Deep Learning dan Deep Calling: Mana yang Membuat Guru Lebih Hidup?

Saat melihat di sana-sini dilaksanakan pelatihan deep learning, selain bergembira karena ada upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas guru, saya bertanya dalam hati dengan nada setengah pesimis, apakah benar pelatihan-pelatihan itu akan membawa perubahan yang signifikan pada wajah pendidikan kita hari ini?

Pertanyaan itu tentu bukan untuk meremehkan program-program peningkatan mutu pendidikan. Namun, pengalaman panjang dunia pendidikan menunjukkan, dari tahun ke tahun bergantinya kurikulum dan menteri sering kali diikuti oleh pelatihan demi pelatihan yang pada akhirnya berhenti hanya sebatas seremoni. Setelahnya, praktik pembelajaran di kelas tetap kembali pada satu hal: tergantung kenyamanan guru.

Sejatinya, konsep deep learning dalam pendidikan menawarkan harapan. Pembelajaran mendalam mendorong siswa untuk memahami, berpikir kritis, mengaitkan pengetahuan dengan kehidupan nyata, serta membangun makna dari apa yang dipelajari. Di dalam konsep ini, guru tidak lagi sekadar penyampai materi, melainkan fasilitator proses berpikir.

Saya pun teringat firman Allah, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan” (QS Al-‘Alaq: 1). Ayat ini mengingatkan bahwa belajar bukan sekadar rutinitas, melainkan proses memahami ciptaan, merenungi ilmu, dan membangun pemahaman yang mendalam.

Komodifikasi Pendidikan Indonesia: Industri Pendidikan melalui Sekolah Formal Swasta
Setiap sekolah memiliki keunggulan masing-masing. Termasuk sekolah swasta. Ada yang memiliki keunggulan dari kualitas guru, ada yang keunggulannya dari manajemen dan fasilitas, hingga harga murah.

Di atas kertas, gagasan ini terdengar ideal dan relevan dengan tantangan zaman. Namun, pertanyaannya kemudian, apakah perubahan pendekatan belajar otomatis akan menghidupkan guru?

Di sinilah muncul konsep lain yang jarang dibicarakan dalam pelatihan resmi, yakni deep calling. Deep calling adalah kesadaran batin seorang guru bahwa mengajar bukan sekadar profesi, melainkan panggilan hidup. Ia lahir dari keyakinan bahwa setiap perjumpaan dengan murid adalah kesempatan untuk menumbuhkan manusia, bukan sekadar menuntaskan kurikulum. Jika deep learning berbicara tentang metode, maka deep calling berbicara tentang makna.

Guru yang memiliki deep calling akan tetap berusaha menghadirkan pembelajaran bermakna, bahkan tanpa label pelatihan terbaru. Ia akan mencari cara agar muridnya paham, bukan hanya selesai. Ia gelisah ketika muridnya tidak berkembang, dan bersukacita ketika melihat satu saja anak menemukan cahaya dalam belajarnya. Guru semacam ini “hidup” di kelas, serta hadir secara utuh, emosional, dan intelektual.

Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (QS Al-Mujadilah: 11). Ayat ini mengingatkan bahwa guru yang terus mencari ilmu dan menyalurkannya dengan penuh kesadaran akan mendapatkan kedudukan yang mulia, bukan sekadar formalitas.

Menggugat Study Tour
Lepas dari pro-kontra bahkan aksi bully lewat komen di media sosial, memang perlu telaah lebih dalam lagi tentang pelaksanaan study tour. Perlu ditekankan, titik berat kegiatan itu ada pada kata “study” bukan “tour”.

Tanpa deep calling, deep learning berisiko menjadi slogan kosong. Modul diselesaikan, perangkat ajar disusun, istilah-istilah baru dipakai, tetapi ruh pembelajaran tidak berubah. Diskusi menjadi formalitas, proyek menjadi beban administrasi, dan refleksi menjadi isian laporan. Guru tetap mengajar seperti biasa, hanya dengan istilah yang berbeda.

Ini bukan berarti pelatihan deep learning tidak penting. Justru pelatihan itu sangat dibutuhkan sebagai alat, peta, dan penguat kompetensi. Namun, alat tidak akan bermakna jika penggunanya tidak memiliki kehendak untuk bergerak. Peta tidak akan berguna jika tidak ada keinginan untuk berjalan. Di sinilah deep calling menjadi fondasi yang menentukan apakah deep learning akan hidup atau sekadar lewat.

Maka, pertanyaan penting bagi dunia pendidikan bukan hanya “Sudahkah guru dilatih deep learning?”, melainkan juga “Sudahkah guru dibantu menemukan kembali panggilan mengajarnya?”. Pelatihan yang menyentuh sisi teknis perlu disertai ruang refleksi tentang makna menjadi guru, tentang mengapa profesi ini dipilih, dan tentang nilai kemanusiaan yang diperjuangkan di dalamnya.

Pertanyaannya kemudian menjadi lebih tajam: Apakah kebijakan pendidikan sungguh ingin menghidupkan guru, atau sekadar memastikan program berjalan? Apakah pelatihan dirancang untuk menumbuhkan kesadaran, atau hanya untuk memastikan keseragaman?

Jika deep learning hanya dipahami sebagai pendekatan teknis, maka ia akan bernasib sama dengan jargon-jargon sebelumnya: ramai di awal, sunyi di kelas. Tetapi jika pendidikan berani mengakui bahwa persoalan utamanya bukan semata kompetensi, melainkan juga makna dan kemanusiaan guru, maka perubahan mungkin benar-benar terjadi.

Potret Pendidikan Ramah Anak di Perguruan Rahmaniyah Al Islami Depok
Sekolah Islam Terpadu hadir untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak Indonesia dengan mengusung konsep pendidikan berbasis Islam yang berlandaskan Al Qur’an dan As Sunnah. Itulah keunggulan Perguruan Rahmaniyah Al Islami, Depok, Jawa Barat.

Kelas yang hidup itu tidak lahir dari modul yang sempurna, melainkan dari guru yang masih percaya bahwa kehadirannya bermakna. “Tanyakanlah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui” (QS An-Nahl: 43).

Maka, dapat dipastikan bahwa deep learning membutuhkan deep calling. Tanpa itu, pendidikan akan terus bergerak, tetapi tidak benar-benar berjalan ke mana-mana.

Guru yang hidup bukanlah guru yang paling banyak mengikuti pelatihan, melainkan guru yang terus belajar karena ia peduli. Ketika deep learning bertemu dengan deep calling, di sanalah pembelajaran menjadi sungguh-sungguh bermakna, bagi murid, dan bagi guru itu sendiri.

Pada akhirnya, pembelajaran sejati lahir ketika guru dan murid sama-sama disentuh oleh rasa ingin tahu, kesadaran, dan kepedulian. Di sanalah ilmu menjadi hidup, dan hati menjadi cahaya bagi setiap langkah kehidupan.