Api Cinta (Episode 3)

"Akh Jimi, ana lihat antum sudah sangat mapan, apa belum ada niatan buat menikah?"

Pekan ini saat ngaji rutin pekanan sama kawan komunitas pengajian, tiba-tiba aku ditanya kawan seniorku. Sepertinya beliau sudah lama memperhatikan semua aktivitasku. Dan memang dalam komunitas kajian yang aku ikuti, sudah menjadi hal biasa satu sama lainnya saling mengetahui kondisi masing-masing. Mulai keluarga, pekerjaan, dan juga aktivitas sehari-hari.

"Ana lihat antum sudah sangat siap baik secara usia, mental, dan juga finansial. Tapi ya pastinya antum yang lebih tahu daripada ana."

Seniorku mencoba menerka-nerka masalahku.

"Ana belum bisa menentukan waktu tepatnya kapan, Akh… Sebab, ana sendiri sih belum kepikiran menikah dalam waktu dekat. Sepertinya masih bisa setahun atau dua tahun lagi…"

Kucoba menjawab sekelebat yang terlintas di benakku.

"Tapi bukan masalah finansial, kan?"

Rupanya kawan seniorku belum begitu puas dengan jawaban yang kuberikan. Dan kelihatannya beliau masih ingin mengejar jawaban pasti dariku. Karena memang jelas-jelas terlihat bahwa gajiku yang lumayan besar tak mungkin jadi kendala. Jadi, finansialku bukan masalah. Dari segi usia pun tidak. Lalu apa? Begitu kira-kira yang ada dalam benaknya.

"Mungkin secara pribadi yang ana belum siap," jawabku.

"Nah, itu dia yang tampaknya perlu diselesaikan. Insya Allah ana siap bantu antum, Akhi… Barangkali antum bisa ngobrol ke ana."

Seniorku mencoba untuk membantuku.

"Kelihatannya belum sekarang, Akh. Nantilah barangkali ana...."

Tiba-tiba lidahku tercekat. Kata-kataku mendadak terputus. Dan aku tahu betul gerangan apa sebenarnya yang membuatku tiba-tiba jadi seperti ini.

Baca Juga : Api Cinta (Episode 1)

Ya, aku yang seorang aktifis pengajian dan akrab dengan suasana kajian, tilawah Al Qur’an, bacaan-bacaan buku agama, nyatanya adalah seorang pendosa. Sudah hampir setahun ini menjadi penikmat film-film porno. Meskipun selalu berakhir dengan penyesalan, tapi juga tak kunjung bisa menghindar. Kalau datang kajian, maka diriku selayaknya orang saleh, taat beragama, dan semua perilaku maksiatku hilang bagai debu dihempas oleh kesalehan penampilanku.

Penampilan khas anak pengajian. Semua kawan-kawanku tak mungkin menyangka jika sebenarnya diriku adalah penikmat kemaksiatan tontonan porno. Dan sekali lagi, meski berakhir dengan penyesalan, namun selalu berulang.

Najis sekali diriku, ya Allah. Di dalam hati kembali ada semburat sesal. Dan memang aku selalu berharap semburat sesal itu mampu menjadi cahaya hidayah yang lebih sempurna. Namun, apa daya pertahanan imanku selalu koyak dengan dosa-dosa yang sama. Jatuh lagi pada kubangan yang sama.

Dan suatu hari....

Karena sebab rasa penasaran yang bertubi-tubi dari aplikasi yang pernah Feri perlihatkan dulu, akhirnya aku benar-benar bermain dengan api maksiat.

Aku pun jatuh dalam dosa besar. Bermaksiat yang seharusnya berujung dengan hukuman seratus cambukan. Aku merasa diriku sudah menjadi orang munafik. Najis.

Seraya pamit pulang, dadaku mulai sesak. Aku tak habis pikir, diriku yang aktif di pengajian bisa sampai jatuh ke dalam kubangan maksiat dosa besar. Aku merasa sudah binasa karena dosaku itu.

Baca Juga : Api Cinta (Episode 2)

Selanjutnya, aku bergegas menuju parkiran mobil dan berniat pulang. Dengan berjalan lemas sekitar sepuluh menit, aku pun sampai. Segera mobil kunyalakan.

Namun, tangan dan kakiku seakan berat untuk bergerak. Kuhempaskan saja punggungku di kursi mobil. Mataku mulai basah. Dadaku berdegup menahan tangis penyesalan. Dan semakin lama semakin aku menikmati tangisanku. Hangat air mataku yang perlahan menyusuri pipi makin membuat jiwaku tentram. Ya Allah, ampunkan diriku, ampuni semua dosa-dosaku. Tak henti hatiku melantunkan doa harapan pada ampunan Allah.

“Astagfirullahaladzim…”

Lirihku beristigfar berulang-ulang kali.