Fenomena buzzer – atau yang dikenal sebagai pendengung – di dunia digital, memiliki sejarah yang panjang sebelum menjadi bagian dari kehidupan politik di Indonesia. Awalnya, buzzer digunakan dalam konteks pemasaran untuk menyebarluaskan pesan dengan cepat melalui media sosial. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi dan media sosial, konsep ini diadopsi oleh berbagai negara, termasuk Indonesia, sebagai alat untuk memengaruhi opini publik dan mendukung kebijakan pemerintah.
Di Indonesia, penggunaan buzzer mulai mencuri perhatian ketika media sosial menjadi platform utama dalam komunikasi politik. Menurut beberapa ahli, termasuk Indonesianis, Marcus Mietzner, fenomena ini berkembang seiring dengan meningkatnya upaya politisi dan institusi pemerintah untuk membentuk opini publik. Buzzer digunakan secara strategis untuk mendukung kebijakan yang kontroversial, memobilisasi dukungan, dan mengendalikan narasi politik.
Peran buzzer dalam mendukung kebijakan pemerintah semakin menonjol ketika mereka digunakan sebagai instrumen kekuasaan. Sering kali hal itu dengan dukungan dari institusi kenegaraan.
Secara empiris, kehadiran buzzer di Indonesia telah memperlihatkan dampak signifikan terhadap kualitas demokrasi. Salah satu contohnya adalah penggunaan buzzer untuk meredam kritik terhadap kebijakan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) dan mempromosikan narasi pro-pemerintah di tengah gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat.
Indonesianis lainnya, Edward Aspinall, mencatat bahwa buzzer memainkan peran penting dalam mempertahankan status quo kekuasaan di era post-truth, di mana fakta sering kali dikesampingkan demi mendukung kepentingan politik tertentu. Ini sejalan dengan konsep post-truth yang diperkenalkan oleh Ralph Keyes, di mana emosi dan opini lebih mendominasi daripada fakta dalam pembentukan opini publik.
Dugaan kuat tentang penggunaan buzzer yang didanai oleh negara bukanlah rahasia. Beberapa laporan investigasi menunjukkan adanya dana publik yang digunakan untuk membiayai operasi buzzer. Baik secara langsung melalui institusi pemerintah, maupun melalui alokasi anggaran yang terselubung. Sumber otentik dari informasi ini dapat ditemukan dalam laporan investigatif media independen semisal Tempo dan Tirto, yang mengungkapkan bagaimana anggaran publik digunakan untuk kegiatan propaganda digital.
Fenomena buzzer juga tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara lain semisal Filipina, praktik serupa telah merusak demokrasi secara signifikan. Misalnya, selama pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte, buzzer dan troll digunakan secara ekstensif untuk memanipulasi opini publik, menyebarkan disinformasi, dan melemahkan lawan politik. Praktik itu merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi dan mengganggu proses politik yang seharusnya transparan dan adil.
Profesi buzzer juga dipandang secara etis sebagai sesuatu yang problematis. Menurut ahli etika digital semisal Shannon Vallor, tindakan buzzer yang menyebarkan disinformasi dan memanipulasi opini publik adalah tindakan yang melanggar prinsip-prinsip dasar etika. Profesi ini tidak hanya mencederai nilai-nilai kejujuran dan integritas, tetapi juga merusak fondasi dari diskursus publik yang sehat dan demokratis.
Di Indonesia, keberadaan buzzer membawa ancaman serius bagi demokrasi. Mereka merusak ruang publik yang sehat, mengganggu proses deliberasi yang seharusnya didasarkan pada fakta dan argumen rasional, serta menciptakan polarisasi di masyarakat. Oleh karena itu, fenomena ini harus digantikan oleh entitas resmi kenegaraan yang menjalankan tugas dan fungsinya dengan konstitusional dan profesional.
Lembaga-lembaga seperti Komisi Informasi Publik (KIP) dan Dewan Pers perlu diperkuat untuk memastikan bahwa ruang publik di Indonesia tetap sehat dan demokratis, serta bebas dari pengaruh buzzer yang merusak. Mengurangi peran buzzer bukanlah tugas yang mudah. Namun, langkah ini sangat penting untuk menjaga integritas demokrasi Indonesia.
Institusi negara harus bertindak dengan transparan dan akuntabel, memastikan bahwa mereka yang membentuk opini publik memiliki legitimasi dan tanggung jawab. Bukan sekadar menjadi alat yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!