Shalat Jumat baru selesai dilaksanakan di masjid Nabawi. Tetapi khatibnya kembali naik ke mimbar. Ternyata, ia menyeru kaum muslimin untuk pergi berjihad, menyebarkan panji-panji Islam ke berbagai penjuru dunia. Setelah khatib itu turun, tampak seorang lelaki bergegas pulang. Agaknya, anjuran khatib tadi membekaskan sesuatu di dalam hatinya.
“Kepada siapa engkau tinggalkan aku, juga janin yang ada di perut ini?” tanya istrinya setelah mendengar rencana suaminya untuk keluar berjihad. Suasana hening sejenak. “Bukankah engkau ini orang asing di Madinah ini? Tidak punya keluarga, tidak punya sanak dan saudara?” sambung istrinya.
"Aku titipkan engkau kepada Allah," jawab lelaki itu tenang. Lalu melanjutkan, "Bersama ini pula aku tinggalkan tiga puluh ribu dinar, yang aku peroleh selama ikut berjihad. Simpan dan pergunakan seperlunya, sampai aku kembali dengan selamat, atau Allah berkenan mematikan aku di jalan- Nya."
Lelaki itu adalah Farrukh, pejuang Islam yang berani. Dulu, ia seorang budak milik panglima Islam, Rabi bin Ziyad Alharitsi, gubernur Khurasan. Pada tahun 51 hijriyah, ia ikut membuka wilayah Sijistan dan menyeberangi sungai Jaihun. Di saat itulah ia dimerdekakan, sebagai hadiah atas kesertaannya dalam jihad.
Dan, hari itu, sesudah shalat jumat, saat usia pernikahannya belum genap satu tahun, Farrukh berangkat. Ia dilepas oleh istrinya tercinta, juga janin yang ia kandung.
Beberapa bulan kemudian, istri Farrukh melahirkan. la sangat bahagia, meski tanpa kehadiran suaminya. Anak itu diberi nama Rabi'ah. Sejak itu, seorang bayi yang bersih, dengan dua mata yang terang, menemaninya mengisi hari-hari yang sepi. Anak itu tumbuh berkembang, cerdas, baik tutur katanya, dan perilakunya menyenangkan. Ibunya menyerahkannya kepada seorang ulama. Tidak lama, Rabi'ah sudah pandai membaca dan menulis dan hafal Al Qur'an, la lantas mendalami sunnah Rasulullah, syair-syair Arab, juga berbagai perkara dalam syariat Islam. Istri Farrukh amat bahagia. Sebagai rasa terima kasih kepada pendidik anaknya, ia berikan uang sepantasnya dari peninggalan suaminya.
Tahun demi tahun berganti. Tetapi tidak ada kejelasan berita tentang Farrukh. Akhirnya, istri Farrukh meyakini bahwa suaminya telah gugur menghadap Allah swt.
Baca Juga : Mutiara Kehidupan Nabi Muhammad ﷺ
Sore itu, seorang pejuang Islam memasuki kota suci Rasulullah. Usianya sekitar enam puluh tahun. la adalah Farrukh. Dengan kudanya, ia bergegas mencari rumahnya. Tiga puluh tahun sudah ia meninggalkan istrinya. Hatinya penuh tanya. Masih adakah rumahnya? Apakah anaknya lahir dengan selamat? Laki-laki atau perempuan? Lalu bagaimana kondisi istrinya?
Tiba-tiba ia telah berada di depan sebuah rumah. Ia ingat betul bahwa itu adalah rumahnya. Rasa gembira membuat ia lupa untuk meminta izin sebelum masuk rumah.
Seorang laki-laki yang ada di dalam rumah itu, sangat terkejut melihat ada orang asing masuk. Apalagi dengan pedang terhunus. Tanpa berbicara apa-apa, ia segera menerjang. Dua orang lelaki bergumul. Keributan itu mengundang orang sekitar berdatangan. Farrukh terkepung. Segera pemilik rumah itu mencengkeramnya.
"Wahai musuh Allah! Mengapa engkau menyerbu rumah kami? Demi Allah, aku tidak akan melepaskanmu kecuali di hadapan Gubernur," kata laki-laki itu dengan geram.
Dengar terbata, Farrukh mencoba bicara, "Aku ini bukan musuh Allah. Aku tidak melakukan dosa dan kesalahan. Ini rumahku. Milikku. Kudapati pintunya terbuka, maka aku masuk."
Setelah itu ia menoleh kepada orang-orang yang mengerumuninya. Ia berseru, "Saudara-saudara, ini adalah rumahku, aku beli dengan uangku. Aku ini Farrukh. Tidak adakah di sini orang yang masih ingat denganku, Farrukh yang pergi sejak tiga puluh tahun lalu untuk berjihad?"
Tak lama, ibu Rabi'ah keluar. Di kegelapan malam itu, ia masih hafal bahwa lelaki itu adalah suaminya tercinta. Segera ditarik tangan anaknya.
"Lepaskan, lepaskan wahai anakku. la adalah ayahmu."
Kemudian ia memandang suaminya. "Ketahuilah, sesungguhnya lelaki ini adalah darah dagingmu," Katanya.
Seketika, Farrukh memeluk anaknya. Tidak lama kemudian, adzan isya berkumandang. Rabi’ah bergegas ke masjid, sedangkan Farrukh dan istrinya masuk ke rumah.
"Aku datang membawa empat ribu dinar. Tolong tambahkan kepada uang yang dulu aku tinggalkan untukmu," kata Farrukh.
Istri Farrukh diam saja.
"Coba, mana sisa uang yang aku tinggalkan dulu?”
"Uang itu aku letakkan di tempat yang semestinya. Beberapa hari lagi insya Allah akan aku keluarkan,"
Pembicaraan terputus. Adzan dari Masjid Nabawi telah selesai. Farrukh segera mengambil air wudhu.
“Mana Rabi'ah?"
"Sudah berangkat sejak tadi."
Baca Juga : Mentarbiyah Anak untuk Taat
Usai shalat, Farrukh ingin pulang. Tetapi pandangannya tersangkut dengan sebuah majelis Ilmu yang sangat besar di Masjid itu. Orang-orang berkerumun mengelilingi seorang laki-laki bersorban. Dari sikap mereka, tampak bahwa guru mereka amat berwibawa. Farrukh berusaha melihat, tetapi tidak berhasil. Dia coba mencari tahu ke orang di sebelahnya.
"Siapakah syaikh itu?"
"Apakah kamu bukan penduduk Madinah?”
"Aku penduduk Madinah."
"Mana ada penduduk Madinah yang tidak tahu siapa syaikh itu?"
"Maafkan aku, sudah lama aku meninggalkan Madinah. Baru saja aku kembali."
"la adalah salah satu pembesar Tabi'in. Ahli hadits dan ahli fiqh di sini, panutan kaum muslimin, meskipun usianya masih muda."
"Masya Allah."
"Seperti engkau lihat, di dalam majelisnya ada Malik ibnu Anas, Abu Hanifah, Yahya bin Sa'id Al-Anshari, Sufyan Atsauri, Al-Auza'i, Laits bin Sa'ad, dan lain sebagianya."
"Dari tadi engkau belum menyebutkan namanya."
"Namanya Rabi'aturra'yi."
"Rabi'ah?"
"Ya, namanya Rabi'ah. Tetapi penduduk Madinah menyebutnya Rabi'ah Arra'yi, Karena, kalau untuk menghukumi suatu perkara ia tidak menemukan dalil dalam Al Qur'an atau sunnah, ia berijtihad dan mengiaskan dengan hukum yang ada nashnya."
"Siapa orang tuanya?"
"Farrukh, sering dipanggil Abu Abdurrahman. Tak lama setelah ia pergi berjihad, lahirlah Rabi'ah. Ibunya merawatnya dengan baik."
Seketika Farrukh meninggalkan orang itu. Langkah kakinya dipercepat. Tidak kuasa ia membendung air matanya. la ingin segera menemui istrinya.
"Apa yang terjadi, wahai Abu Abdurrahman?" tanya istrinya.
"Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Hanya, aku melihat bagaimana anak kita telah sampai kepada derajat keilmuannya, kemuliaan dan kebesaran yang belum pernah aku lihat sebelumnya."
"Kalau begitu, mana yang lebih baik, tiga puluh ribu dinar yang engkau tinggalkan ataukah anakmu itu?"
"Demi Allah, anakku lebih baik bagiku, bahkan dari dunia semua.”
"Uang yang engkau tinggalkan dulu, telah aku infakkan untuk mendidik anakmu. Dan, engkau sendiri telah melihat hasilnya."
Farrukh mengusap air matanya. Kebahagian memenuhi isi hatinya. Di balik kebesaran seseorang, sering tersembunyi tangan-tangan yang membesarkannya, meski tak ada orang lain yang tahu. Dan, sejarah pun tidak pernah tahu siapa nama istri Farrukh itu.
Disadur dari Majalah Sabili Edisi No 13 TH. VI / 6 JANUARI 1999 / 18 RAMADHAN 1419 H
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!