Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina Wajid, pada Senin (5/8/2024) mengajukan pengunduran diri dan meninggalkan negara tersebut untuk menuju India dengan menggunakan helikopter militer. Keputusan itu ia ambil setelah beberapa pekan terjadi demonstrasi besar-besaran, yang menyebabkan hampir 100 orang tewas termasuk 13 anggota kepolisian, serta ratusan lainnya terluka, dalam kekerasan di berbagai wilayah Bangladesh.
Demonstrasi pertama kali pecah pada 5 Juni 2024, setelah Mahkamah Agung Bangladesh memutuskan untuk menghidupkan kembali sistem “kuota” yang sebelumnya telah dihapus pada 2018. Sistem kuota itu memberikan hak istimewa dalam pekerjaan pegawai negeri kepada keluarga veteran perang kemerdekaan melawan Pakistan pada awal tahun 1970-an. Kebijakan ini menyebabkan ketidakpuasan masyarakat, karena dianggap tidak adil, mengingat terdapat sekitar 18 juta pemuda Bangladesh yang menganggur.
Di dalam demonstrasi itu, pemerintah menangkap sekitar 5.500 orang, mengerahkan 27.000 tentara, memberlakukan jam malam, dan memutus layanan internet. Pemerintah mengklaim pemadaman internet disebabkan oleh sabotase oleh pengunjuk rasa. Namun, saat layanan internet kembali berfungsi, tersebar video-video kekerasan yang dilakukan oleh petugas keamanan terhadap pengunjuk rasa. Hal itu mengakibatkan kemarahan para demonstran dan menyerukan masyarakat luas untuk tidak membayar pajak, air, listrik, dan tagihan layanan.
Laporan UNICEF yang mengungkap bahwa setidaknya 32 anak terbunuh selama demonstrasi semakin memicu kemarahan publik. Terjadi juga laporan tentang kekejaman oleh kelompok yang berafiliasi dengan partai Liga Awami (partai perdana menteri). Kekejaman tersebut terjadi di tengah resesi ekonomi dan tuduhan korupsi, menjadikannya salah satu krisis kemanusiaan terbesar dalam sejarah modern Bangladesh.
Protes mahasiswa yang awalnya melawan sistem kuota penerimaan pegawai negeri, lalu berkembang menjadi pemberontakan massal yang lebih luas. Sistem kuota, yang pertama kali diterapkan oleh Perdana Menteri Sheikh Mujibur Rahman, ayah dari Sheikh Hasina, bertujuan untuk memberikan peluang kerja bagi keluarga veteran perang kemerdekaan. Namun, seiring berjalannya waktu, sistem ini kehilangan relevansinya dan berubah menjadi alat untuk politik patronase, politik kepentingan untuk keluarga penguasa.
Pemerintahan Sheikh Hasina, yang sebelumnya dipandang sebagai pendukung demokrasi, semakin dikenal karena kebijakan represifnya dan penindasan terhadap oposisi. Selama masa pemerintahannya, Hasina dikenal karena mengubah negara menjadi negeri yang penuh ketakutan, di mana lawan politiknya takut untuk berbicara. Proses pemilu terakhir yang penuh dengan kecurangan dan pemboikotan oleh pihak oposisi semakin memperburuk citra pemerintahannya.
Pada akhirnya, protes yang semakin meluas di Bangladesh memaksa militer untuk menarik dukungan terhadap Perdana Menteri yang melarikan diri ke India. Peristiwa ini menandai babak baru dalam sejarah politik Bangladesh yang penuh dengan kekacauan politik dan harapan akan sistem politik yang lebih adil dan demokratis di masa depan.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!