Bolehkah Membayarkan Zakat kepada Pria Miskin Sementara Istrinya Berpenghasilan Cukup?

Tanya:

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Ustadz, apakah boleh kita membayarkan zakat kepada warga yang kita tahu bahwa dia berkesusahan karena sudah tua atau sakit-sakitan sehingga tidak lagi berpenghasilan, sementara istrinya masih bekerja dan punya penghasilan?

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

 

-- Jamaah Masjid Ar-Rahmah, Perumnas 3 Bekasi Timur.

 

Jawab:

Wa‘alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh.

Zakat boleh diberikan kepada siapa saja yang termasuk mustahiq semisal miskin dan tidak dalam tanggungan orang kaya. Ukuran seseorang itu termasuk miskin adalah jika ia tidak mampu menghidupi diri dan tanggungan wajibnya, atau mengalami kekurangan dari standar biaya minimum untuk memenuhi hal itu. Misalnya, kebutuhan minimumnya 80 tetapi dia cuma punya 70, berarti dia masih termasuk miskin.

Di dalam fikih, telah terjadi perbedaan pendapat tentang apakah seorang istri membayarkan zakat kepada suaminya yang miskin. Madzhab Syafi’i dan Hanbali serta Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan di kalangan Hanafi membolehkan.

Dasarnya adalah hadits istri Ibnu Mas’ud yang terkenal dan dibolehkan oleh Rasulullah ﷺ untuk memberikan uang sedekahnya kepada suaminya.

Dapat Emas Melebihi Nishab Berkali-Kali, Kapankah Haul Zakatnya?
Ada perbedaan pendapat para ulama tentang bagaimana cara menghitung haul maal mustafad atau harta yang baru didapat dan bukan hasil dari harta sebelumnya. Maal mustafad artinya harta yang didapat dari yang sebelumnya tidak ada.

Alasan bolehnya istri membayar zakat kepada suami adalah karena dia tidak terkena kewajiban nafkah untuk suami, berbeda dengan suami yang wajib menafkahi istri. Sehingga, tidak sah suami membayar zakat kepada istrinya karena itu sama saja dengan membayar zakat untuk dirinya sendiri alias mengurangi beban kewajiban harta. Sedangkan istri tidak ada kewajiban memberi nafkah suami meski dia kaya dan mampu. Sehingga, zakat istri kepada suami sama dengan zakatnya kepada orang lain yang bukan kewajibannya memberi nafkah.

Jika berkaca dari pendapat mayoritas ulama ini, maka tidak ada masalah membayarkan zakat kepada seorang pria yang mustahiq tanpa melihat penghasilan istrinya. Bahkan di kalangan yang menolak istri memberi zakat kepada suami pun ini akan diterima, karena semua sepakat bahwa harta istri bukanlah milik suami, sehingga kalau istrinya kaya atau punya penghasilan tidaklah mengubah status ekonomi suami.

Lalu, kalau kita melakukan metode nazha`ir (mencari kasus pembanding) sebagai yurisprudensi hukum, maka kita akan dapati para ulama membolehkan wanita yang bersuami kaya tetapi suaminya menelantarkannya, maka dia berhak menerima zakat. Padahal, di sini sudah jelas ada yang berkewajiban menafkahi, tetapi karena kebutuhan maka dia boleh diberi. Apalagi kalau untuk orang yang memang tidak wajib dinafkahi, tentu lebih layak untuk diberi.

Kesimpulannya, boleh memberikan zakat kepada pria yang dianggap mustahiq, baik karena miskin, gharimin, atau lainnya, tanpa memandang apakah istrinya bekerja atau berpenghasilan cukup. Sebab, tidak ada kewajiban istrinya memberi nafkah kepadanya.

Zakat Ikan dan Hasil Laut
Apakah hasil laut wajib dizakati? Ikan hasil tangkapan nelayan atau perusahaan besar dari laut maupun sungai atau danau tidak wajib dizakati berdasarkan kesepakatan para ulama, kecuali pendapat Umar bin Abdul Aziz, tetapi tidak ada ulama fikih setelah Umar yang mendukungnya.

Referensi:

1. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (cetakan Dar Hajr, jilid 4 halaman 123-124):

فَصْلٌ : وَإِذَا كَانَ لِلْمَرْأَةِ الْفَقِيرَةِ زَوْجٌ مُوسِرٌ يُنْفِقُ عَلَيْهَا ، لَمْ يَجُزْ دَفْعُ الزَّكَاةِ إلَيْهَا ؛ لِأَنَّ الْكِفَايَةَ حَاصِلَةٌ لَهَا بِمَا يَصِلُهَا مِنْ نَفَقَتِهَا الْوَاجِبَةِ ، فَأَشْبَهَتْ  مَنْ لَهُ عَقَارٌ يَسْتَغْنِي بِأُجْرَتِهِ .

وَإِنْ لَمْ يُنْفِقْ عَلَيْهَا ، وَتَعَذَّرَ ذَلِكَ ، جَازَ الدَّفْعُ إلَيْهَا ، كَمَا لَوْ تَعَطَّلَتْ مَنْفَعَةُ الْعَقَارِ . وَقَدْ نَصَّ أَحْمَدُ عَلَى هَذَا .

“Pasal: Jika wanita yang faqir punya suami yang mampu dan memberikan nafkah maka tak boleh diberikan zakat kepadanya, karena kehidupannya sudah tercukupi berupa nafkah wajib. Itu sama dengan orang yang punya rumah sewaan dan biaya sewa itu mencukupi kebutuhannya.

Kalau suaminya ini tidak menafkahinya dan punya uzur untuk itu, maka boleh membayarkan zakat kepadanya, sama halnya kalau orang punya rumah sewaan tetapi tak bisa memanfaatkannya. Ini sudah ditegaskan oleh Imam Ahmad."

 

2. Hasyiyah Sulaiman Al-Jamal terhadap kitab Manhaj Ath-Thullab 4/98:

فَخَرَجَ بِهَا النَّفَقَةُ الْمُتَبَرَّعُ بِهَا عَلَى غَيْرِ الْأَصْلِ، وَالْفَرْعِ فَلَا تَمْنَعُ الْفَقْرَ، وَالْمَسْكَنَةَ

“Maka tidak termasuk nafkah sukarela (bukan kewajiban) selain leluhur atau keturunan (ayah dan anak) maka itu tidak menghapus kefakiran atau kemiskinan.”

Maksudnya, kalaupun dia dapat nafkah dari orang lain yang sebenarnya tidak wajib menafkahinya, hanya karena sukarela semata tetapi bukan diwajibkan syariat, maka dia tetap boleh menerima zakat.

Selanjutnya Al-Jamal mengatakan:

فَلَوْ امْتَنَعَ مِنْ دَفْعِهَا لَهُ وَكَانَ لَا يَلِيقُ رَفْعُهُ لِلْحَاكِمِ عَادَةً كَانَ لَهُ الْأَخْذُ مِنْ الزَّكَاةِ

Kalau orang yang wajib menafkahi ini tidak mau menafkahi dan tidak layak kasusnya diperkarakan di pengadilan secara normal maka dia berhak menerima zakat.

------

Dijawab oleh Ustadz Anshari Taslim, Lc (Mudir Pesantren Bina Insan Kamil, DKI Jakarta).

Bagi pembaca setia Sabili.id yang ingin mengajukan pertanyaan seputar kaidah hukum Islam, silakan mengirimkan pertanyaannya ke meja redaksi kami melalui email: redaktursabili@gmail.com