Penulis: Nidaul Jannah
"Mengapa engkau kelihatan gersang, ya Rasulullah?" tanya Bintu L, Hakim dengan kepekaannya yang tinggi sebagai wanita ketika ia berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Sungguh tepatlah pertanyaan wanita tersebut diajukan pada Rasulullah yang saat itu memang tengah mengalami kegersangan yang sangat dalam hatinya. Istri tercinta yang selama ini menjadi penawar, penyegar hatinya telah tiada, sehingga wajarlah kalau ketiadaannya tersebut membuat hati Rasulullah menjadi gersang.
Siti Khadijah radhiyallahuanha istri tercinta Rasulullah tersebut selama ini telah mampu memberikan sakinah, ketenangan, ketentraman (QS 30:21) dalam diri dan rumah tangga Rasulullah. Rumah seolah menjadi surga (baiti jannati) dengan keberadaan dan sentuhan-sentuhannya. Dengan ketenangan dan kesejukan itulah ia dapat menjadi peredam segala permasalahan dan kesulitan sehingga semua problematika dakwah yang dihadapi oleh Rasulullah di luar rumah seolah tiada atau akan mudah terselesaikan begitu ia memasuki rumahnya.
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. – Q.S Ar-Rum:21
Khadijah juga seorang penjaga rumah yang baik. Sehingga Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam tak pernah bimbang atau ragu untuk meninggalkan keluarganya guna keperluan dakwah atau jihad. Tarbiyatul Aulad (pendidikan anak-anak) berjalan dengan baik. Anak-anaknya semua berkualitas baik (Toyyib dan Tohir). Zainab, Rukayah, Ummu Kultsum, Fatimah Az-Zahra dan Abdullah (kemudian meninggal ketika masih kecil) semuanya lahir, dirawat, dibesarkan dan didiknya sendiri dalam usia yang sudah lewat dari 40 tahun. Bahkan anaknya dari suami yang terdahulu, yakni Hindun, juga turut terkondisikan dalam Islam. Hindun ikut jihad dan mati syahid dalam perang Jamal atau Yarmuk. Singkat kata ia sebagai ratu rumah tangga atau (rabbatul bait) berfungsi baik. Sehingga Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dengan tenang dan tidak was-was mempercayakan anak-anaknya dan segalanya pada Khadijah.
Siapakah sebenarnya Khadijah yang mampu membuat gersang hati Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dengan kepergiannya kembali ke Al Khaliq? Ia adalah Siti Khadijah. Walau ia sudah berusia 40 tahun dan janda dengan dua orang anak (Halah dan Hindun). Tetapi ia menjadi salah satu bunga dambaan di kalangan masyarakat Arab saat itu karena ia terkenal cantik (Jamilah) bangsawan (Syarifah), kaya dan berakhlak utama (Afifah, Tohiroh) walau saat itu Islam belum turun. Namun, setelah kematian suaminya yang kedua, Abu Hindun ia tidak mau menerima pinangan-pinahan tersebut dan mengkonsentrasikan diri saja pada tarbiyatul aulad (pendidikan anak-anaknya) dan tijaroh (bisnis dagangannya) untuk menghidupi diri dan anak-anaknya.
Barulah setelah ia mendengar tentang Muhammad yang digelari orang banyak sebagai Al Amin, Ia tergerak untuk mengetahuinya lebih lanjut. Ia lalu mengutus Maisaroh (pembantunya, seorang laki-laki) untuk menawari kerja Muhammad langsung sebagai kepala Khafilah dagang Khadijah ke Syam. Sungguh suatu kepercayaan yang besar bagi Muhammad. Ketika Muhammad datang menemui Khadijah untuk urusan pekerjaan itu, Khadijah sangat terkesan pada kejernihan wajah Muhammad yang mencerminkan kejujurannya. Tetapi kesan baik yang didapat Khadijah dalam pertemuan pertamanya dengan Muhammad itu tidak menghilangkan ketelitian dan kecermatannya yang memang merupakan salah satu sifatnya (hazmiah). Pertimbangan akalnya tetap diutamakan dan tidak dikalahkan oleh emosi atau perasaannya.
Disuruhnya Maisaroh untuk ikut serta mendampingi dan memantau segala gerak-gerik Muhammad selama dalam perjalanan dagang itu, karena biasanya sifat asli seseorang akan terlihat ketika ia berada dalam keadaan musafir. Khadijah ingin tahu apakah sifat Al-Amin (terpercaya) itu memang benar sifat asli Muhammad yang tidak dibuat-buat. Ternyata dalam perjalanan itu Maisaroh melihat bukti nyata bahwa gelar Al-Amin itu bukan sekedar gelar tempelan saja bagi Muhammad melainkan memang merupakan karakter utama dirinya yang sesungguhnya. Dalam perjalanan dagang itu Muhammad benar-benar memperlihatkan kejujuran sekaligus kecakapannya sehingga pulang dan membawa keuntungan yang tak pernah didapat Khadijah sebelumnya.
Mendengar hasil pantauan dan rekaman perjalanan dari Maisaroh, Khadijah menjadi kian tertarik dan segera mengutus sahabatnya Nafisah untuk menyampaikan lamaran pada Muhammad. Di rumah Muhammad terjadi dialog yang menarik antara Muhammad dengan Nafisah.
"Ya Muhammad, Apakah engkau sudah merasa cukup usia untuk menikah? ", kata Nafisah.
"kalaupun saya sudah merasa cukup usia untuk menikah mana ada kiranya orang yang mau bersuamikan saya yang tidak punya apa-apa ini "
"Bagaimana kalau ada wanita yang mau bersuamikan engkau. Dia seorang wanita bangsawan yang cantik, kaya dan berakhlak mulia "
"Siapakah dia?", tanya Muhammad.
" Khadijah!". Mendengar nama Khadijah, dengan serta merta Muhammad menerima tawaran itu. Maka Nafisah pun menyuruh Muhammad datang bersama pamannya untuk melamar pada hari dan tanggal yang telah ditentukan Khadijah.
Walaupun Khadijah memang memenuhi keempat sebab dinikahinya seorang wanita (karena kecantikannya, kekayaannya, keturunannya dan agamanya dalam hal ini ketinggian akhlaknya karena Islam belum turun). Tetapi kiranya bukan semata-mata hal itu yang membuat Muhammad serta merta menerima tawaran menikah dengan Khadijah melainkan juga didasari pertimbangan akal dan tuntunan Allah. Karena terbukti keutamaan-keutamaan sifat Khadijah sangat menolong Muhammad pada saat-saat ia mulai mengemban tugas sebagai Rasulullah. Tugas yang berat dan penuh tantangan.
Contoh nyata dukungan Khadijah ketika Muhammad mengalami kepanikan dan ketakutan saat menerima wahyu untuk pertama kali. Muhammad menyangka pertemuannya dengan Jibril seperti pertemuan dengan jin. Tetapi syukurlah dengan ketenangan yang luar biasa Khadijah tidak ikut panik, bahkan mampu menenangkan Muhammad. Khadijah meyakinkan Muhammad bahwa ia adalah orang yang jujur memegang amanah dan menyambung tali silaturahmi. Sehingga tak mungkin Allah menyia-nyiakannya.
Setelah itu Khadijah mengajak suaminya itu menemui saudara sepupunya seorang ahli kitab yang hanif, Waraqah bin Naufal, agar Muhammad menjadi tenang dan bertambah yakin serta mendengar sendiri penjelasan dari pakarnya bahwa yang datang menemuinya itu bukan Jin melainkan Namus (malaikat Wahyu, Jibril) yang dulu juga mendatangi Musa. Dukungan dan pertolongan Khadijah itu sangat penting sehingga Muhammad tidak ragu lagi mengemban tugas menyampaikan risalah Islam. Dan Islam pun menjadi berkembang meluas nantinya, Sehingga manusia-manusia yang jauh dari jazirah Arab pun, termasuk kita turut terciprati nikmatnya iman Islam.
Khadijah pun sebelumnya dengan sabar memahami suaminya yang tengah uzlah ke gua Hiro untuk mencapai petunjuk Allah karena dia tidak tahan melihat yang berkembang subur di masyarakat Arab pada saat itu. Muhammad tinggal berpuluh-puluh hari di gua Hira dan hanya turun pulang ke rumah untuk mengambil bekal makanan.
Khadijah memang seorang wanita yang afifah, thohiroh. Sehingga tak sulit bagi Muhammad untuk melanjutkan proses tarbiyah atas diri istrinya karena memang sudah memiliki watak dasar yang baik. Khadijah pun dengan mudah pula, karena kehanifan dirinya, menerima Islam. Ialah orang pertama yang menyambut dakwah Muhammad.
Khadijah tidak hanya sekedar menerima dan menyambut dakwah Muhammad Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Ia pun mengorbankan segala harta, tenaga, pikiran, dan jiwanya untuk pengembangan dakwah Islam. Ia berjihad habis-habisan untuk Islam, risalah yang dibawa suaminya itu ialah ujung tombak dakwah Islam yang pertama-tama karena yang mula-mula terkena dakwah yang dibawa Muhammad itu hampir semua adalah kaum keluarga dan kerabat Khadijah, kecuali Abu Bakar radhiyallahu Anhu. Dengan sifatnya yang cerdas pandai, cermat dan teliti (az Zakah). Ia dapat mendukung Muhammad dalam strategi dakwah.
Khadijah memang seorang hamba Allah dan seorang istri yang utama dan Wala (cinta dan keterkaitannya) pada Allah dan rasul-Nya begitu kental, padat Q.S (5:56)
وَمَنْ يَّتَوَلَّ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فَاِنَّ حِزْبَ اللّٰهِ هُمُ الْغٰلِبُوْنَ ࣖ
“Dan barangsiapa menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, maka sungguh, pengikut (agama) Allah itulah yang menang”. (Q.S 5: 56)
Ia memberikan segalanya bagi Allah dan Rasul-Nya. Ia mendukung dan mencintai Muhammad baik sebagai suami maupun Rasulullah, sehingga apapun yang disukai Muhammad disukainya pula. Seperti apa kata pepatah, orang yang cinta akan cenderung menurut pada orang yang dicintainya. Seperti dalam kasus Zaid bin Haritsah. Zaid adalah budak kepercayaan yang disukai Khadijah karena kecakapannya. Tetapi ketika Muhammad menghendaki Zaid, diberikannya segera pada Muhammad untuk terus mendampinginya. Memang harta atau hak milik istri tidak serta merta menjadi milik suami (sehingga ada kejadian seorang istri berzakat pada suaminya) kecuali dengan keridhoan istri diberikannya pada suami.
Selain itu sifat mengutamakan kesenangan dan kepentingan suami juga terlihat pada diri Khadijah dalam kasus Ali Bin Abi Thalib. Ketika Muhammad bermaksud mengambil Ali sejak kecil untuk dirawat didik dan diasuhnya sebagai balas budi pada pamannya Abu Thalib, Khadijah serta merta menyetujuinya. Walaupun hal itu mungkin dapat tambah membebani tugasnya atau mengurangi ‘privacy’nya. Tetapi karena kelapangan dadanya ia menerima Ali dan lingkungan keluarganya.
Kesetiaan Khadijah pun tak usah diragukan lagi. Ia terus setia gigih mendampingi suaminya Muhammad Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam yang menghadapi banyak tantangan hambatan, rintangan dan ancaman. Bahkan ketika kaum muslimin mengalami pemboikotan dan mengalami kelaparan yang luar biasa sehingga orang terpaksa makan kulit onta secara berhemat. Fisik Khadijah yang saat itu sudah berusia 65 tahun, rupanya tak kuat mengalami cobaan seberat itu, walau jiwa dan imannya tetap tegar, ia jatuh sakit, dibawa pulang ke Mekah dan menemui ajalnya.
Kepergiannya menemui sang pencipta, Allah Subhanahu Wa Ta'ala, menimbulkan kegersangan yang sangat pada diri Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam karena cintanya pada Khadijah murni bukan karena berorientasi pada fisik atau harta yang bisa pudar, lekang dan lapuk. Terpisah dalam dua alam berbeda (dunia dan barzah) tidak mematikan cinta Muhammad pada Khadijah. Cintanya tidak sirna walau Khadijah telah menjadi tulang belulang. Jadi sungguh tidak berdasar tuduhan para orientalis yang mengatakan Muhammad seorang yang "tukang kawin, sex mania" dan sebagainya, karena selama hidup dengan Khadijah yang sudah tua selama 25 tahun tak pernah Muhammad menikahi wanita lain bahkan di usianya yang ke-40 sekalipun (yang dikatakan banyak orang masa puber kedua bagi laki-laki) Muhammad baru menikah lagi dengan alasan-alasan dakwah yang jelas setelah Khadijah wafat.
Karena begitu seringnya terlihat Muhammad masih mengingat Khadijah dengan terus menyambung tali silaturahim dengan sahabat-sahabat Khadijah maka Aisyah pun mengutarakan kecemburuan dan protes pada Muhammad Shallallahu Alaihi wasallam
"mengapa wanita yang sudah jadi tulang belulang itu saja yang terus kau ingat ya Rasulullah. Bukankah Allah telah memberikan gantinya yang lebih segala-galanya darinya (Aisyah memang muda, cantik dan cerdas)”.
Rasulullah ternyata menjawab dengan begitu tegasnya:
"Tidak, Allah tidak pernah menggantikan dengan yang lebih dari dirinya. Ialah satu-satunya yang membenarkanku ketika semua orang mendustakanku, Ialah yang menguatkan, menenangkan tatkala Aku ragu, Ialah yang menopang, mendukung dakwahku dengan segala yang dimilikinya ketika semua orang menghambatku. Ialah yang memberikan anak-anak yang baik padaku".
Cinta Muhammad pada Khadijah adalah cinta karena aqidah. Cinta yang bersumber dari sumber cinta yang tak ada habisnya yakni Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Sehingga tak pernah sirna walau secara fisik telah terpisah. Itulah kisah cinta yang tulus dan utama dalam sejarah umat manusia yang patut kita jadikan Ibrah (contoh teladan). Kiranya Allah menyatukan keduanya secara abadi di surga tertinggi dalam keadaan penuh keridhoan dan diridhoi Allah.
Disadur dari majalah Sabili Edisi No.15/I 5 Safar 1410 H/6 September 1989 M
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!