Buya Hamka, Ulama Autodidak dengan Banyak Jejak

Buya Hamka, Ulama Autodidak dengan Banyak Jejak
Foto Buya Hamka / sabili.id

Tokoh kita kali ini adalah manusia besar dengan banyak jejak. Kita bisa mengenal beliau lewat jejak-jejak itu. Dari jejak sastra yang ia tinggalkan, mungkin kita akan menilai bahwa beliau adalah sosok yang melodramatis. Membaca karyanya di bidang sastra seakan mengajak kita untuk menguras air mata dan mengakrabi kesedihan.

Namun, di balik karya-karya melodramatis yang ia hasilkan itu, Anda juga akan melihat pendirian Buya Hamka seteguh karang. Apalagi jika kita cermati dari jejak politiknya. Hamka dengan mudah dan enteng meletakkan jabatan sebagai pejabat tinggi agama yang disandangnya, ketika pemerintahan Presiden Soekarno saat itu mengultimatum beliau untuk tetap menjadi Pegawai Negeri atau menjadi aktivis politik Partai Masyumi.

Demikian juga ketika ia menduduki jabatan terhormat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada masa Orde Baru. Beliau tak segan-segan untuk meletakkan jabatan tersebut pada tahun 1981, ketika peran keulamaan yang ia mainkan dengan baik, tak sejalan dengan logika kekuasaan pada saat itu. Itulah gambaran pribadinya. Lembut namun keras pendirian.

Pada jejak yang lain, kita dapati Hamka adalah sosok wartawan atau jurnalis yang sangat berbakat. Bukan sekadar piawai merangkai kata dalam bentuk tulisan, Hamka juga jatuh bangun dan pernah berjaya dengan menakhodai berbagai majalah yang terkenal pada masanya. Majalah terakhir yang kemudian identik dengan namanya adalah Panji Masyarakat.

Baca Juga : KH Wahid Hasyim, Kontributor Penting Perumusan Dasar Negara

Secara akademis, Hamka bukanlah lulusan universitas atau sekolah tinggi mana pun. Ia murni seorang autodidak dalam berbagai bidang kajian, seperti filsafat, sejarah, agama, sosiologi, dan politik. Namun karya dan pemikirannya mengundang penghormatan dari dunia akademis baik nasional maupun internasional. Hamka pun pernah mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar, Mesir, tahun 1958. Pada 1974, beliau kembali mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa. Kali ini dari Universitas Kebangsaan, Malaysia.

Karya akademisnya yang sangat monumental, yakni tafsir Al Azhar, serta berbagai buku lainnya, baik ilmiah maupun sastra, menempatkan sosok Hamka sebagai ilmuwan yang tidak diragukan lagi kebesarannya baik secara nasional maupun internasional. Bukan akademisi tetapi memiliki jejak dan karya dengan bobot akademis yang tinggi.

Hubungan diplomatik Indonesia dengan Malaysia juga tidak luput dari peran-perannya. Bahkan mantan Menteri Penerangan, Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia, Dato’ Seri Utama Dr Rais Yatim, menyebut Hamka sebagai perekat kebudayaan melayu di Indonesia dan Malaysia. Bukan diplomat, namun berjasa besar dalam diplomasi.

Anak Tokoh Pembaharu

Hamka sesungguhnya adalah akronim dari Haji Abdul Malik bin Karim Amrullah. Abdul Malik adalah nama yang disandang Hamka semenjak kecil, sementara Karim Amrullah adalah nama Ayah beliau. Karim Amrullah atau lengkapnya Syekh Abdul Karim bin Amrullah adalah seorang tokoh pembaharu di tanah Minang.

Ide-ide pembaharuan yang dibawa oleh Karim Amrullah sesungguhnya adalah gagasan pembaharuan yang saat itu sedang berkembang di kawasan Saudi Arabia. Di tahun 1906, Ayah Hamka itu pulang dari tanah suci Makkah. Selama beberapa tahun bermukim di tanah suci, ternyata Karim Amrullah tidak hanya sibuk beribadah. Beliau juga menimba pengetahuan agama seluas-luasnya. Persentuhannya dengan para ulama Makkah yang notabene adalah pusat pemikiran Islam ternyata sangat membekas dan mempengaruhi pemikiran Karim Amrullah.

Baca Juga : The Grand Old Man Haji Agus Salim

Ketika kembali ke tanah Minangkabau dan menjadi tokoh agama di sana, gagasan-gagasan pembaharuan yang diterimanya selama di Tanah Suci ia sebarkan kepada masyarakat luas. Karim Amrullah yang juga dikenal dengan julukan Haji Rasul itu kemudian menjadi ikon pembaharu di tanah Minang.

Dengan demikian, pemikiran Hamka sejak muda telah mendapatkan pengaruh pembaharuan dari Ayahnya. Tradisi keilmuan yang kritis tampaknya juga diwarisi Hamka dari sikap dan pendidikan yang diberikan oleh Haji Rasul kepadanya selama Hamka masih anak-anak.

Berpikir Terbuka

Gemblengan Sang ayah dan bekal kemahiran berbahasa arab yang dipelajari selama belajar di sekolah yang juga didirikan oleh Ayahnya, yakni Sumatera Thawalib, serta didukung minat baca dan kehausan akan ilmu yang tinggi, membuat Hamka banyak melahap berbagai ilmu dari kitab-kitab berbahasa Arab. Belum cukup dengan itu. Hamka pun rajin belajar kepada para tokoh pada masa itu, baik di Masjid, surau, maupun di rumah sang tokoh. Inilah yang membuat khazanah pemikiran Hamka menjulang tinggi, melampaui pemuda-pemuda lain seusia dirinya.

Dengan ilmu yang luas itu, sosok Hamka menjadi pribadi yang kental dengan celupan nilai-nilai agama namun tetap memiliki kelenturan tinggi dalam berhubungan dengan orang lain, baik yang sekeyakinan dengan dirinya maupun yang berbeda. Hamka terkenal sebagai sosok yang berpikir terbuka dan mampu menempatkan setiap perbedaan secara proporsional.

Ia kokoh memegang prinsip Islam, namun penuh penghormatan terhadap keyakinan lain. Di dalam urusan-urusan kebangsaan, Hamka tanpa ragu bahkan bahu-membahu dengan tokoh dari agama yang berbeda semacam Kardinal Justinus Darmoyuwono untuk menyehatkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka berdua menjadi tokoh yang memulai untuk bersikap kritis kepada Presiden Soeharto, ketika Sang Presiden menunjukkan sikap otoriter.

Di dalam perilaku Ibadah dan sikap keagamaan, Hamka yang tokoh Muhammadiyah itu ternyata juga sangat dicintai oleh kelompok lain. Hal ini terjadi karena Hamka berpikir terbuka dan dapat menempatkan setiap perbedaan. Ia bukan tokoh yang suka mengusung golonganisme. Sebaliknya, Hamka justru lebih tertarik untuk melihat masalah dan agenda-agenda kebangsaan-keumatan secara makro.

Bagi kalangan aktivis dakwah dan pendidik, membaca Hamka setidaknya harus menumbuhkan dua komitmen dasar yang penting kita jiwai, yakni sikap cinta ilmu dan semangat untuk menebarkan seluas mungkin ilmu yang telah didapat itu dengan berbagai media penyampaian. Lihatlah Hamka. Ia terus menimba ilmu. Tidak cukup dengan belajar secara formal, ia pun banyak membaca. Masih tidak cukup juga, ia pun rajin bertanya kepada para cerdik-pandai.

Lihat pula bagaimana cara Hamka menyampaikan ilmu. Ia mengajarkannya di kelas-kelas. Tidak puas dengan itu, forum ilmu ia perluas hingga ke masjid dan surau-surau. Masih terasa kurang luas pula sebaran ilmu itu, ia pun menulis melalui majalah dan buku-buku. Buku ilmiah masih terasa terbatas juga karena tidak semua orang suka bacaan serius, maka Hamka juga menulis novel, puisi, dan syair-syair. Hamka juga banyak meninggalkan jejak sebagai pendidik dan pembelajar sejati. Ia hidup untuk ilmu dan dakwah.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.