Api Cinta (Episode 6)
“Mas! Kamu nonton apaan?!!”
Tiba-tiba kedua telingaku menangkap teriakan itu. Sontak aku dikagetkan oleh suara istriku yang meledak. Tanpa kusadari kehadirannya, mendadak dia sudah ada di belakangku. Tanganku gemetar dan sudah tak ada lagi harapan buat menyembunyikan ponselku yang masih menampilkan adegan film porno.
Aku merasakan lidahku kelu. Mulutku hanya bisa menggumam tak jelas. Ingin mencari-cari alasan, namun sudah tak mungkin lagi, karena sudah jelas sekali sekarang aku tertangkap basah oleh istriku saat sedang menikmati film porno.
"Kok bisa Mas nonton film begituan? Kenapa? Bukannya Mas tahu itu dosa?!"
Aku makin terpojok… Mulutku rapat… Meski layar ponsel sudah kumatikan, namun getar gemetar tanganku masih sangat terasa. Aku tak mampu melihat wajah istriku. Nada suaranya sangat tegas menyemburkan kemarahan atas perbuatan jijikku.
"Mas nggak malu? Selama ini mas ngaji buat apa?!"
Bertubi-tubi kemarahan istriku menyembur dalam pertanyaan-pertanyaan yang semakin membuatku tak berkutik. Lemas, lunglai, malu, khawatir, semua hadir menggulung jiwaku yang detik ini mendadak dihantam penyesalan. Ternyata aku masih jatuh lagi ke dalam dosa menjijikkan ini.
Baca Juga : Api Cinta (Episode 5)
Aku sendiri tak mengerti, kenapa kadang secara tiba-tiba nafsu buat kembali menonton film porno itu muncul, lalu tak mampu lagi kukendalikan, meski setelahnya timbul penyesalan sekalipun.
Istriku keluar kamar. Beringsut pelan lalu duduk mematung sedang roman kemarahan pada wajahnya masih belum memudar. Kuberanikan diriku untuk mendekatinya. Hendak aku sampaikan maafku.
Sambil tetap berdiri di belakang kursi, kucoba pegang lembut kedua pundaknya. Tetapi ia gerakkan badan, pertanda tak mau kupegang. Selanjutnya, dengan muka kesedihanku aku tetap sampaikan permintaan maafku.
"Mas nggak puas dengan pelayananku?"
Itu sungguh pertanyaan yang menampar. Bagaimana mungkin kujawab pertanyaan seperti itu? Jika kujawab “puas”, lalu kenapa aku masih menonton film porno, seakan sedang mencari-cari kepuasan lain? Dan jika kujawab “tidak puas”, apa jadinya? Alangkah remuknya perasaan istriku! Ah, diriku benar-benar bodoh! Apa pun jawabnya, sudah pasti salah semuanya.
Kusadari betapa bodohnya diriku sekarang. Kenapa dosa-dosaku terulang lagi saat ini? Saat diriku sudah memiliki istri? Bahkan saat ia ada di rumah ini bersamaku? Ah, memang sudah selayaknya diriku hina. Hina akibat ulah dan kebodohanku sendiri.
Seminggu berlalu. Situasi rumah tanggaku sudah normal kembali. Aku sudah mengaku salah dan khilaf kepada istriku, sekaligus berjanji tidak akan kuulangi perbuatan yang sama. Aktivitas kami sudah seperti biasa.
Tetapi muncul masalah baru. Istri yang masih bekerja di sebuah perusahaan harus pindah kantor ke Solo. Bersyukur, di Solo ada kakak perempuannya, sehingga sementara bisa tinggal bareng. Apalagi kakaknya ingin tinggal bersama saja di rumahnya.
Rencana kepindahannya pun mendadak. Paling lama dua pekan ini sudah harus ngantor di Solo. Bagiku, ini sangat berat. Baru dua bulan menikah, berkumpul bersama dalam rumah tangga, dan sebentar lagi harus berpisah, menjalani hubungan jarak jauh.
Aku tak bisa membohongi diriku sendiri bahwa ada kekhawatiran diriku akan kembali lagi melakukan dosa syahwat jika berjauhan dengan istri. Tetapi aku juga tahu bahwa istriku pun merasa belum bisa meninggalkan pekerjaannya, meski secara finansial gajiku sudah lebih dari cukup buat hidup berdua, membeli rumah, dan juga kendaraan.
Malang – Solo ... Ah, jauh sekali jarak pemisahnya.
Dan dua pekan kemudian ...
"Mas janji ya, baik-baik di rumah..."
Pesan lembut istriku hinggap di telingaku. Tetapi kulihat ada sesuatu pada dirinya. Seakan ada gelayut mendung di wajahnya. Apa dia sangat takut diriku tergoda lagi buat menonton film porno? Rasa-rasanya memang dia sedang memikirkan itu. Andai dia mengerti bahwa aku pun merasakan kekhawatiran yang sama...
"Insya Allah. Berdoa juga buat Mas, ya. Dan adik juga baik-baik, jaga diri."
Bagaimana pun juga aku tetap harus membuat suasana hatinya tenang. Kusingkirkan semua galau perasaanku agar seluruhnya tampak baik-baik saja. Dengan berharap kepada Allah agar semua tetap berjalan lancar. Siang hari Minggu itu aku balik ke Malang setelah mengantar istri ke Solo.
Baca Juga : Api Cinta (Episode 4)
Aku tekadkan untuk bisa bertemu dengan istri di Solo setiap dua pekan sekali, atau paling lama sebulan sekali. Sungguh aku yang sedari awal berniat menikah sebagai bagian dari ibadah dan juga bertobat agar bisa menghindar dari dosa-dosaku, tak berharap jika harus menjalani rumah tangga dengan berjauhan. Sungguh aku masih merasa sangat mengkhawatirkan diriku.
Saat duduk di dalam bus kota yang mengantarkanku balik ke Malang, tiba-tiba Sasmita menelepon. Karena masih agak malas mengobrol, maka kubiarkan sejenak HP tanpa kuangkat. Dering panggilan pun berhenti, dan tak ada lagi panggilan. Syukurlah, kataku dalam hati meski tidak enak juga tak menjawab telepon Sasmita. Oh, ternyata dia kirim pesan lewat whatsapp.
"Assalamu'alaikum, Jimi. Insya Allah aku sudah berniat bercerai dengan istriku. Akhirnya dia mengakui perbuatannya menjalin hubungan dengan seorang laki-laki. Dan ternyata menurut pengakuannya laki-laki tersebut adalah teman sekolahnya dulu. Aku sudah muak. Cuma ya tetap kasihan sama anakku yang masih kecil.
“Paling nanti aku titipkan sama kakak perempuanku di kampung… Dan ternyata hubungan mereka sudah berjalan setahun lebih dan aku tidak tahu. Karena aku pun nggak sampai mikir ke sana. Waktu aku tanya, kenapa sudah tidak suka lagi rumah tangga denganku, dia nggak mau jawab."
Allahu Akbar...
Akhirnya Sasmita mau bercerai. Pikiranku makin suntuk. Ingin kubalas pesannya, tetapi jemariku seakan malas kugerakkan. Masih kupandangi deretan kata-kata Sasmita. Kuulang lagi membacanya hingga tiga kali dan hanya berujung pada hati yang bertanya, Problem apa yang terjadi di rumah Sasmita? Kenapa istrinya bisa berselingkuh? Kok bisa Sasmita tidak tahu? Ah, tak mungkin juga aku tahu.
Dan benar...
Sepekan setelah tak ada lagi istri di rumah, nafsu setan mulai merasuk dalam hatiku. Pikiranku mulai meronta-ronta. Kucoba untuk bertahan agar nafsu itu tak menjebol pertahananku meski susah payah. Kucoba menelepon istriku bertanya kabar, dan bertanya apa saja untuk mengusir rayuan setan.
Usahaku sedikit berhasil… Sedikit saja…
Pekan pertama aku selamat.