Di tengah tragedi kemanusiaan yang hari ini masih membara di Gaza — dengan ribuan korban jiwa, kehancuran infrastruktur, dan blokade yang menjerat kehidupan — dunia kembali diingatkan akan dua peristiwa besar yang menjadi simbol perjuangan rakyat Palestina. Pertama, Revolusi Al-Buraq tahun 1929. Kedua, pembakaran Masjid Al-Aqsa tahun 1969 yang kini telah 56 tahun berlalu. Kedua peristiwa itu mencerminkan pola kolonialisme yang sama: Perebutan tanah suci, penghinaan terhadap umat, dan upaya sistematis menghapus identitas Islam dari kota suci Al-Quds. Pola yang terus berulang hingga hari ini.
Revolusi Al-Buraq 1929: Ketika Umat Bangkit Membela Kehormatan
Pada 15 Agustus 1929, ribuan pemukim Zionis menggelar perayaan di kawasan Ha’it Al-Buraq (Tembok Al-Buraq), yang mereka sebut sebagai “Peringatan Kehancuran Haikal”. Sambil mengibarkan bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan Zionis, mereka melontarkan hinaan terhadap umat Islam dan simbol-simbol sucinya.
Keesokan harinya, umat Muslim merespon. Gelombang perlawanan membesar dan menyebar ke Al-Khalil (Hebron), Safad, Jaffa, hingga kota-kota lain di Palestina. Bentrokan berlangsung selama beberapa hari, menewaskan 133 pemukim Zionis dan melukai 339 lainnya, serta 116 warga Palestina dan Arab syahid serta ratusan lainnya terluka.
Di tengah situasi itu, Komisi Shaw (Laporan Komisi Inggris tentang Kerusuhan di Palestina pada Agustus 1929) bentukan Liga Bangsa-Bangsa menegaskan keputusan bersejarah: Tembok Al-Buraq adalah hak eksklusif umat Islam, bagian tak terpisahkan dari Al-Haram Asy-Syarif, dan berada di bawah kepemilikan Waqaf Islam. Keputusan tersebut menjadi bukti sah secara hukum internasional akan hak sejarah umat Islam di Al-Quds.

Pembakaran Al-Aqsa 1969: Luka yang Belum Sembuh
Empat puluh tahun setelah Revolusi Al-Buraq, tragedi besar kembali melanda. Pada 21 Agustus 1969, Denis Michael Rohan, ekstremis Yahudi asal Australia, membakar Masjid Al-Aqsa secara sengaja. Api melalap kawasan Masjid Al-Aqsa hingga lebih dari 1.500 meter persegi, termasuk mimbar Salahuddin Al-Ayyubi yang bersejarah.
Kebakaran itu merusak pilar, kubah, dan ornamen indah yang berusia ratusan tahun. Atap masjid runtuh, puluhan jendela kaca patri hancur, dan ayat-ayat Al Qur’an yang menghiasi dinding ikut lenyap. Anehnya, pasukan Israel memutus suplai air dan menghalangi mobil pemadam kebakaran, memaksa warga Palestina memadamkan api dengan pakaian dan air sumur.
Tetapi, meski bukti menunjukkan kebakaran dilakukan dengan sengaja, Israel membebaskan pelaku dengan dalih gangguan jiwa. Restorasi baru dimulai setahun kemudian di bawah pengawasan Dewan Wakaf Islam, dan selesai bertahap hingga 1986. Namun, luka sejarah ini tetap menjadi simbol perlawanan.
Ancaman yang Tak Pernah Redup
Sejak 2003, Israel mengizinkan pemukim memasuki Al-Aqsa melalui Bab Al-Magharibah setiap hari (kecuali Jumat dan Sabtu). Mereka melakukan ritual keagamaan Yahudi di dalam kompleks, yang sebelumnya dilarang. Tahun 2025 mencatat rekor tertinggi jumlah penyerbu, bertepatan dengan apa yang mereka sebut “Peringatan Kehancuran Haikal”.

Ancaman terhadap Al-Aqsa semakin nyata: Rencana pembagian waktu dan ruang ibadah antara Muslim dan Yahudi, penghapusan peran Yordania, bahkan proposal mengubah Qubbah Ash-Shakhrah menjadi kuil Yahudi. Semua itu adalah bagian dari strategi jangka panjang untuk menguasai Al-Quds secara penuh, sejalan dengan visi “Israel Raya” yang meluas hingga Mesir dan Yordania.
Kini, organisasi permukiman “Bi Aidina” bahkan merilis poster yang menampilkan Masjid Al-Aqsa dikepung buldoser, seolah siap dihancurkan. Provokasi ini secara terang-terangan memromosikan rencana penghancuran Masjid Al-Aqsa, menunjukkan bahwa ancaman tersebut bukan lagi wacana tersembunyi, melainkan agenda yang diumumkan secara terbuka.
Gaza dan Al-Aqsa: Dua Medan, Satu Perjuangan
Tragedi di Gaza hari ini tidak dapat dipisahkan dari ancaman terhadap Al-Aqsa. Penyerangan, kelaparan, dan pembunuhan massal adalah bagian dari strategi penjajah yang sama: Menghapus identitas Palestina, melemahkan perlawanan, dan menguasai seluruh tanah air mereka.
Sejarah membuktikan, setiap serangan terhadap Al-Aqsa diiringi dengan penindasan yang lebih luas di seluruh Palestina. Dari Revolusi Al-Buraq hingga pembakaran Al-Aqsa, pola yang terlihat adalah sama: Provokasi, kekerasan, dan penguasaan wilayah dengan mengorbankan nyawa dan martabat rakyat Palestina.

Pesan untuk Umat Islam dan Dunia
Masjid Al-Aqsa bukan hanya milik rakyat Palestina — ia adalah amanah umat Islam sedunia. Membelanya adalah membela kehormatan umat Islam. Ancaman terhadapnya bukan sekadar isu lokal, tetapi bagian dari proyek kolonial yang lebih luas, yang berupaya mengubah sejarah dan peta politik kawasan.
Dari 1929 hingga hari ini, pesan perlawanan tetap sama: Pembebasan adalah tujuan pertama dan utama, dan persatuan umat adalah kuncinya. Gaza berdiri di garis depan, menjadi benteng terakhir yang mengingatkan dunia bahwa selama Al-Aqsa terancam, tidak ada kemerdekaan sejati di Palestina.

Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!