Tanya:
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Mau tanya, ustadz. Ada dua pertanyaan, yaitu:
1. Kalau kita punya emas murni 400 gram yang mengendap 1 tahun di Maret ini, apakah berarti sudah masuk zakatnya?
2. Lalu kalau kita punya tambahan lagi 200 gram emas (di bulan Juni tahun sama), yang dizakatkan itu apakah yang 400 kg atau akumulasi menjadi 600 gram?
Terima kasih.
Kardiani, Jakarta.
Jawab:
Wa'alaikum salam wa rahmatullah wa barakatuh.
Di dalam ilmu fikih, masalah ini dikenal dengan maal mustafaad. Artinya, harta yang didapat dari yang sebelumnya tidak ada.
Untuk kasus yang ditanyakan, ada perbedaan pendapat para ulama tentang bagaimana cara menghitung haul maal mustafad atau harta yang baru didapat dan bukan hasil dari harta sebelumnya.
Kami memilih pendapat madzhab Hanafi, yaitu harta yang baru didapat baik sampai nishab maupun belum, langsung digabung dengan harta sebelumnya yang sudah sampai nishab lalu dizakatkan pada haul harta yang pertama. Maka, untuk pertanyaan di atas, emas yang baru dibeli di bulan Juni sebanyak 200 gram itu langsung digabung dengan emas yang dibeli di bulan Maret, sehingga akumulasi 600 gram dan dizakati pada haul yang pertama yaitu bulan Maret atau mundur 11 hari karena perhitungan zakat berdasarkan bulan hijriyyah bukan masehi.

Alasan memilih madzhab Hanafi adalah karena paling mudah dilakukan oleh muzakki dan tidak mengurangi hak mustahik. Kalau memakai madzhab jumhur ulama di mana masing-masing maal mustafad dihitung haul sendiri-sendiri, maka akan sangat merepotkan karena bisa jadi dengan jenis harta yang sama (dalam hal ini uang atau emas) orang punya beberapa haul dalam setahun dan dia harus memerhatikan pengurangan dan penambahannya, apakah tetap bertahan atau malah berkurang dari nishab dalam pertengahan haul.
Selain itu, dalam teori asybah wan nazha`ir madzhab Hanafi lebih konsisten dan sesuai dengan qiyas. Sebagaimana diketahui, para ulama sepakat bahwa maal mustafad dengan jenis yang sama (misalnya sama-sama dalam bentuk uang) yang merupakan hasil dari harta sebelumnya maka nishab dan haulnya digabung dengan harta induk. Maka, seharusnya bisa diqiyaskan dengan maal mustafad yang didapatkan bukan dari hasil harta sebelumnya untuk digabung. Toh sama-sama menjadi milik satu orang dan menjadi harta kekayaannya.
Referensi:
- Al-Binayah syarh Al-Hidayah karya Badruddin Al-Aini jilid 3 halaman 353:
Cara menzakati maal mustafad
Al-Quduri mengatakan, “Siapa yang punya nishab lalu di tengah haul dia mendapatkan harta sejenis maka digabung.”
Maksudnya, harta yang baru didapatkan itu langsung digabung dengan harta sebelumnya yang telah sampai nishab dan dizakati sekalian, yaitu harta yang baru didapat (maal mustafad).
2. Fatawa Dar Ifta Mesir oleh Syekh Jadul Haq jilid 3 halaman 82:
“Berdasarkan pendapat madzhab Imam Abu Hanifah tentang mal mustafad sama jenis dengan nishab maka itulah yang berlaku pada hasil penyewaan rumah dan Gedung. Caranya, gabungkan hasil bersih dengan uang yang telah ada sebelumnya yang telah sampai nishab itu serta dizakati bersama. Ini berdasarkan kaidah talfiq dalam hukum atau memilih salah satu pendapat salah satu madzhab dalam ibadah maupun lainnya. Cara seperti ini telah direstui oleh pengikut jumhur ulama fikih dan usul fikih.”
Dijawab oleh Ustadz Anshari Taslim, Lc / Mudir Pesantren Bina Insan Kamil - DKI Jakarta
Bagi pembaca setia Sabili.id yang ingin mengajukan pertanyaan seputar kaidah hukum Islam, silakan mengirimkan pertanyaannya ke meja redaksi kami melalui e-mail: [email protected]

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!