Di tahun 2005, Perdana Menteri penjajah Israel (waktu itu), Ariel Sharon, memutuskan menarik pasukan dan pemukim ilegal Israel dari Jalur Gaza, karena sadar biaya politik, ekonomi, dan sumber daya manusia yang terlalu tinggi. Di tahun 2025, Benjamin Netanyahu memilih jalan sebaliknya.
Di tahun 2005, Perdana Menteri penjajah Israel (waktu itu), Ariel Sharon, memutuskan untuk menarik pasukan dan pemukim ilegal Israel dari Jalur Gaza. Ia terpaksa menarik pasukannya waktu itu karena sadar bahwa menduduki Gaza secara total lebih banyak membawa kerugian daripada keuntungan bagi Israel. Sharon menyadari bahwa biaya politik, ekonomi, dan sumber daya manusia untuk memertahankan Gaza terlalu tinggi, sementara manfaat strategisnya minim.
Dua puluh tahun kemudian, Perdana Menteri penjajah Israel, Benjamin Netanyahu, memilih arah sebaliknya. Di dalam beberapa hari terakhir, ia justru mengumumkan rencana menduduki total Jalur Gaza.

Sharon mengambil keputusan mundur dari Gaza setelah memertimbangkan fakta-fakta berikut:
- Biaya SDM – Kehadiran militer Israel di Gaza mengorbankan banyak nyawa akibat perlawanan yang terjadi hampir setiap hari.
- Beban ekonomi – Melindungi permukiman ilegal Yahudi yang terisolasi di Gaza menghabiskan dana dan sumber daya yang besar.
- Isolasi internasional – Pendudukan langsung telah memerburuk citra Israel di dunia dan memicu kritik global.
- Tidak ada keuntungan strategis – Mengendalikan Gaza tidak menambah keamanan Israel, justru memicu perlawanan yang lebih terorganisir.
Sharon tahu bahwa mundur dari Gaza akan mengurangi beban Tel Aviv, memerbaiki posisi diplomatik, dan memungkinkan mereka fokus pada proyek permukiman ilegal di Tepi Barat. Secara politis, ia bahkan memanfaatkan penarikan itu untuk menekan proses perdamaian (antara pemerintah di Gaza dan Tepi Barat) yang dianggap merugikan Israel.

Rencana Netanyahu 2025: Mengulang dengan Risiko Lebih Besar, Israel Bakal Terperosok?
Tampaknya Netanyahu mengabaikan hal tersebut. Padahal, sejumlah petinggi militer penjajah Israel, termasuk Panglima militernya Eyal Zamir, memeringatkan bahwa menduduki Gaza secara total adalah “jebakan strategis”.
Dengan populasi lebih dari dua juta jiwa, kondisi Gaza jauh lebih kompleks dibandingkan 20 tahun lalu, sementara militer Israel sudah kelelahan akibat perang panjang. Selain menguras sumber daya, rencana itu juga berpotensi membahayakan nyawa sekitar 24 sandera Israel yang masih ditahan di Gaza.
Jika Sharon pada 2005 memilih mundur, Netanyahu justru memaksa maju di medan yang sama — dengan beban yang lebih berat, risiko yang lebih besar, dan peluang keberhasilan yang sangat kecil. Hal ini bisa menjadi awal kehancuran penjajah Israel.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!