Dua tahun sudah sejak badai besar itu meletus. Thufan Al-Aqsha, gelombang perlawanan yang mengguncang dunia dan mengguncang narasi yang selama puluhan tahun menindas kebenaran. Dua tahun yang memerlihatkan keteguhan luar biasa rakyat Palestina yang tetap berdiri di atas reruntuhan, tetap bersujud di bawah ancaman, tetap yakin bahwa kemerdekaan adalah hak yang harus diperjuangkan.
Bangsa Palestina memang kehilangan rumah, keluarga, dan keamanan, namun mereka tidak kehilangan keyakinan. Di balik kepungan blokade, mereka justru melahirkan harapan baru, harapan bahwa penjajahan akan selalu menemukan kehancurannya.
Dua tahun lalu, di podium megah Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Benjamin Netanyahu berdiri dengan penuh kesombongan. Ia menunjuk peta yang telah ia ubah sesuka hati — peta Timur Tengah tanpa Palestina. Di dalam pidatonya, Netanyahu dengan lantang menyatakan “Tidak ada lagi Palestina.”
Dan tragisnya, saat itu dunia diam. Tak satu pun negara besar menegur. Tak ada keberatan, tak ada pembelaan terhadap bangsa yang terjajah lebih dari tujuh dekade. Dunia memilih bungkam di hadapan arogansi penjajah.

Namun, sejarah selalu punya caranya sendiri untuk menegur kesombongan. Tujuh Oktober 2023, badai itu datang — Thufan Al-Aqsha. Gelombang perlawanan yang memaksa umat manusia kembali menatap Gaza bukan sebagai “wilayah konflik”, tetapi sebagai simbol kehormatan yang dipertahankan dengan darah dan keyakinan. Apa yang oleh Barat disebut “serangan”, bagi rakyat Palestina adalah koreksi besar terhadap narasi palsu dunia.
Dua tahun berselang, dunia berbalik arah. Di dalam Sidang Umum PBB 2025, Netanyahu kembali berdiri di mimbar yang sama. Namun, kali ini tidak lagi di hadapan tepuk tangan diplomatik, melainkan di hadapan punggung-punggung yang meninggalkannya. Hampir seluruh delegasi dunia walkout, serentak meneriakkan “Free Palestine!”.
Dunia yang dulu diam, kini bersuara. Negara-negara besar semisal Prancis, Inggris, Spanyol, Kanada, dan Australia, mulai mengakui Palestina sebagai negara merdeka. Realitas politik global yang dulu tunduk kepada narasi Tel Aviv kini mulai runtuh di hadapan kebenaran yang tak bisa lagi disembunyikan.
Thufan Al-Aqsha tidak hanya sebatas perlawanan bersenjata. Lebih dari itu, Thufan Al-Aqsha adalah perlawanan narasi. Ia mengguncang keyakinan dunia bahwa penjajah Israel tak terkalahkan. Ia menunjukkan bahwa blokade, propaganda, dan mesin politik Amerika tak mampu membungkam perjuangan bangsa kecil yang bersandar pada Tuhannya. Inilah kemenangan moral yang tak dapat diukur dengan statistik atau senjata. Sebuah kemenangan yang mengubah cara dunia memandang Palestina.

Kapal Sumud yang berani menembus blokade menjadi simbol bahwa keberanian sipil bisa mematahkan keangkuhan politik. Sementara rakyat Gaza, dengan segala luka dan penderitaannya, terus menjadi penjaga kehormatan umat. Seperti yang disampaikan Ketua MUI, Prof Sudarnoto Abdul Hakim, “Kita harus berterima kasih kepada rakyat Palestina yang terus menjaga tanah-tanahnya, dengan izin Allah dan pengorbanan yang luar biasa.”
Kini, arah kemenangan semakin nyata di depan mata. Tetapi, seperti diingatkan oleh Dr. Hidayat Nur Wahid, kemenangan ini tak boleh dirampok oleh kepentingan politik dunia yang dibungkus dalam proposal palsu “perdamaian” ala Amerika. Proposal yang berpura-pura membawa solusi, padahal sejatinya berupaya mematikan semangat perlawanan dan meneguhkan kembali dominasi Israel atas tanah yang bukan miliknya. Palestina tidak membutuhkan perdamaian semu yang meniadakan keadilan, tidak butuh kompromi yang menukar kemerdekaan dengan ilusi stabilitas.
Masa depan Palestina hanya boleh diputuskan oleh rakyat Palestina sendiri — oleh mereka yang berjuang, berkorban, dan menumpahkan darah di tanah suci itu. Tidak oleh kekuatan asing, tidak oleh kepentingan politik global. Sebab, kemerdekaan yang sejati lahir dari tangan-tangan yang setia menjaga kehormatan bangsanya, bukan dari meja perundingan yang disetir penjajah.
Membaca momentum dua tahun Thufan Al-Aqsha tidak sebatas sekadar peringatan. Ia adalah panggilan untuk memertegas posisi kita sebagai umat yang berpihak kepada kebenaran, menolak penindasan dalam bentuk apa pun, dan tidak mudah terbuai oleh narasi “normalisasi” yang sejatinya hanya memerpanjang penjajahan. Dunia boleh berubah, tetapi arah sejarah sudah jelas: Palestina akan merdeka.
Dan ketika saat itu tiba, dunia akan mencatat — bahwa kebangkitan nurani manusia dimulai dari Gaza, dua tahun setelah badai itu meletus.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!