Arab Saudi dan Iran Berdamai, Cina Siap Pimpin Dunia

Arab Saudi dan Iran Berdamai, Cina Siap Pimpin Dunia
Ilustrasi MBS dan tokoh Iran oleh Ichsan / Sabili.id

Satu bulan terakhir, dunia tengah menyoroti langkah progresif Arab Saudi dalam politik luar negerinya. Negara Petrodolar tersebut dianggap melakukan sebuah langkah yang cukup radikal dan signifikan dalam normalisasi hubungan poltik dengan musuh bebuyutannya, Iran. Sejarah konflik Arab Saudi vs Iran sejatinya telah berlangsung lama. Konflik mencuat sesaat setelah meletusnya Revolusi Syiah Iran tahun 1979. Revolusi ini berhasil mendepak Rezim Syah Iran dan menobatkan Khomeni sebagai penggantinya. Iran yang kala itu merasa sebagai lokomotif perubahan atas rezim diktator di Timur Tengah berusaha menyebarkan keberhasilannya ke negara tetangga. Mereka mendorong agar masyarakat melakukan revolusi untuk mengganti sistem kepemimpinan negaranya dengan Republik Islam (syiah), alih-alih monarki absolut.

Sejarah Konflik Arab Saudi vs Iran

November 1979 bentrokan berdarah pecah di timur Arab Saudi, tepatnya di Provinsi Qotif. Sebuah provinsi yang berbatasan darat dengan Iran. Insinden yang dikenal dengan “Intifadhoh Muharrom” ini merupakan salah satu tragedi paling berdarah dalam sejarah Arab Saudi modern. Kala itu Kepolisian Arab Saudi bersama Garda Nasional  mengerahkan pasukannya untuk membubarkan iring-iringan massa yang tengah mengadakan perayaan Asyuro (syiah) di Qothif. Pihak keamanan mecurigainya sebagai makar untuk mengkudeta raja. Ditengah upaya membubarkan massa, ternyata para peserta iring-iringan melakukan perlawanan. Sontak korban tewas dan luka berjatuhan. Arab Saudi menuduh Iran sebagai biang keladi atas tragedi tersebut.

Satu tahun setelahnya meletus perang Iran vs Iraq, pada September 1980. Saddam Husein yang merasa terusik dengan angin revolusi Iran segera mengirim puluhan jet tempurnya menggempur selusin pangkalan udara militer Iran. Perang pun tak terhindarkan. Selain untuk mencegah masuknya angin revolusi ke negaranya, Saddam juga berambisi menjadi penguasa Timur Tengah dan Arab, karena Saddam diantara tokoh yang paling radikal dalam mewujudkan pan arabisme. Dalam perang ini Arab Saudi dan negara teluk lainnya mendukung Iraq, demi mencegah badai revolusi Iran merembet kemana-mana. Bahkan Arab Saudi menggelontorkan puluhan milyar dolar untuk mendanai perang, sehingga Iraq terhindar dari kebangkrutan imbas perang.

Musim haji 1986, petugas bea cukai Bandara Jeddah berhasil menyita 51 kilogram C4 yang disembunyikan di dalam 95 koper jamaah haji Iran. Bahan peledak ini disinyalir bagian dari operasi intelejen Iran untuk menggoyang Arab Saudi. Musim haji setelahnya pada 1987, terjadi bentrokan berdarah antara jamaah haji Iran dengan pihak kemanan Arab Saudi. Kala itu jamaah haji Iran melakukan long march sambil membentangkan spanduk “kematian untuk Amerika, kematian untuk Israel”. Dalam merespon aksi ini pihak kemanan bertindak represif, hingga sedikitnya 400 orang tewas, baik dari jamaah haji Iran atau pihak keamanan Arab Saudi. Pasca kejadian ini, Arab Saudi segera menutup kedutaannya di Teheran dan memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Iran.

Pada milenium kedua masehi, meskipun mengalami pasang surut, hubungan keduanya tak kering dari konflik. Baik konflik secara langsung atau konflik memperebutkan hegemoni atas timur tengah dan dunia Islam. Pasalnya Arab Saudi mendeklarasikan dirinya sebagai rumah besar ummat islam dunia, karena dua tanah haram Makkah dan Madinah ada di daerah teritorinya. Ditambah Arab Saudi menganut paham Sunni, sedangkan Iran menganut paham Syiah yang difatwakan sesat. Yang teranyar adalah ketika Menlu Arab Saudi mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik untuk kesekian kalinya dengan Iran pada 2016.

Langkah Zig Zag Arab Saudi

Jum’at 10 Maret 2023 Timur Tengah geger, Arab Saudi mengumumkan normalisasi hubungan diplomatiknya dengan sang musuh bebuyutan, Iran. Pengumuman ini diikuti dengan komitmen pembukaan kembali kedutaan besar di kedua negara dalam tempo satu pekan. Bahkan, keduanya juga berkomitmen untuk normalisasi kerja sama keamanan dan perdagangan yang telah diteken pada 1998 dan 2011 lalu. Yang tidak kalah menggemparkan, prosesi “maaf-maafan” mantan musuh bebuyutan ini dibekingi oleh Cina. Rezim Xi Jinping dinilai sukses melakukan upaya diplomasi tingkat tinggi dalam mendamaikan Arab Saudi dan Iran.

Satu bulan setelahnya, April 2023, utusan Arab Saudi secara resmi menemui pimpinan Syiah Hutsi Yaman di San’a. Menteri Luar Negeri Arab Saudi menyebut pertemuan ini membahas langkah kongkrit untuk menghentikan perang dan pembangunan kembali Yaman. Sebagaimana diketahui pada 2014 silam, Raja Salman meluncurkan operasi militer untuk menyikat rezim Houtsi di Yaman pasca melakukan kudeta kepada pemerintah Abdu rabbuh Hadi. Perang yang berlarut-larut tersebut meluluhlantakkan Yaman dan mebuatnya menghadapi krisis kemanusiaan terburuk pada dekade ini.

Tak menunggu lama, bak sedang kejar tayang, 3 hari lalu pada 18 April 2023 Menlu Arab Saudi Faisal bin Farhan menemui Basyar Assad di Damaskus, Suriah. Pertemuan bersejarah ini membuka lembaran baru hubungan yang tak biasa antara Arab Saudi dengan para musuhnya di kawasan.

Sebagaimana diketahui sejak merebaknya musim semi Arab (Arab spring) di Suriah, Arab Saudi adalah yang terdepan dalam menentang rezim Basyar. Bahkan Suriah didepak dari keanggotaan di Liga Arab imbas konflik. Basyar yang berhaluan syiah merupakan teman mesra Iran. Sebagaiman diketahui bahwa Iran sejak 1979 berusaha membuat imperium syiah di Timur Tengah. Proxy mereka pun tersebar luar di kawasan, Hizbullah Lebanon, Houthi Yaman, hingga Rezim Basyar di Suriah. Safari politik Saudi sebulan terakhir ini, kontan membuat AS naik darah.

Cina Makin Digdaya

Pasca mengganti Menlunya, rezim Xi Jinping massif melakukan mediasi negara-negara yang sedang berkonflik, bak juru damai. Yang sangat monumental adalah rujuknya Arab Saudi dengan Iran. Yang lebih menarik lagi setelah Iran, kunjungan berikutnya adalah Yaman dan Suriah, yang merupakan proxy Iran. Tentu amatlah naif kalo hal tersebut lekang dari nasihat Cina. Dalam melihat fenomena ini setidaknya ada tiga poin kunci yang menjadi indikasi segera berakhirnya kedigdayaan AS, khususnya di Timur Tengah.

Pertama, Cina dinilai berhasil dalam melakukan penetrasi pengaruh di kawasan Timur Tengah, khususnya Arab Saudi. Tidak hanya karena berhasil memediasi perdamaian dengan para musuhnya, bahkan Arab Saudi secara resmi memasukkan bahasa mandarin dalam sistem pendidikan mereka. Perubahan iklim politik yang terjadi lantaran hubungan Arab Saudi dengan AS pada titik terendahnya. Sebagaimana diketahui pasca Joe Biden berkuasa, hubungan Arab Saudi dengan AS dingin. Seakan memberi sinyal kurang bersahabat, bahkan Saudi berusaha menampar AS kala OPEC Plus memutuskan untuk memangkas produski minyaknya menjadi 1,2 juta barel perhari atau setara 2% dari pasokan dunia. AS yang selama ini menjadi pelanggan tetap minyak OPEC terancam. Apalagi keputusan tersebut diambil tanpa meminta restu Paman Sam. Saudi seakan selingkuh diam-diam dengan Cina. Padahal kita ketahui bersama, sejak revolusi minyak yang membuat negara timur tengah kaya mendadak, pengaruh Amerika di kawasan sangat kuat. Bahkan tercatat banyak pangkalan militer dengan skala besar didirikan di negara Teluk.

Kedua, setelah gagalnya perundingan nuklir Vienna, Amerika menuduh Iran mengintensifkan program nuklirnya. Washington mengkhawatirkan Iran menyalahgunakan nuklirnya untuk pengembangan senjata. Kekuatan nuklir Iran menjadi bergaining paling jitu dalam melawan hegemoni AS.

Ketiga, posisi strategis Iran dan Arab Saudi. Keduanya adalah pemain utama dalam percaturan politik kawasan. Konflik dan bara api yang menyalak di Timur Tengah belakangan ini akan dengan mudah kita temukan jejak keduanya. Konflik yang berlarut di kawasan, dimanfaatkan atau bahkan diciptakan oleh Amerika. Setidaknya dari konflik tersebut Amerika menikmati kucuran minyak Saudi, jual beli peralatan militer bahkan jasa keamanan. Bak seorang petani dengan tengkulak, dengan dalih sebagai pembeli permanen, tengkulak bisa dengan mudahnya untuk mengintimidasi, menipu bahkan mengagitasi.

Seakan sadar telah ditipu sejak lama, Saudi bermain mata dengan Cina. Apalagi Cina secara aktif dan vokal memposisikan dirinya sebagai rival terberat AS yang siap melakukan pukulan upper cut kapan saja.

Dari fakta dan analisa di atas tidak berlebihan jika kita katakan bahwa Cina makin digdaya di timur tengah. Bahkan dalam kasus penjajahan Palestina, Cina kerap kali mengecam Israel dan memihak kepada Palestina. Pertanyaan yang paling mendasar adalah, apakah dengan digdayanya Cina di Timur Tengah membawa kemaslahatan bagi Islam dan ummat muslim bahkan dunia? Atau bahkan mampu mengakhiri penjajahan atas Palestina? Atau ternyata hanya sekedar ganti jasa tengkulak saja!

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.