Anggota biro politik Hamas dan pejabat utama dalam tim perundingan, Dr. Khalil Al-Hayya, dalam wawancara terbaru dengan Al-Jazeera dan dipublikasikan di chanel resmi Hamas pada Senin (2/9/2024), menyampaikan beberapa poin penting mengenai situasi terkini. Beberapa sorotan utama dari wawancara itu menyoroti kekejaman zionis terhadap rakyat Palestina dan kesulitan dalam mencapai kesepakatan gencatan senjata.
Menurut Dr. Al-Hayya, serangan oleh tentara Zionis terhadap jurnalis yang melaporkan agresi di Jenin merupakan bentuk terorisme negara yang sistematis. Penembakan terhadap jurnalis bertujuan untuk mengaburkan kebenaran dan mencegah mereka melaporkan kekejaman yang dilakukan oleh rezim penjajah.
Sandera juga menjadi sorotan utama. Keenam sandera warga Israel yang ditemukan tewas pada Ahad (1/9/2024), disebutkan bisa saja dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran, namun tekanan dari tentara penjajah dan pemerintahan ekstremis Israel mengakibatkan mereka kehilangan hak untuk hidup. Mereka tewas akibat serangan bom yang dilakukan pasukan zionis.
Dr. Al-Hayya menegaskan bahwa Netanyahu menunjukkan sikap keras kepala dan berupaya untuk menciptakan ilusi seolah menjadi pahlawan. Pembunuhan sandera melalui pembombardiran itu menunjukkan bahwa pihak penjajah tidak benar-benar tertarik pada solusi yang adil. Sebagai contoh, seorang pemuda berkewarganegaraan Israel dan Amerika, sempat mengajukan permohonan untuk keselamatannya, yang didukung oleh pihak Qatar, namun akhirnya ditemukan tewas bersama sekelompok orang lainnya akibat pembombardiran oleh Israel.
Dr. Al-Hayya menyampaikan, dalam negosiasi, Netanyahu tidak serius dalam mencapai kesepakatan. Ia menyebut bahwa Netanyahu lebih memilih menggunakan pasukan untuk membunuh dan menghancurkan, daripada melakukan pertukaran sandera yang bisa menyelamatkan banyak nyawa. Pada bulan November dan Desember, misalnya, upaya mediasi oleh Qatar menunjukkan bahwa pertukaran sandera yang konstruktif mungkin dilakukan, namun Netanyahu gagal memanfaatkan peluang tersebut.
Amerika Serikat (AS) juga disebut sebagai penghambat utama dalam proses negosiasi. Menurut Dr. Al-Hayya, AS tidak hanya menarik tawaran yang telah dibuat tetapi juga menyebarkan suasana optimisme palsu tanpa memberikan tekanan kepada Israel untuk memenuhi kesepakatan.
Poin penting dalam negosiasi termasuk penarikan pasukan dari koridor Philadelphia dan pengelolaan penyeberangan Rafah. Namun, Netanyahu terus menetapkan syarat baru yang bertentangan dengan kesepakatan sebelumnya. Termasuk penolakan untuk membebaskan warga Palestina yang dipenjara seumur hidup di penjara Israel.
Dr. Al-Hayya menegaskan bahwa meski pun situasi saat ini semakin rumit, rakyat Palestina tetap teguh dan tidak akan menyerah. Selama 76 tahun, meski pun menghadapi berbagai tantangan dan penderitaan, mereka telah membuktikan ketahanan dan kemampuan mereka untuk melawan penjajahan.
Dr. Al-Hayya pun menyatakan, dengan semua yang ada, rakyat Palestina akan terus melawan dengan berbagai bentuk perjuangan, dan mereka tidak akan menyerah kepada Zionis meski pun ada dukungan militer dan internasional yang besar untuk negara penjajah tersebut.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!