Deklarasi Kampanye Damai: Antara Lamis dan Harapan

Di halaman depan Gedung Komisi Pemilihan Umum, sekira pukul 15.00 sore, tanggal 27 November 2023, para capres dan cawapres dengan dibimbing oleh Ketua KPU, Hasyim Asyari, mengucap Deklarasi Kampanye Pemilu Damai. Penuh khidmat, Capres dan Cawapres mengikuti kalimat demi kalimat isi deklarasi yang dibacakan oleh Ketua KPU.

Tak banyak pasal. Naskah deklarasi tersebut hanya berisi 3 poin saja. Pertama, mewujudkan Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Kedua, melaksanakan kampanye Pemilu yang aman, tertib, damai, berintegritas, tanpa hoaks, tanpa politisasi SARA dan tanpa politik uang. Ketiga, melaksanakan kampanye pemilu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Acara yang sungguh penting dan bermartabat. Tak hanya para capres dan cawapres, deklarasi juga diikuti oleh para wakil partai yang menjadi kontestan Pemilu 2024, dan para tim sukses yang akan berlaga di lapangan memenangkan paslon masing-masing. Panglima TNI juga hadir, Kapolri juga hadir, demikian juga Jaksa Agung. Menunjukkan betapa seriusnya acara ini.

Rakyat berharap, deklarasi damai bukan hanya lamis (lamis adalah kata dalam bahasa Jawa yang bisa diartikan “pura-pura” atau “tidak jujur”, yang bisa dijelaskan secara etimologi rakyat sebagai akronim dari lambé manis atau “bibir manis”, red), bukan hanya seremonial, atau sekadar rutinitas yang harus dilakukan sekadar demi memenuhi ketentuan perundang-undangan Pemilu. Apalagi jika dimaksudkan hanya sebagai kepura-puraan! Tragis, jika ini yang terjadi.

Baca Juga : PANDEKHA UGM Bersama Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis Soroti Guncangan Demokrasi dan Dinasti Politik

Mulut mengikrarkan deklarasi Pemilu damai, jujur dan adil, tetapi otak dan hati telah menyimpan jutaan rencana kotor. Menyiapkan ribuan siasat untuk mengakali peraturan, menyiapkan dana jumbo untuk suap sana-sini, bahkan tanpa malu mengajari – sekaligus merayu – rakyat untuk memperdagangkan suaranya! Sungguh, ini najis besar yang akan membatalkan daulat rakyat dan menjadikan demokrasi sekadar sebagai komedi putar.

Bukan tanpa alasan jika hal ini disuarakan kembali. Pada Pemilu 2019, deklarasi damai juga sudah dibacakan dan ditanda tangani oleh setiap paslon, tetapi kecurangan tetap merajalela. Parahnya lagi, deklarasi damai bahkan tidak mampu mencegah munculnya polarisasi yang tajam di tengah masyarakat. Kadrun dan Cebong bertarung seru di jagad maya, menabur kebencian, serta membelah persatuan dan kesatuan bangsa.

Bawaslu pada saat itu melaporkan adanya 15.052 pelanggaran sepanjang penyelenggaraan prosesi Pemilu tahun 2019. Jumlah pelanggaran itu meningkat 50 persen jika dibandingkan dengan Pemilu tahun 2014.

Kita khawatir, angka pelanggaran akan semakin massif pada Pemilu kali ini. Pasalnya, ada indikator-indikator awal yang mulai terlihat jelas, yang memungkinkan Pemilu kali ini akan semakin sarat dengan pelanggaran. Kontroversi putusan MK terkait perubahan persyaratan calon capres dan cawapres, adalah salah satu dari indikator itu. Beberapa kasus yang mengindikasikan ketidak-netralan aparatur negara juga terlihat kentara di beberapa daerah, saat kampanye belum lagi dimulai.

Ini semua mengundang keprihatinan sekaligus keraguan, akankah Deklarasi Pemilu Damai berjalan efektif? Sedih, jika deklarasi yang terlihat bermartabat itu, kembali sekadar menjadi pelengkap sempurnanya sandiwara.