Al-Qaradawi: Ulama Rabbani, Umat Seorang Diri (Refleksi Milad ke-99 Sang Imam)

Pada 9 September 1926, lahir seorang ulama yang kelak menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam dunia Islam modern: Syekh Yusuf al-Qaradawi. Beliau bukan hanya seorang alim, bukan sekadar dai, melainkan ulama rabbani — ulama yang hidup sepenuhnya untuk Allah dan untuk umat-Nya. Cahaya Allah memancar dari hatinya, wibawa terpancar dari lisannya, dan hujjah mengalir deras dari penanya.

Al-Qaradawi telah menjadi lidah umat yang bersuara, hati umat yang berdetak, dan nurani umat yang terjaga. Ia membela Palestina, menentang tirani, dan mengingatkan para penguasa agar tidak menjual agama demi kepentingan sesaat.

 

Warisan Peradaban yang Tak Akan Padam

Syekh Yusuf al-Qaradawi wafat pada 26 September 2022. Meski beliau telah berpulang, warisannya tak akan pernah padam. Syekh al-Qaradawi meninggalkan ensiklopedia karya lengkap sebanyak 105 jilid. Isinya meliputi fiqih dan ushulnya, tafsir dan ulum al Qur’an, dakwah dan manhaj, hingga kritik sosial dan pemikiran Islam kontemporer.

Ini bukan sekadar buku. Ia adalah proyek seumur hidup, warisan peradaban yang akan terus menyinari generasi. Beliau pernah menegaskan, “Ilmu adalah warisan para nabi. Bukan harta, bukan kekuasaan. Karena itu, barangsiapa ingin memimpin umat, hendaklah ia mewarisi ilmu mereka.

Hasan Al-Banna, Sang Mujahid Dakwah Penginspirasi Perjuangan dan Kemerdekaan
Biografi Hasan Al-Banna Sang Mujahid Hasan Al-Banna bukan sekadar seorang ulama atau aktivis biasa. Ia adalah arsitek kebangkitan Islam modern. Ia seorang pemimpin visioner yang menyalakan kembali obor perjuangan umat di tengah kegelapan kolonialisme. Lahir pada 14 Oktober 1906 di Mahmudiyah, Delta Nil, Mesir, Hasan Al-Banna tumbuh dalam lingkungan yang

Fiqh Wasathiyah: Jalan Tengah Umat

Dari kedalaman ilmunya, lahirlah Fiqh Wasathiyah — fiqh keseimbangan. Islam, kata beliau, bukan agama yang keras tanpa belas kasih, dan bukan pula agama longgar tanpa aturan.

Beliau menulis, “Islam adalah agama keseimbangan, jalan tengah antara ghuluw (ekstremisme) dan tafrith (kelalaian)”.

Fiqh Wasathiyah inilah yang menjadikan Syekh al-Qaradawi diterima luas umat Islam. Ia mampu menepis dua bahaya besar: ekstremisme takfiri di satu sisi, dan liberalisme sekuler di sisi lain.

 

Pelajaran untuk Indonesia

Jika kita becermin pada Indonesia, pesan beliau terasa begitu relevan. Umat Islam negeri ini bercita-cita menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia dan mercusuar peradaban Islam moderat. Namun, cita-cita besar itu hanya bisa terwujud jika kita meneladani ulama-ulama rabbani.

Syekh al-Qaradawi pernah mengingatkan, “Umat yang melupakan ulamanya sejatinya sedang menggali kuburnya sendiri.

Maka, menghormati dan meneladani ulama adalah kunci kebangkitan bangsa. Tanpa itu, kita hanya akan menjadi bangsa yang besar di angka, tetapi kecil di peradaban.

Tragedi Hama 1982: Ribuan Nyawa Melayang, Saat Assad Berangus Ikhwanul Muslimin
Peristiwa tanggal 2 Februari 1982 ditengarai dengan banyak sebutan. Ada yang menyebutnya sebagai Pemberontakan Hama, Pembantaian Hama - Hama Masacre 1982, Majzarah al Hama 1982.

Posisi Al-Qaradawi: Menjadi Suara Hati Nurani Umat, Bukan Stempel Penguasa

Sejak awal 2000-an, Syekh Yusuf al-Qaradawi konsisten berada di puncak daftar “The Muslim 500” (500 Muslim paling berpengaruh di dunia). Bahkan, beberapa tahun ia berada di atas Grand Syaikh Al-Azhar dan ulama top dunia lainnya.

Ada beberapa sebab:

- Ilmu dan karya monumental → Beliau melahirkan lebih dari 100 karya (disusun dalam 105 jilid). Termasuk Fiqh al-Zakat, Fiqh al-Jihad, al-Halal wal Haram fil Islam, dan Mausu’ah al-Fiqh al-Muyassar. Sebagian besar sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

- Tokoh fiqh wasathiyah → Beliau dianggap “Bapak Fiqh Moderasi Islam” yang menjembatani antara teks dan konteks.

- Pengaruh global melalui media → Acara “al-Shari’ah wal Hayah” di Al-Jazeera ditonton jutaan orang di dunia Arab setiap minggu. Popularitas beliau melampaui otoritas keagamaan resmi.

- Independensi dari rezim → Berbeda dengan ulama resmi (misalnya Syaikh al-Azhar) yang kadang “terikat” dengan negara, al-Qaradawi bebas bicara — karena beliau berpusat di Qatar, bukan Mesir.

- Sikap politik umat → Beliau lantang membela Palestina, Hamas, dan isu-isu umat Islam global.

Semua faktor tersebut menjadikan beliau “ikon umat Islam dunia”, lebih populer daripada ulama negara (state scholars).

Ada tiga momentum besar yang mengubah posisi Syekh al-Qaradawi di mata lembaga penyusun daftar itu (The Royal Islamic Strategic Studies Centre, Amman, Yordania, yang dekat dengan lingkar kekuasaan monarki Arab), yaitu:

1. Dukungan kepada Revolusi Arab Spring (2011–2013)

Beliau tampil di Tahrir Square Kairo (Februari 2011), mendukung revolusi rakyat Mesir melawan Mubarak. Setelah kudeta militer 2013, beliau mengecam keras Jenderal As-Sisi. Ini membuatnya dianggap “musuh” oleh rezim Mesir dan sekutu-sekutunya.

2. Sikap terhadap Revolusi Suriah

Beliau mendukung penuh rakyat Suriah melawan rezim Bashar al-Assad, yang dilindungi oleh Iran dan Rusia. Pandangan ini membuatnya ditentang blok “Iran–Suriah–Hizbullah” dan ulama yang condong ke poros itu.

3. Dukungan Terbuka kepada Hamas dan Perlawanan Palestina

Qaradawi selalu memuji jihad Hamas dan menolak normalisasi dengan Israel. Di dalam iklim politik Arab yang makin mendekat ke Tel Aviv (UAE, Bahrain, Arab Saudi), posisi ini dianggap “radikal”.

Akibatnya, nama beliau diturunkan dari daftar 10 besar. Bukan karena berkurangnya pengaruh di kalangan umat, tetapi karena faktor politik: Penyusun daftar itu tentu memertimbangkan hubungan dengan rezim Arab, sekutu Barat, dan kekuatan regional.

Yordania Sita Aset, Tutup Kantor, dan Larang Kegiatan Ikhwanul Muslimin
Menteri Dalam Negeri Yordania, Mazen Al-Faraya, menyampaikan, pemerintah Yordania secara resmi melarang seluruh kegiatan Ikhwanul Muslimin dan menyatakan organisasi itu ilegal. Pemerintah Yordania juga menutup dan menyita seluruh aset dan properti Ikhwanul Muslimin.

Politik di Balik Daftar The Muslim 500

A. Ulama Rakyat vs Ulama Negara

Al-Qaradawi adalah ulama rakyat. Beliau berbicara sesuai nurani umat, bukan titipan penguasa. Sedangkan daftar “Muslim 500” sering lebih ramah kepada ulama negara (state scholars) seperti Syaikh al-Azhar, Syaikh Bin Bayyah, Raja Yordania, Sultan Brunei, Said Aqil Siroj, dan lain-lain.

B. Pergeseran pasca-Arab Spring

Setelah Arab Spring gagal dan banyak rezim otoriter kembali menguat (Mesir, Suriah, sebagian Teluk), tokoh-tokoh yang mendukung revolusi rakyat otomatis “dilucuti” dari panggung resmi.

C. Pergeseran Geopolitik Arab

Normalisasi dengan Israel (Abraham Accords 2020) dan aliansi Saudi–UAE dengan AS mendorong ulama yang terlalu pro-Hamas atau anti-rezim dianggap “berbahaya” bagi citra politik mereka.

Maka, turunnya nama al-Qaradawi dalam daftar The Muslim 500 bukan karena pengaruh beliau hilang di hati umat, tetapi karena ada rekayasa politik-religius dalam memoles wajah Islam resmi sesuai kepentingan rezim dan sekutunya.

Singkatnya: Syekh Yusuf al-Qaradawi lebih berpengaruh daripada ulama internasional lainnya karena beliau adalah ulama umat, bukan ulama negara. Namun, setelah kudeta Mesir 2013, dukungan kepada revolusi Suriah, dan pembelaan keras kepada Hamas, posisinya diturunkan karena tekanan politik regional dan global.

 

Penutup: Ulama Tidak Pernah Mati

Syekh Yusuf al-Qaradawi meninggalkan kita, tetapi ilmunya tetap hidup, pemikirannya tetap membimbing, dan jejak jihadnya tetap menjadi saksi.

Beliau pernah berkata, “Kami hanyalah orang-orang yang menanam. Jika kami tidak memetik hasilnya di dunia, kami yakin umat setelah kami akan menuainya di akhirat.

Ulama sejati memang tidak pernah mati. Mereka abadi lewat ilmu, amal, dan perjuangannya.

Di momen 99 tahun kelahiran Imam al-Qaradawi, marilah kita hidupkan kembali warisannya, sebarkan ilmunya, dan tegakkan Islam dengan ilmu, keberanian, dan cinta kepada umat — sebagaimana yang beliau tegakkan sepanjang hidupnya.

Wallahu a'lam bishawwab.