Sabtu 19 Agustus 2023, sebuah video amatir yang memperlihatkan Mayjen Yasser Fadhlallah Al-Khidr, komandan Divisi Infanteri 16 yang sedang menggali kuburnya viral di medsos yang kemudian dimuat oleh sejumlah media Sudan dan Timur Tengah, termasuk Aljazeera. Dalam video ‘mengharukan’ tersebut, Yasser menegaskan kesiapannya untuk berjuang sampai mati, hingga kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) dihancurkan.
Dan pada hari Senin 21 Agustus 2023, SAF mengumumkan terbunuhnya Mayjen Yasser Fadhlallah Al-Khidr dalam pertempuran di Nyala, Darfour Selatan. Abdel Fattah Al Burhan sebagai Ketua Dewan Kedaulatan Sudan mengungkapkan bela sungkawanya yang mendalam atas kematian Yasser. Sejak lebih dari 20 hari lalu, markas Divisi Infanteri 16 yang tunduk dibawah Sudanese Armed Forces (SAF) di ibukota Darfour Selatan, Nyala, telah dikepung dan dihujani serangan bertubi-tubi oleh RSF yang berhasrat menguasai penuh ibukota Nyala sekaligus bandaranya yang strategis.
Yasser Fadhlallah bukanlah tokoh militer dan politik pertama yang terbunuh di Darfour sejak konflik antara SAF dan RSF pecah pada tanggal 15 April lalu. Pada tanggal 14 Juni 2023, SRF menangkap dan kemudian menghabisi Gubernur Darfour Barat, Khamis Abdullah Abakar di El Geneina, ibukota Darfour Barat. Khamis menjadi orang pertama dari pejabat pemerintahan paling tinggi yang terbunuh dalam konflik berdarah antara dua jenderal; Abdel Fattah Al Burhan dan Mohamed Hamdan Dagalo ‘Hemedti’.
Baca Juga : Memahami Akar Konflik Sudan (Bagian 1)
Sehari sebelumnya (13 Juni 2023), saudara Sultan ‘Dar Masalit’, Emir Tariq Abdel Rahman Bahr Al-Din juga dibunuh di El Geneina. Sejumlah pembunuhan yang menargetkan tokoh-tokoh penting di Darfour ini kemudian memaksa Sultan Sa’ad Bahr Al-Din mengungsi ke negara tetangga, Chad. Perlu diketahui bahwa baik Emir Tariq Abdel Rahman dan Gubernur Khamis Abdullah Abakar sama-sama beretnis Masalit. Artinya, konflik Darfour saat ini mulai mengarah kembali kepada konflik etnis, sebab keduanya (Khamis dan Tariq Abdel Rahman) diduga kuat dibunuh oleh RSF atau kelompok-kelompok kabilah Arab di Darfour yang didukung oleh RSF.
Suku Masalit adalah salah satu suku Afrika (disamping suku-suku Afrika lainnya) yang memegang teguh pengajaran Islam dan terkenal dengan perjuangannya melawan imperialisme Perancis di era pra kemerdekaan.
Selain di Barat dan Selatan Darfour, konflik juga merebak dan pecah di Darfour Tengah. Puluhan orang dikabarkan tewas di Zalingei, Ibukota Darfour Tengah yang dikepung oleh RSF sejak Juni lalu. Hingga pekan kedua bulan ini, SAF mengumumkan bahwa mereka berhasil membuka blokade RSF yang mengepung kota dan markas Divisi 12 yang tunduk dibawah SAF. Namun sejumlah laporan mengabarkan bahwa RSF justru masih menguasai sebagian besar kota Zalingei.
Meningkatnya tindak kekerasan dan bentrokan bersenjata yang meletus di Darfour Selatan dan Barat antara suku Masalit dan sekelompok suku-suku Arab yang didukung RSF membuat memori tentang tragedi perang saudara antar etnis dan genosida di Darfour kembali membayang-bayangi penduduk Darfour. Pemberontakan suku-suku Afrika pada tahun 2003 di Darfour dihadapi oleh pemerintahan Omar Al-Basyir saat itu dengan memakai ‘tangan’ milisi Janjawed (yang kini bertransformasi menjadi RSF) yang kejam dan tertuduh melakukan genosida serta sejumlah pemerkosaan di Darfour. Menurut PBB, 300.000 orang terbunuh dalam perang etnis di Darfour dari tahun 2003 hingga 2020 paska ditandatanganinya perjanjian damai Juba (Ibukota Sudan Selatan).
Baca Juga : Kepentingan Asing dalam Krisis Sudan
Perjanjian damai Juba pada tahun 2020 yang terjadi di masa pemerintahan transisi kemudian mengantarkan Sulaiman Minni Arkua Minnnawi, komandan Sudan Liberation Movement (SLM) yang sebelumnya memberontak kepada rezim Omar Al-Basyir menjadi Penguasa Darfour. Perjanjian tersebut juga mengantarkan Jibril Ibrahim Ali, komandan gerakan Justice and Equality Movement (JEM) yang sebelumnya juga memberontak kepada rezim Basyir menjadi Menteri Keuangan Federasi Darfour.
Menurut Minnnawi, Darfour kini menjadi wilayah bencana yang hancur porak-poranda. Lebih dari 2000 orang dipastikan telah terbunuh sejak krisis antara SRF dan SAF meletus April lalu. Tak ada data resmi jumlah korban yang tewas karena hampir semua infrastruktur bahkan rumah sakit telah lumpuh. Hal ini diperparah oleh maraknya pembunuhan, bentrokan antar etnis serta sejumlah perampokan. Bisa jadi, korban tewas di Darfour lebih banyak dari yang diperkirakan.
Lalu akankah perang etnis kembali berkecamuk di Darfour? Hal yang sangat mungkin terjadi melihat bagaimana kelompok-kelompok suku Arab telah memberikan dukungannya kepada RSF. Sementara itu, meskipun suku-suku Afrika di Darfour belum mengungkapkan secara terang-terangan dukungannya kepada SAF, banyak pengamat meyakini bahwa mereka akan mendukung SAF.
Sumber : aawsat.news, dll
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!