Dakwah dengan Bahasa Kaum Digital

Dakwah dengan Bahasa Kaum Digital
Photo by Headway / Unsplash

Dalam sejarah perjalanan dakwah Islam dari masa para nabi dahulu, tujuan dakwah tidak pernah berubah, yakni dalam rangka mengajak manusia untuk menyembah Allah ﷻ semata, serta menaati semua larangan dan perintah-Nya. Ada banyak faktor yang bisa menjadi pendukung suksesnya gerakan dakwah. Menilik catatan sejarah dakwah para nabi dan generasi salaf, kesuksesan misi dakwah di antaranya tergantung pada dua hal berikut ini:

Pertama, mampu mengenali tantangan zamannya. Setiap nabi dan rasul yang diutus dalam era atau kurun waktu yang berbeda ternyata memiliki tantangan utama yang berbeda pula. Nabi Musa alaihi salam misalnya, memiliki tantangan dakwah berupa tirani besar yang didukung oleh para ahli sihir yang saat itu sangat dikagumi sekaligus ditakuti oleh masyarakat. Kekuasaan Firuan menjadi begitu kuat diantaranya karena dukungan para ahli sihir ini.

Dalam situasi sosial seperti itu, Nabiyullah Musa alaihi salam mendapatkan mandat ke-nabian dari Allah ﷻ. Menariknya, dalam pengutusan nabi Musa ini, Allah ﷻ berkenan memberikan bekal mukjizat yang seakan-akan mirip kekuatan sihir. Misalnya tongkat Nabi Musa bisa berubah menjadi ular, tangan beliau mampu mengeluarkan cahaya, dengan tongkatnya pula Allah ﷻ berkenan memberikan izin dan kekuatan kepada Musa alaihi salam untuk membelah lautan, dan lain sebagainya. Apa yang dilakukan oleh Musa sudah barang tentu bukan sihir. Namun para pendukung kekafiran pada masa itu melihat mukjizat dari Allah ﷻ ini sebagai sihir yang hebat.

Pada zaman Rasulullah Muhammad ﷺ‎, tantangan dakwah juga berubah. Beliau banyak menghadapi para ahli syair yang sangat bangga dengan kehebatan gubahan syairnya. Maka Allah ﷻ turunkan Alquran sebagai mukjizat yang memiliki kekuatan bahasa menakjubkan dan mampu membuat para ahli syair terpana, kehilangan kata-kata.

Syair kala itu memiliki daya panggil luar biasa di kalangan masyarakat Arab pra-Islam. Ia adalah alat hiburan, ekspresi dari status sosial masyarakat zaman itu, alat propaganda politik yang sangat efektif, bahkan syair memiliki peran penting dalam membangun semangat juang para serdadu yang ingin turun ke medan laga.

Salah satu kehebatan dari mukjizat Alquran adalah keindahan tata-bahasanya. Para penyair pun  kagum dengan bahasa dan ungkapan Alquran yang terasa melampaui zamannya itu, sungguh ungkapan yang terasa baru, komposisi yang pas, dan kedalaman makna yang tak terbatas. Alquran di masa awal Islam adalah jawaban atas kepongahan para ahli syair yang menjadi tantangan gerakan dakwah saat itu.

Kemampuan mengenali dan menjawab tantangan dakwah sesuai zamannya akan membuat gerakan dakwah menjadi aktual dan selaras dengan isu atau problem yang tengah dihadapi masyarakat. Dakwah yang responsif dengan tantangan sosial yang sedang terjadi inilah yang sering disebut sebagai dakwah kontekstual.

Kedua, selain mampu memecahkan problem aktual, dakwah sesungguhnya harus diawali dengan pemahaman yang baik dari bahasa kaum yang sedang didakwahi. Strategi bahasa ini sesungguhnya adalah strategi yang diajarkan langsung oleh Allah ﷻ, sebagaimana firman-Nya:

“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” – QS. Ibrahim:4

Setiap nabi dan rasul diutus dengan pendekatan bahasa kaum masing-masing. Rasulullah Muhammad ﷺ‎ yang diutus kepada masyarakat  yang menggunakan bahasa Arab, maka Rasulullah adalah orang yang fasih menggunakan bahasa tersebut.

Dua hal mendasar yang menjadi prasyarat penting bagi suksesnya dakwah Islam di atas sesungguhnya masih berlaku pula pada era kita hari ini. Menjawab tantangan zaman dan pemahaman atas bahasa kaum adalah langkah dasar yang penting kita renungkan kembali manakala ingin melakukan evaluasi atas efektifitas gerakan dakwah yang sedang kita jalankan.

Memahami Kembali Era Kita.

Untuk mampu menjawab tantangan zaman, maka langkah pertama yang wajib dilakukan adalah memahami zaman kita. Ini tidak mudah, bahkan bagi para sosiolog dan filsuf kelas duniapun kesulitan untuk memberi definisi yang pas tentang era atau zaman kita hari ini.

Mengapa sulit dipahami? Hal ini terjadi disebabkan oleh adanya fakta bahwa masyarakat dan sistem sosial kita sesungguhnya telah berubah secara radikal dibandingkan dengan tatanan masyarakat dan sistem sosial dari satu abad terakhir. Tepatnya para ahli menyebut sebagai suatu lompatan besar, sehingga sulit untuk dimaknai secara konvensional.

Sehingga wajar jika era kita ini disebut dengan banyak nama, karena sulitnya memberi batasan yang jelas. Misalnya ada yang menyebut sebagai era globalisasi, era virtual, era digital, era cyber, new era dan lain sebagainya, para ahli tidak bisa bersepakat tentang nama era ini, namun mereka umumnya tidak berbeda dalam menyebutkan ciri-ciri era kita.

Salah satu ciri penting era ini adalah dominasi teknologi informasi. Cara orang dalam berkomunikasi telah berubah sedemikian rupa, sehingga tidak ada lagi sekat-sekat geografis. Hanya terjadi pada era ini, orang bisa berteman dan akrab dengan orang lain di seluruh dunia tanpa pernah bertatap muka secara langsung.

Orang bisa belanja tanpa harus pergi ke pasar, bisa melakukan transaksi jual beli, memindahkan uang, dan berbisnis apapun tanpa harus keluar dari rumah. Cukup dengan Handphone! informasi berupa data, gambar, bahkan film mampu diakses dengan mudah.

Teknologi informasi seakan telah mampu melipat jarak. Semua sudut dunia telah terkoneksi, masyarakat Indonesia bisa langsung berkomunikasi dengan saudaranya yang sedang berada di Makkah dalam rangka ibadah haji. Tidak ada lagi sudut bumi yang tidak terjangkau berkat revolusi dalam teknologi informasi.

Nah, kemajuan luar biasa itu tentu berdampak dalam pola hidup, pola interaksi, dan pola pemenuhan kebutuhan ekonomi. Kesemuanya itu kemudian membentuk suatu pola perilaku baru yang jauh berbeda dengan beberapa dekade sebelumnya. Salah satunya adalah pola hidup instan dan kemalasan untuk bergerak, karena teknologi telah memanjakan sedemikian rupa. Cara beribadah kaum muslimin pun tak luput terpapar dari perubahan prilaku ini.

Dahulu membayar zakat harus datang ke masjid atau bertemu langsung dengan mustahik. Sekarang dengan ponsel urusan itu bisa selesai tanpa harus keluar rumah. Ustadz-ustadz di mushola dan masjid-masjid tidak lagi menjadi sumber informasi agama dan tempat bertanya, karena umat sudah memiliki kyai baru dan ustadz baru yakni Kyai Google.com

Apa dampaknya? Generasi yang lahir pada era digital umumnya tidak paham bahwa belajar agama harus melalui bantuan para ustadz dan ulama, kemampuan mereka mencari jawaban sendiri atas semua rasa ingin tahu yang mereka rasakan termasuk dalam urusan agama memang telah mengurangi peran penting para ustadz dan ulama. Hal ini melahirkan dua masalah sekaligus, yang pertama, terjadi degradasi peran sosiologis dan edukatif para ustadz dan ulama. Banyak anak muda muslim yang memandang enteng keberadaan dan sosok para ustadz.

Masalah yang kedua, anak-anak muda yang belajar agama secara online sesungguhnya bisa menjadi persoalan yang serius, mengingat tidak semua informasi dari internet telah teruji kesahihannya. Justru akhir-akhir ini kalangan ulama khawatir dengan maraknya ajaran radikal, terorisme, dan paham-paham yang menyimpang yang sangat marak dan mudah diakses melalui jaringan internet dan media sosial. Intinya, belajar agama secara otodidak melalui sumber-sumber yang kurang jelas bisa berujung pada kekeliruan, apalagi jika yang belajar tidak cukup kritis dan tidak memiliki sumber pembanding.

Kaum Digital dan Bahasanya.

Aspek kedua yang penting bagi suksesnya misi dakwah adalah pemahaman terhadap bahasa kaum yang akan di dakwahi. Lalu apa bahasa kaum kita? Mungkin ada sebagian yang menjawab bahwa kaum kita berbahasa Indonesia karena wilayah dakwah kita ada di lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun dalam era global dan era digital sebagaimana disebut di atas, konsep teritori memang akan debatable bukankah ciri utama era digital atau era global adalah hilangnya sekat-sekat geografis? Saya cenderung memaknai konsep kaum dalam konteks era digital adalah komunitas masyarakat yang terikat dalam jejaring media sosial, dan ini berarti tidak hanya sebatas kaum yang ada dalam teritori yang bersifat geografis.

Lalu apa bahasa mereka? Sebelum kearah topik ini ada baiknya kita lihat makna bahasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa adalah: Sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri; 2 percakapan (perkataan) yang baik; tingkah laku yang baik; sopan santun: baik budi -- nya;-- menunjukkan bangsa, pb budi bahasa atau perangai serta tutur kata menunjukkan sifat dan tabiat seseorang (baik buruk kelakuan menunjukkan tinggi rendah asal atau keturunan);

Kaum digital sekarang ini, telah mampu berkomunikasi tidak hanya dengan lambang bunyi. Gambar-gambar ikonik sederhana yang tersemat di dalam alat-alat komunikasi semacam gadget dan komputer telah menjadi bahasa universal baru yang bisa dipahami oleh semua manusia diseluruh dunia apapun negara dan etnisnya.

Bahkan sistem digital sesungguhnya telah menjadi bahasa universal. Nah, bahasa kaum digital adalah bahasa digital. Bahasa ini mudah dipahami dan berlaku universal, bersifat instan, membantu pemahaman, sedikit memberi ruang emosi, namun mampu dioptimalkan untuk mengaduk-aduk perasaan hingga relung terdalam. Mendifinisikannya memang sulit tapi kita mengenali wujudnya dalam bentuk alat komunikasi, barang-barang elektronik, transaksi elektronik, uang elektronik, audio-visual, visual-reality, dll.

Intinya jika dakwah era digital ingin sukses gunakanlah bahasa dan alat digital itu. Dai dan para ustadz di era digital bisa memiliki massa hingga jutaan orang tanpa harus keluar dari rumahnya. Jamaah Twiter-nya ratusan ribu, jamaah WhatsApp-nya ratusan ribu, jamaah Facebook-nya pun tak terkira jumlahnya.

Tapi Ustadz dan ulama yang gagal paham dengan bahasa digital akan terasing di mimbarnya masing-masing, karena jamaah sudah taklim di media sosial sambil ngopi di rumah. Pada konteks inilah, para dai secara fardiyah maupun jamai harus mampu mengikuti arus digitalisasi. Sehingga ilmunya tetap bisa dikonsumsi oleh jamaah dimanapun dan kapanpun, jangan malah bersikap kontra-produktif dengan mengecam dan mengharamkan media sosial.

Dunia digital sebangun dengan realitas nyata, yang bisa mendatangkan manfaat maupun mudharat sekaligus. Kita harus bertarung untuk mengisi era digital ini dengan pesan-pesan dakwah atau sekedar bisa marah-marah saat media sosial marak oleh pornografi dan kemaksiatan. Silahkan pilih, karena inilah jihad dan tantangan dakwah kita hari ini.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.