Senang sekali saya menerima paket buku yang dikirim abangda M. Natsir Zubaidi, jurnalis dan aktivis senior organisasi Islam yang sangat familiar di kalangan muda. Salah satu isinya adalah buku berjudul “Memaknai Islam Indonesia” yang terbit tahun 2012 namun isinya masih up to date dan menarik. Salah satu sub judul yang menggelitik saya adalah “Arus Pemikiran Islam” (halaman 3 - 7). Dan sebagai wujud apresiasi atas buku karyanya, saya elaborasi isinya yang jeli itu menjadi artikel pendek, sebagai berikut:
Bang Natsir menuliskan, Paris telah menjadi panggung utama dalam sejarah pemikiran Islam modern, dan tampaknya ini adalah takdir yang telah digariskan. Kota yang identik dengan kebudayaan dan pemikiran Barat itu ternyata juga menjadi tempat di mana cendekiawan-cendekiawan Islam memulai debut mereka dalam menghidupkan kembali semangat keislaman di dunia modern. Arus pemikiran Islam, yang kelak menyebar ke berbagai penjuru dunia, banyak dimulai dari Paris.
Sejak abad ke-19, tokoh-tokoh besar semisal Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh, dua cendekiawan Islam yang dikenal dengan pemikiran pembaharuan mereka, memanfaatkan Paris sebagai platform untuk menyebarkan gagasan-gagasan mereka. Salah satu bentuk kontribusi nyata mereka terhadap kebangkitan Islam adalah melalui pendirian majalah mingguan “Al 'Urwatul Wutsqa”. Sebuah majalah yang menampung pemikiran Islam modern.
Majalah ini menjadi suara yang nyaring dalam mengadvokasi kebangkitan Islam di tengah dunia yang sedang dijajah oleh kekuatan kolonial Barat. Pendirian majalah tersebut menandai awal sebuah gerakan intelektual yang kemudian menginspirasi tokoh-tokoh besar lainnya, semisal Muhammad Iqbal dari Pakistan, Ali Syariati dari Iran, Malik bin Nabi dari Aljazair, dan Bani Sadr dari Iran.
Para tokoh itu, meski pun berasal dari latar belakang negara yang berbeda-beda, memiliki semangat yang sama untuk memperjuangkan ide-ide pembaharuan dalam Islam. Pemikiran-pemikiran mereka berpusat pada pengembangan peradaban Islam yang berakar kuat pada ajaran-ajaran agama, namun terbuka terhadap kemajuan dan modernitas.
Majalah “Al 'Urwatul Wutsqa” tidak hanya menarik perhatian di Paris, tetapi juga meluas ke berbagai negara Islam lainnya, semisal Mesir, Iran, Afghanistan, Turki, India, bahkan London dan Eropa. Dari Paris, pemikiran Islam merambat ke seluruh penjuru dunia, menunjukkan bahwa meski pun Islam mengalami masa kemunduran di berbagai belahan dunia, semangat untuk membangkitkannya kembali tetap berkobar.
Mengapa Paris menjadi pilihan awal bagi Jamaluddin Al Afghani untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran Islamnya? Jawabannya terletak pada situasi politik dan sosial di Eropa pada waktu itu. Paris dikenal sebagai pusat demokrasi dan kebebasan, dua nilai yang sangat dihargai dalam peradaban modern.
Al Afghani melihat bahwa Paris, dengan segala kebebasan yang ditawarkannya, adalah tempat yang tepat untuk menyebarkan gagasan tentang kebangkitan Islam, yang saat itu sedang terjajah dan terpuruk. Paris memberikan ruang yang lebih bebas dibandingkan negara-negara lain, terutama Inggris, yang pada saat itu masih memiliki pengaruh kolonial yang kuat.
Al Afghani, dalam pengasingannya, sering berkorespondensi dengan muridnya, Muhammad Abduh, yang tinggal di Beirut. Keduanya bertemu kembali di Paris, dan dari pertemuan itu lahirlah ide untuk mendirikan majalah “Al 'Urwatul Wutsqa”.
Nama majalah ini diambil dari ayat Al Qur’an yang berbunyi, “Maka siapa yang menolak berhala dan beriman kepada Allah semata maka dia telah berpegang teguh kepada tali yang kokoh, dan tidak akan tergelincir” – QS. Al-Baqarah:256, serta “Maka siapa yang mengarahkan wajahnya hanya kepada Allah semata dan berbuat kebaikan maka dia telah berpegang teguh kepada tali yang kokoh” – QS. Luqman:22
Nama tersebut mencerminkan visi mereka tentang kebangkitan Islam yang kokoh dan tidak tergoyahkan oleh tekanan-tekanan eksternal. Al Afghani dan Abduh memahami bahwa Islam bukanlah agama yang statis, melainkan agama yang terus hidup dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Di dalam pandangan mereka, Islam harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan tanpa kehilangan esensinya sebagai agama yang mengajarkan tauhid dan kebaikan.
Dari Paris, pemikiran ini merambah hingga ke Indonesia. Tokoh-tokoh intelektual Indonesia, semisal Dr. Rasjidi dan Prof. Osman Ralibi, juga terinspirasi oleh semangat pembaruan yang dipelopori oleh Al Afghani dan Abduh. Mereka melihat bahwa Islam di Indonesia, sebagai mayoritas, harus mampu menjadi pilar utama dalam pembangunan bangsa, tidak hanya dalam aspek keagamaan, tetapi juga dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik.
Dengan demikian, perjalanan pemikiran Islam yang dimulai dari Paris tidak hanya memberikan pengaruh di Eropa dan Timur Tengah, tetapi juga sampai ke Nusantara. Indonesia, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, memiliki peran penting dalam meneruskan dan mengembangkan gagasan-gagasan pembaharuan Islam ini.
Dari sini, kita dapat memaknai bahwa Islam di Indonesia, meski pun berada jauh dari pusat peradaban Islam seperti Timur Tengah, tetap memiliki hubungan yang erat dengan arus besar pemikiran Islam global yang berawal dari Paris. Pada akhirnya, Paris menjadi simbol dari sebuah gerakan pembaharuan Islam yang tidak hanya berhenti pada ranah intelektual, tetapi juga membawa perubahan sosial yang nyata di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Pemikiran-pemikiran yang dimulai dari kota itu masih relevan hingga saat ini, ketika dunia Islam terus berupaya mencari jalan terbaik untuk menghadapi tantangan modernitas tanpa kehilangan identitasnya.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!