Sejak awal diluncurkan, Makan Bergizi Gratis (MBG) digadang-gadang sebagai solusi stunting. Bahkan, program ini bukan sekadar proyek biasa — ia adalah salah satu program prioritas Presiden dan didorong habis-habisan agar menjadi warisan penting pemerintahan. Targetnya ambisius, yaitu puluhan juta anak di seluruh Indonesia mendapat asupan bergizi setiap hari.
Tetapi apa jadinya ketika program yang digembar-gemborkan ini justru membuat ribuan anak harus dilarikan ke puskesmas, bahkan dirawat di rumah sakit? Kenyataannya, data terbaru memertegas kekhawatiran itu. Per 2 Oktober 2025, total korban keracunan akibat MBG telah menembus lebih dari 6.400 anak di seluruh Indonesia. Angka ini menggambarkan skala masalah yang kian meluas. Bahkan, hampir setiap hari berita memrihatinkan memenuhi media sosial, yaitu kabar terbaru tentang anak-anak korban keracunan MBG.
Angka itu menuntut kita menoleh bahwa akar persoalan utamanya bukan pada “makanan basi” atau “kecelakaan logistik.” Namun pada tata kelola. Kita bicara tentang distribusi makanan untuk jutaan anak, setiap hari, di seluruh negeri. Apakah rantai pasok dan kebersihan dapur benar-benar diawasi? Apakah standar gizi dan SOP (Standard Operating Procedure) produksi MBG dijalankan dengan disiplin? Atau jangan-jangan proyek sebesar ini terlalu diburu-buru demi memenuhi target politik, sehingga aspek keselamatan anak menjadi dinomorduakan?
MBG sejatinya bisa menjadi program strategis untuk memerbaiki gizi anak bangsa. Tetapi, tanpa tata kelola yang benar, ia justru berubah menjadi ancaman kesehatan. Yang mendesak saat ini bukan hanya menyalurkan makanan, melainkan memastikan standar pengadaan, distribusi, dan pengawasan mutu berjalan ketat. Tanpa evaluasi menyeluruh, MBG akan terus mencatat korban baru di atas nama kebijakan publik.

Di tengah ribuan anak jatuh sakit, Presiden Prabowo Subianto justru menghibur publik dengan kalkulasi. Beliau mengatakan, jumlah kasus keracunan MBG hanya 0,0017 persen dari total penerima. Mungkin bagi pejabat publik, angka itu semacam noda kecil di atas kertas putih. Tetapi bagaimana mungkin keselamatan anak-anak dipandang lewat kacamata persentase? Di balik angka nol koma itu ada wajah pucat, tubuh lemah, dan tangisan orang tua di depan ruang IGD. Statistik mungkin membuat pejabat tidur nyenyak, tetapi bagi para korban, nol koma sekian persen itu adalah dunia yang ibarat runtuh menimpa mereka.
Dan di balik cara pandang dingin berbasis angka itu, kita dipertemukan dengan akar lain persoalan, tentang budaya birokrasi yang tumbuh dengan satu pola — patuh tanpa berpikir.
Di negeri ini, ungkapan seperti “Siap, Pak” atau “yes, sir” terdengar begitu biasa. Awalnya memang tanda hormat, tetapi lama-lama berubah menjadi tradisi: lebih aman ikut arus ketimbang ambil inisiatif. Budaya ini menular ke birokrasi — pejabat merasa cukup patuh, asal jangan mendahului atasan. Inisiatif dianggap risiko, kritik dianggap kurang ajar.
Keracunan massal MBG menyingkap wajah asli birokrasi kita. Semisal birokrasi yang jago bilang “Siap, komandan” tetapi gagap bertindak cepat mencari solusi. Bayangkan, sudah ribuan anak jatuh sakit, dan apa jawaban Kepala Badan Gizi Nasional? “Saya ikut arahan Presiden, tidak berani mendahului.”
Luar biasa! Apakah menunggu izin atasan itu lebih penting daripada menyelamatkan nyawa anak-anak? Kabar memilukan pun datang setiap hari dari negeri ini, dan fakta di lapangan sudah menjerit soal makanan basi beredar, dapur berantakan, ahli gizi dipinggirkan, sementara dapur program malah jadi panggung politisi.

Lebih jauh lagi, gambaran ini menunjukkan persoalan struktural yang bukan sekadar kelalaian teknis. Kita tidak bisa membaca kasus ini sekadar salah teknis. Bayangkan, target besar yang dipaksakan menjulang, tata kelola amburadul, pengawasan yang malas, plus kepentingan politik-ekonomi yang menempel di setiap piring nasi. Alih-alih program gizi anak, MBG lebih mirip proyek rente dengan bungkus “peduli generasi”.
Akibatnya, pola ini menimbulkan siklus kegagalan yang terus berulang. Dan selama budaya tunduk tanpa kritik ini terus dirawat, jangan harap ada perbaikan. Yang lahir bukan solusi, melainkan krisis berulang. Rakyat jadi korban, sementara pejabat dengan gagah berani tetap pada posisi favoritnya: menunggu perintah.
Karena itu, evaluasi menyeluruh menjadi keharusan sekarang juga.
MBG seharusnya menjadi program penyelamat generasi. Kita tentu sepakat bahwa stunting adalah masalah serius. Tetapi apakah program MBG masih layak diteruskan dengan pola seperti sekarang? Bukankah keselamatan anak-anak harus lebih diutamakan daripada ambisi politik atau target serapan anggaran?
Evaluasi total mutlak dilakukan. Bukan hanya pada penyedia katering, tetapi sampai ke akar, yaitu tata kelola BGN, pengawasan pemerintah daerah, bahkan keputusan politik yang memaksa program ini jalan serentak tanpa jeda untuk uji coba yang memadai.

Karena itu, pemerintah harus berani jujur pada rakyat. Menyoal MBG, jika memang belum mampu berjalan dengan baik, hentikan dulu sementara untuk dievaluasi total. Jangan menutup mata dengan statistik atau berlindung di balik persentase. Keselamatan anak-anak lebih penting daripada ambisi politik atau gengsi kekuasaan.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah bersabda: "Katakanlah kebenaran walau pun pahit.”
Berkata jujur memang menyakitkan, tetapi dari situlah lahir jalan perbaikan. Dan kebenaran itulah yang kini ditunggu rakyat dari pemerintah.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!