Aqsa Working Group (AWG) bersama STAI Al-Fatah dan komunitas Maemuna Center Indonesia menggelar acara bedah buku dan talk show di Aula PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (13/11/2025). Mengusung tema "Peace for Gaza, Cahaya Dunia, Asa Bersama untuk Palestina", ada dua buku yang dibedah yaitu “Memetakan Kembali Baitul Maqdis: Yerussalem Islam dalam Perspektif Geografis, Teologis, dan Historis” karya Dr. Khalid El Awaisi dan “Sejarah Ringkas Penjajahan Israel atas Palestina” karya Ilan Pappe.
Di saat sama, di luar aula digelar pameran Palestina. Pameran tersebut memajang berbagai koleksi di antaranya lukisan, infografis, miniatur Al-Aqsa, serta simulasi keadaan di Gaza melalui teknologi Virtual Reality. Semua kegiatan itu merupakan bagian dari peringatan Bulan Solidaritas Palestina (BSP). Rangkaian acaranya diadakan 3 hari berturut-turut, tanggal 13-15 November 2025. Beberapa tahun terakhir, BSP rutin diselenggarakan setiap tahun.
Bedah buku yang diselenggarakan di Hari pertama BSP 2025 pada Kamis (13/11/2025) merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan literasi masyarakat Indonesia, khususnya tentang Al-Aqsa dan Palestina. Upaya ini sangat diperlukan, agar generasi muda Indonesia lebih aware terhadap masalah yang terjadi di Palestina saat ini. Kegiatan dibuka dengan sambutan dari Nur Hadis (Ketua BSP 2025); Dr. Ahed Abu Al Atta (Pimpinan YPSP); Rifa Berliana Arifin, Lc, MH (Presidium AWG); dan Ahrul Tsani Fathurahman (Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri RI).
Di dalam sambutannya, Ahed Abu Al Atta menguraikan beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk membebaskan Baitul Maqdis. Pertama, kita harus mengucilkan penjajah Israel dalam hal apa pun. Boikot segala hal yang terkait mereka, perlakukan cancel culture bagi mereka, dan tidak melakukan kerja sama apa pun dengan mereka. Kedua, tanamkan dalam kepala kita bahwa genosida di Gaza saat ini belum berakhir. Maka, kita harus memperbanyak dan memperkuat segala usaha kita dalam membela Masjidil Aqsa, dengan spreading awareness, membuka mata orang lain, mengedukasi, dan menggelar acara-acara untuk Palestina semisal bedah buku. Ketiga, kita harus mengambil peran besar dalam rekonstruksi Gaza. Sebab, ketika kita merekonstruksi Gaza, kita bukan hanya mengembalikan bangunan-bangunan yang ada di sana, tetapi juga mengembalikan kekuatan mereka, memberikan mereka “pundak” untuk bersandar, dan memberi ruh semangat juang untuk terus kuat bertahan di tanah air mereka.
“Thufanul Aqsa bisa menjadi investasi kita untuk ke depannya kita bisa terus mengekspos kejahatan-kejahatan dan genosida yang dilakukan zionis Israel terhadap Palestina," ucapnya.

Ia pun mendorong para sastrawan, seniman, pemikir, dan akademisi, agar terus berkarya dan menulis buku tentang bangsa Palestina, sebagai salah satu bentuk perjuangan untuk kemerdekaan Palestina dan Masjidil Aqsa. “Teruslah menulis, teruslah berkarya, sampai Masjidil Aqsa Allah bebaskan!” serunya.
Acara lantas berlanjut pada agenda utama, yaitu bedah buku. Tampil sebagai pembedah adalah Faturrahman (Kabid Legal dan Advokasi AWG Pusat); Ali Farkhan Tsani (Duta Al Quds Internasional); dan Ayu Alfiah Jonas (penulis dan editor). Moderatornya Muhammad Waliyullah (Koordinator Penerbit AWG Pusat).
Faturrahman menjelaskan, buku “Memetakan Ulang Baitul Maqdis” karya Dr. Khalid El Awaisi sebenarnya diterbitkan pertama kali tahun 2007 dengan judul “Mapping Islamic Yerussalem”. Tetapi saat diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dan diterbitkan kembali oleh Aqsa Working Group (AWG), digunakan diksi “Memetakan Kembali”, dan judul barunya adalah “Memetakan Kembali Baitul Maqdis: Yerussalem Islam dalam Perspektif Geografis, Teologis, dan Historis”. Sebab, isi bukunya tak hanya bicara tentang fakta Baitul Maqdis secara geografis, tetapi juga membahas landasan teologis dan historisnya juga.
Menurut Fathurrahman, Prof. Khalid selaku penulis buku mengatakan, sebutan “Yerussalem Islam” merupakan istilah untuk Baitul Maqdis yang dipakai dalam literasi atau tata baca di kalangan pembaca Eropa. Di dalam buku ini, ia mengajak kita untuk terus menumbuhkan kesadaran, bahwa dalam perspektif apa pun, Baitul Maqdis merupakan warisan mutlak milik kaum muslimin yang harus diperjuangkan kemerdekaan dan kebebasannya.
Buku selanjutnya, “Sejarah Ringkas Penjajahan Israel atas Palestina” karya Ilan Pappe, dibedah oleh Ayu Alfiah Jonas. Ia menjelaskan, buku itu sengaja ditulis dengan format ringkas dan ringan, agar bisa menjadi pintu masuk yang mudah bagi generasi muda, khususnya Gen Z, untuk memahami sejarah panjang Palestina. Bentuk bukunya kecil, praktis, mudah dibawa, dan warna sampulnya cerah, didesain sedemikian rupa agar terasa dekat dengan anak muda dan tidak membosankan seperti buku sejarah pada umumnya.

Menurut Ayu, setidaknya ada tiga hal yang membuat mereka merasa perlu menghadirkan buku itu sekarang. Pertama, semakin banyak anak muda yang mulai longgar dalam gerakan boikot. Kedua, masih kuatnya fenomena fandom — terutama di ranah K-pop — di mana sebagian penggemar tetap mendukung idolanya yang menjadi brand ambassador merek-merek yang terafiliasi dengan Zionis. Ketiga, Gen Z kerap memakai banyak produk kosmetik sehari-hari, tanpa sadar bahwa merek-merek tersebut memiliki hubungan langsung dengan perusahaan yang mendukung penjajahan Israel. Padahal, tersedia banyak alternatif lain yang aman, berkualitas, dan tak punya afiliasi problematis.
Di dalam buku tersebut, beberapa kali Ilan Pappe menegaskan, “Jika ingin ada secercah harapan untuk perdamaian dan keadilan di Palestina, kita harus mengingat konteks sejarah utama”. Menurut Ayu, inilah kunci memahami konflik, bahwa kepedulian tidak cukup jika tak disertai wawasan, dan upaya advokasi tidak kuat tanpa fondasi sejarah yang benar. Dengan kehadiran buku ini, Ayu berharap generasi muda Indonesia bisa semakin melek sejarah, lebih selektif dalam bersikap, dan konsisten ada di garis perjuangan kemanusiaan untuk Palestina.
Kegiatan bedah buku maupun talk show berkaitan dengan Palestina juga merupakan upaya untuk memenangkan diri kita dari perang pemikiran yang terjadi di dunia saat ini. Sebab, perang pemikiran jauh lebih berbahaya dibandingkan perang fisik. Apalagi saat ini, narasi yang mendominasi masyarakat di media sosial justru adalah narasi-narasi milik zionis yang memelintir fakta-fakta tentang Palestina, dan menyebarkan berbagai propaganda yang bisa memecah belah umat Islam. Maka, kita perlu mengedukasi diri dengan lebih banyak belajar dan meningkatkan literasi. Tak sekadar mengedepankan emosi. Lebih banyak mencari ilmu dan memelajari sejarah, agar perjuangan kita untuk Masjidil Aqsa bisa lebih berdampak.
"Semoga BSP ini bisa menjadi inspirasi agar gerakan literasi Palestina terus hidup di sekolah, kampus, komunitas, dan ruang publik Indonesia yang berkomitmen sesuai amanat konstitusi untuk membantu (kemerdekaan) Palestina,” tutup Ketua BSP 2025, Nur Hadis.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!

