Artificial Intelligence (AI), Peradaban Baru dan Hikmah
Banyak fenomena zaman kini berbeda dengan zaman dulu sebelum pesatnya perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi bersamaan dengan kehidupan tidak jarang menghasilkan hubungan yang dinamis. Bahkan, keduanya seolah berebut peran dalam menjalankan kehidupan. Terkadang, peranan manusia seolah tergeser oleh peranan alat. Tak ingin salah, manusia kembali mengambil peran dengan memperbaharui diri dan kembali menyadari esensi awal dengan mengembalikan teknologi pada fungsi awalnya.
Jika manusia kalah dalam prosesnya, tentu tidak ada lagi kehidupan. Yang ada hanya kenyataan berupa mesin-mesin produk teknologi, dan ini tidak mungkin jika tidak ada yang menghidupkan. Hal itu terbukti dengan adanya teknologi baru dengan kecanggihan serta kerumitan khas kebaruannya dalam memfasilitasi kehidupan manusia. Manusia senantiasa menyesuaikan diri. Dan sebagian lain memperbaharui teknologi itu sendiri sebagai alat untuk manusia.
Perkembangan teknologi secanggih AI (artificial intelligence) dapat menjadi fasilitas untuk menambah kesempatan berbuat kebaikan. Jika kemajuan ditempatkan sebagai media untuk membantu manusia dalam berbagai aktivitas, maka perkembangan tidaklah dijadikan tumpuan, landasan atau melebihi itu, tetapi kehadirannya disikapi sebagai fasilitas dan gambaran untuk berusaha lebih baik lagi. Selamanya esensi alat tidak untuk menyalahi eksistensinya sebagai sarana yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Baca Juga : Gerakan Aktivis Konservatif yang Sok Progresif (Bagian 2): "Disrupsi AI dan Generasi Terdistorsi"
Terbentuk Peradaban
Teknologi berperan dalam kehidupan manusia. Bahkan menjadi pembeda peradaban. Zaman dulu, sebelum manusia banyak mengenal teknologi seperti saat ini, pola kehidupan yang terbentuk dinilai sederhana. Namun, jika dipikir-pikir, banyak keutamaan di zaman dulu yang tidak terdapat di zaman ini. Bentuk kecerdasan di zaman dulu berbeda dengan sekarang, terdapat keterpisahan kecerdasan manusia zaman ini dengan dirinya sendiri dan menjelma alat. Bahkan, terkadang alat tidak hanya menjadi karya kecerdasan manusia, tetapi pada suatu kesempatan, teknologi dengan berbagai produknya seolah mampu mengukur kecerdasan manusia. Meski pun tentu ini hanya semacam kecemasan yang diciptakan/dibuat-buat belaka.
Sebagai contoh, dalam hal kelahiran. Di zaman sekarang teknologi sesar menjadi metode alternatif standar dalam proses persalinan. Di zaman dulu, proses melahirkan dapat berakhir sehat dan tidak, banyak efek kesehatan lanjutan dari proses persalinan, bahkan tanpa bantuan alat-alat medis dan tenaganya semisal bidan.
Contoh lain, dalam proses belajar. Seorang dengan daya tangkap yang kuat, belajar hanya dengan ingatan dan alat tulis seadanya. Namun bandingkan dengan zaman sekarang. Ia bahkan cenderung repot. Kebutuhan untuk proses pembelajaran meningkat selain alat standar. Selain bahan praktik dan media, sekarang proses belajar juga menuntut pendanaan lebih terkait informasi dan lain sebagainya.
Artikel ini tidak sedang menimbang perkembangan teknologi dengan konsekuensi negatifnya, atau sedang mengajak untuk kembali hidup dengan pola seperti di zaman dahulu secara an sich, atau meninggalkan teknologi untuk melepaskan diri dari tantangan zaman, namun menimbang peran teknologi dalam posisi awalnya dan melihatnya sebagai suatu alat yang mempermudah urusan manusia, bukan suatu kerumitan yang dapat membawa mudarat bagi mental, visi, ataupun menggoyahkan cara hidup manusia. Tidaklah!
Gambaran dan Hikmah
Manusia tidak bisa lepas dari tuntunan dan keinginan untuk hidup yang baik. Tidak bisa dibayangkan jika seseorang hidup tanpa tuntunan, bahkan dalam hal terkecil sekali pun semisal berjalan. Sebelum peradaban tercipta sedemikian rupa, manusia saling mengajarkan, mulai dengan cara sederhana hingga menggunakan alat sebagai media. Di sisi lain, muncullah konsep-konsep sebagai pemetaan lebih lanjut. Teknologi yang berkembang saat itu tidak jarang kemudian menjadi barang usang.
Teknologi hadir dalam kehidupan manusia mulai dari bentuk paling sederhana hingga berbagai macam seperti saat ini. Tak ada yang dapat memastikan bentuk paling sederhana dari teknologi; apa dan siapa yang menciptakan. Bentuk paling mutakhir dari teknologi dalam asumsi yang paling populer mungkin dapat saja dikatakan adalah AI (Atificial Intellegent). Namun bentuk ini adalah satu dari adanya alternatif (sistem) lain.
Perlu disadari, nilai dan fungsi dari teknologi tidak melulu perihal tren atau bahkan kemudahan sebagai fasilitas. Kebijaksanaan penggunaan, kebutuhan manusia, serta esensi teknologi semisal AI sebagai alat, tidak lepas dari nilai guna. Ada nilai yang disasar. Artinya, perlu kiranya kesadaran bersama untuk menyikapinya. Bukan hanya sebagai produsen dan konsumen teknologi.
Ilmu menjadi penting dalam mengembangkan teknologi berikut penggunaannya. Tidak hanya berhenti pada ranah wawasan, teknologi mensyaratkan kemampuan atau keterampilan. Mempelajari ilmu yang bermanfaat adalah kebaikan, terlebih mengajarkannya. Hal itu memiliki keutamaan semisal untuk mempermudah dan menjadi contoh (hikmah).
Baca Juga : Dengan AI Semua Jadi Mudah
Sebagai contoh, orang mungkin tidak paham betapa perbuatannya dapat dikenali secara pribadi, sebelum dia melihat bahwa ternyata manusia berdiri secara independen dengan sidik jari. Atau hikmah dari adanya dokumentasi video, misalnya. Dulu mungkin orang kesulitan menjelaskan bagaimana perbuatan setiap orang dapat direkam secara utuh untuk dipertanggung jawabkan secara hukum. Sekarang, negara – dalam hal ini hukum positif – bahkan dapat menjadikannya sebagai materi, berupa video CCTV. Demikian contoh paling sederhana.
Terkhusus Teknologi AI, ini adalah contoh sederhana tentang bagaimana suatu peran tetap harus dilakukan. Dan tentu peran manusia tidak tergantikan untuk memenuhi kewajibannya, bahkan walau telah dibantu dengan kecanggihan AI.
Di tengah berbagai kemungkinan kuantitas perbuatan yang dapat tercipta dengan teknologi, semakin banyak kebaikan yang dapat diraih. Namun, keutamaan tak senantiasa identik dengan jumlah. Misalnya, banyak karya dinilai sebagai yang terbaik hanya karena karya tersebut dinilai sebagai yang pertama (penggagas).
Tidak perlu khawatir dengan jumlah karya atau perbuatan yang dihasilkan, jika itu tidak membawa kebaikan. Pertimbangan pemahaman serta keyakinan penuh bahwa itu kebaikan terbukti membawa pengaruh besar bagi umat manusia. Wallahu a’lam.