Sejak kepemimpinan negeri ini berganti di tanggal 20 Oktober 2024, masyarakat banyak menyoroti bagaimana nanti kinerja kabinet yang baru saja dibentuk. Banyak kementerian lantas mendapatkan masukan dari masyarakat. Terutama kementerian yang berkaitan dengan pendidikan.
Pendidikan tentu menjadi hal yang paling diperhatikan masyarakat. Sebab, pendidikan menyangkut bagaimana kualitas SDM negeri ini akan melakukan peran pentingnya di masa depan. Banyak wacana dari masyarakat digulirkan di media sosial. Juga dalam percakapan sehari-hari. Ada yang ingin kurikulum KTSP diberlakukan lagi, ada yang ingin ujian nasional diaktifkan seperti dulu, ada yang ingin kurikulum merdeka tetap ada dengan perbaikan dan penyempurnaan, ada yang ingin zonasi dihapus, dan lain-lain.
Tentu saja semua usul, baik dari masyarakat, praktisi, maupun akademisi, harus dibahas secara sangat hati-hati berdasarkan manfaat dan mudharatnya. Di sini, penulis ingin sekali secara khusus membahas Ujian Nasional (UN). Sebab, UN adalah sebuah tahapan akhir pembelajaran yang tadinya diadakan karena ingin mengukur pencapaian siswa. Sebuah tujuan yang menurut penulis sebenarnya tidak ada salahnya. Bukankah hidup kita sehari-hari juga adalah sederet ujian?
Dilihat dari sejarah dihapuskannya Ujian Nasional (UN), ujian tersebut dianggap membuat kerugian pada mental health anak. Ujian Nasional dirasa memberikan tekanan mental dan stres pada diri anak. Di sisi lain, Ujian Nasional juga ditengarai membuat para guru berlomba membocorkan kunci jawaban, serta membuat siswa mencontek dan berbuat curang. Anak-anak yang tidak lulus ujian juga akan malu karena dilabeli tidak pintar, bodoh, malas, dan label-label lain yang merugikan anak. Bahkan, ada beberapa di antara mereka yang mencoba bunuh diri saat dinyatakan tidak lulus, karena rendah diri dan merasa paling buruk di dunia.
Maka, yang paling penting dilakukan dari awal oleh pemerintah bersama masyarakat adalah menciptakan kesadaran bersama untuk membangun paradigma bahwa belajar adalah proses menumbuhkan dan membangun diri agar menjadi manusia yang bermanfaat. Khoirunnas anfa'uhum linnas. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain” (HR Ath-Thabari). Bukan berfokus pada hasil, apalagi hanya hasil ujian. Jadi, bentuk kecurangan semisal rekayasa, intrik, dan lain-lain, dalam pembelajaran, hanya akan membangun manusia-manusia pragmatis dan tidak bertanggung jawab.
Kesadaran itu juga harus ditanamkan kepada guru sebagai garda depan pendidikan. Fitrah belajar itu sudah diberikan Allah kepada anak-anak kita. Jangan sampai hausnya mereka dengan ilmu malah kita rusak sendiri dengan paradigma belajar yang salah, yang hanya berfokus pada hasil.
Di sisi lain, masyarakat yang ingin mengembalikan UN seperti dulu juga punya alasan yang tidak kalah kuat. Mereka menganggap bahwa saat ini siswa kurang kompetitif, malas belajar, dan cenderung menggampangkan pembelajaran di sekolah. Hal ini tentu saja karena mereka menganggap bahwa dengan nilai berapa pun mereka akan lulus. Ini menciptakan comfort zone tersendiri bagi siswa.
Tetapi di balik pro dan kontra ini, ke depan mari kita mencari jalan keluar yang win-win solution. Jalan keluar yang terbaik untuk nasib pendidikan di negeri ini.
Sebenarnya, menurut penulis, penyebab-penyebab itu bisa diantisipasi dan diminimalkan jika kita mengetahui apa yang sebenarnya kita butuhkan dari esensi ujian dan apa yang sebenarnya kita tuju dalam pendidikan di negeri kita. Tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Lantas kecerdasan seperti apa yang dimaksud? Idealnya harus ada keseimbangan antara kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosi (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Sebab, jika ada ketimpangan di salah satunya, maka akan terjadi banyak kerusakan. Contoh-contohnya sudah terpampang nyata, bagaimana dan apa saja kerusakan yang terjadi di negeri kita tercinta.
Jika memang ujian nasional ditujukan untuk mengukur capaian akademik saja (kecerdasan intelektual), maka itu bisa saja tetap dilakukan, dengan asumsi bahwa yang tidak lulus dalam ujian nasional tidak boleh dilabeli apa pun yang bersifat negatif, karena setiap manusia membawa bakat masing-masing. Dan hal itu harus diwacanakan oleh pemerintah ke publik, sehingga masyarakat juga akan membangun narasi bersama yang menumbuhkan self-esteem dan harga diri anak.
Di dalam surat Al Isra ayat 84, Allah berfirman, “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing’.”
Ulama sepakat bahwa kata “syakilah” bisa diartikan sebagai pembawaan, keunikan, ciri, juga bakat khusus seseorang yang diberikan Allah Swt kepadanya sejak ia diciptakan. Tentu saja, hal ini dimaksudkan Allah agar manusia dapat memberikan manfaat bagi dirinya dan orang lain.
Seorang pakar talents mapping, Abah Rama Royani, juga pernah mengatakan, “Asahlah pisau pada sisi tajamnya”. Maka, sudah menjadi kewajiban pemerintah, orang tua juga masyarakat, untuk memberikan dukungan sepenuhnya terhadap kekuatan potensi anak. Abah Rama Royani juga menuturkan bahwa seharusnya di kelas 3 SMP anak-anak sudah mengenali bakatnya.
Di tulisan sebelumnya, penulis pernah membahas tentang bagaimana Jack Chizmar telah menghitung proporsi populasi yang IQ-nya berkisar 85-115 adalah 68,2 persen dan yang IQ-nya di atas 115 adalah 15,87 persen. Artinya, dengan prinsip kurva bel yang dibuat Jack Chizmar, terlihat bahwa sebagian besar manusia (hampir 85 persen) memiliki kecerdasan IQ di bawah 115. Sehingga, treatment yang harus dilakukan tidak boleh sama dengan manusia yang ber-IQ lebih dari 115. Sudah puluhan tahun energi kita terbuang sia-sia untuk menciptakan manusia-manusia Indonesia yang menguasai IPTEK dengan segala beban kurikulum yang luar biasa beratnya. Padahal, seseorang yang ber-IQ 90 lalu diberikan pembelajaran tambahan agar ber-IQ 120 maka itu akan merupakan usaha yang sia-sia. Ikhtiar tentu saja boleh dilakukan, tetapi memaksakan diri akan melukai semua pihak. Baik luka psikis maupun luka energi.
Jika saja lebih banyak energi difokuskan ke bidang keterampilan, kesenian, teknologi tepat guna, dan bidang-bidang sesuai talenta lainnya, maka saya tidak bisa membayangkan sudah sehebat apa Indonesia. Prinsip kurva bel yang pasti ada dalam dunia nyata memberikan petunjuk bahwa sebagian besar manusia harus disiapkan untuk menguasai hal-hal yang praktis dan konkret. Sekian tahun silam, jauh sebelum era industri 4.0 seperti saat ini, di tahun 2006 nilai Human Development Index Indonesia sudah di nomor 108 dari 177 negara, jauh dari Malaysia yang nomor 61. Menurut survei PERC di tahun yang sama di 12 negara, Indonesia berada di urutan terbawah dan berada di bawah negara Vietnam. Hasil survei matematika oleh TIMSS-R di 38 negara Asia, Australia, dan Afrika, Indonesia menduduki peringkat ke-34.
Bagaimana dengan peringkat Human Development index kita di tahun 2024 ini? Human development index atau IPM (Indeks Perkembangan Manusia) Indonesia 2023-2024 sebesar 0,713 atau naik 0,008 poin dari IPM Indonesia di tahun sebelumnya. IPM Indonesia memang terus naik dan sudah berada di kategori tinggi. Namun, ternyata Indonesia menjadi yang terendah dibandingkan negara-negara tetangga. Mengapa? Karena para pemimpin kita tidak memiliki visi dan strategi yang jitu untuk membawa bangsa Indonesia ke depan.
Mungkin kita perlu belajar dari Jepang dan Jerman yang mendidik 60 persen warga terbawahnya dengan strategi utama mencetak tenaga kerja andal. Mereka menyadari bahwa untuk membangun manusia yang menguasai IPTEK dan dapat menciptakan teknologi baru, maka pendidikan 15 persen penduduk terpandai (brain power) lebih difokuskan dengan pendidikan tinggi di universitas dan menjadi ilmuwan. Namun, setiap teknologi baru dapat ditiru dan diproduksi di mana pun. Tetapi pekerja yang terampil, andal, dan percaya diri, adalah ujung tombak yang menjadi tangan-tangan produktif yang menjadi comparative advantage yang sulit ditiru selain dengan tempaan sama. Kita ambil saja contoh kamera Amerika yang ternyata bisa diproduksi oleh Jepang dengan hasil yang lebih baik.
Jika pemerintah siap dan mau mengerjakan usulan dengan konsep ini, berarti pemerintah harus siap menyediakan sekolah-sekolah kejuruan yang menampung beragam talenta di luar akademik. Menjaga seluruh generasi kita untuk mampu berkontribusi sesuai bidangnya dengan kerja keras, bergembira, dan penuh percaya diri akan kemampuannya, adalah lebih baik dibandingkan mengejar target-target yang tidak jelas akan dibawa ke mana. Untuk sekolah kejuruan, mungkin bisa dimulai saat jenjang SMA bahkan SMP. Karena kita tidak perlu memaksakan semua orang harus masuk melanjutkan ke pendidikan tinggi.
Kadang, kita terlena dan kurang memerbaiki SDM kita karena sudah sangat nyaman dengan kekayaan SDA yang kita punya. Tetapi lama kelamaan sumber daya alam akan habis jika tidak dikelola oleh SDM yang mumpuni. Bahkan, sekarang saja berapa banyak kekayaan SDA kita yang dikeruk asing? Sebab, selain kompetensi SDM yang kurang, kita juga kekurangan SDM yang mempunyai integritas karakter.
Saya setuju ada wacana untuk menguji potensi akademik dengan ujian nasional. Dengan catatan, jika tidak lulus ujian akademik, maka siswa tersebut tetap bisa melanjutkan pendidikan, tetapi di sekolah semacam sekolah kejuruan dengan ragam fasilitas untuk menunjang beberapa talenta lainnya.
Tentang pendekatan pembelajaran deep learning yang digagas Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah saat ini, yang akan difokuskan untuk meningkatkan ilmu coding dan AI (Artificial Intelligence), maka menurut saya ini justru malah belum dibutuhkan. Lebih efektif jika deep learning ini memfokuskan pada peningkatan literasi dan pendidikan karakter para siswa yang masih belum terlihat eksplisit program-programnya dalam kurikulum kita sejak dulu hingga kini. Dari dulu, tingkat literasi dan program pendidikan karakter kita di bawah rata-rata. Menjadikan deep learning berfokus pada literasi dan pendidikan karakter, saya rasa amat sesuai dengan negara kita yang berdasar nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam UUD 1945.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!