Kebersihan tampaknya semakin menjadi barang langka dan mahal di zaman modern ini. Udara, sungai, maupun daratan, kelihatan kian sumpek dijejali aneka jenis sampah dan kotoran yang mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup. Asap yang dimuntahkan knalpot kendaraan bermotor maupun cerobong pabrik telah mengubah udara bersih menjadi racun yang siap merenggut nyawa.
Mexico City dan San Diego adalah contoh nyata. Suasana pagi dan siang hari di kedua kota itu nyaris seperti senja, lantaran tertutupnya cahaya matahari dan langit putih bersih oleh asap polusi. Nasib serupa tampaknya segera terjadi pada kota-kota besar lainnya di dunia.
Di sisi lain, air bersih juga semakin sulit didapat. Pencemaran air tanah maupun sungai oleh limbah industri membuat persediaan air bersih yang layak minum semakin berkurang. Kondisi ini semakin menjadi-jadi, seiring dengan pemanasan global yang tampak kian meluas.
Celakanya, yang paling menderita akibat tercemarnya lingkungan (tanah, air, udara) ini adalah masyarakat kelas bawah yang merupakan mayoritas penduduk. Ketidakberdayaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, membuat mereka harus pasrah sebagai kelompok pelengkap penderita, yang siap menerima getah dari perbuatan pihak lain. Padahal, sumber terbesar pencemar lingkungan dan pemanasan global itu adalah mereka yang tergolong kelompok “the haves”, melalui pabrik-pabrik, kendaraan bermotor, maupun mesin pendingin ruangan (AC). Sungguh suatu kondisi kontras yang jelas menggambarkan ketidakadilan.
Namun, sebenarnya ada pencemaran lain yang justru sering diabaikan. Itulah pencemaran hati nurani, yang ironisnya banyak melanda kalangan pemimpin di dunia, khususnya di negara-negara dunia ketiga. Berbagai gejolak dan kesulitan hidup yang mendera penduduk berbagai negara bukanlah disebabkan kurangnya sumber daya alam dan manusia maupun lemahnya etos kerja dan keterampilan, namun lebih banyak karena kebijaksanaan para penguasa (politik, ekonomi, dan militer) yang salah kaprah dan lebih berorientasi pada pemenuhan hawa nafsu.
Baca juga: Mempertajam Keikhlasan
Dari sini muncullah kebocoran uang negara, korupsi besar-besaran dan struktural, maupun proyek mubadzir. Akibatnya, di satu pihak utang negara terus menggelembung sementara di pihak lain keadaan masyarakat tidak banyak berubah. Kalau toh ada perubahan dan peningkatan, amat tidak sebanding dengan jumlah dana yang telah dikeluarkan. Borok-borok ekonomi itu, pada gilirannya, akan melahirkan borok berikutnya dalam segi politik dan militer.
Sering kali terjadi, upaya yang muncul adalah untuk menutupi bukan menyembuhkan borok itu. Caranya bukan dengan instropeksi diri, malahan sebaliknya. Pembungkaman kebebasan berpendapat, pengerdilan hak asasi, dan tindakan-tindakan tidak demokratis lainnya, justru kerap jadi pilihan. Itulah yang terjadi di Filipina semasa Marcos, Thailand, Al Jazair (klimaksnya adalah pembunuhan Boudiaf), dan lain-lain.
Karena itu, membersihkan mentalitas para pelaksana negara semestinya mendahului program kebersihan kota. Seiring dengan itu, penghargaan kepada mereka yang bermental bersih itu selayaknya pula lebih tinggi dan monumental. Sehingga, pada akhirnya semua orang, dari pejabat sampai rakyat biasa, berlomba-lomba menjadi manusia terbersih mentalnya. Sebab, apalah artinya kota yang bersih dan indah, jika manusia penghuninya bermental serigala, makhluk pemakan segala.
Program bersih mental itu pula yang dulu dijadikan awal langkah Umar bin Abdul Aziz ketika menjabat sebagai khalifah. Maka, hanya dalam waktu 2 tahun 5 bulan, Umar bin Abdul Aziz berhasil mengubah wajah khilafah Umayyah yang semula coreng-moreng dengan korupsi dan manipulasi, menjadi pemerintahan yang bersih, berwibawa, adil, dan makmur. (Lihat SBI Sabili No 21/Th. IV 1-5 Juli 1992)
Dan bukankah sebagai muslim kita pernah membaca ayat Allah yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang suka bertaubat (instropeksi diri) dan membersihkan diri”? Dan alat pembersih yang paling ampuh itu tak lain kecuali zikrullah dan tadabbur Al Qur’an. Ingatlah, bersih itu indah!
Penulis: Muhammad Ishaq (Artikel ini disadur dari Majalah Sabili No. 22/Th. IV 15-31 Juli 1992)
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!