan penjarahan harta benda.
Tindakan balas dendam ini disebut-sebut sebagai respons atas pembelotan Abu Aqla Kikil, komandan RSF di Al-Jazirah, yang bergabung dengan tentara Sudan. Keputusan Kikil ini mengejutkan, memicu kekacauan di lapangan.
Perang Berdarah yang Tak Kunjung Usai
Sejak pertengahan April 2023, militer Sudan dan RSF terlibat dalam perang yang menyebabkan kehancuran dan telah mengakibatkan lebih dari 20.000 kematian. Menurut data PBB, konflik ini juga mengakibatkan sekitar 10 juta orang menjadi pengungsi dan menimbulkan krisis kemanusiaan yang sangat memprihatinkan. Hingga kini, solusi untuk mengakhiri konflik tersebut masih tampak jauh dari harapan, sementara ribuan warga sipil terus menjadi korban dari pertikaian bersenjata yang tak kunjung reda.
(Sumber: Al-Jazeera Mubasher)
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!