Detak-Detik Menjelang Berakhirnya Kampanye, Bagaimana Para Pemuda?

Euforia pemilu kali ini terasa berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya. Pesta demokrasi lima tahun sekali itu mempertontonkan pertarungan gagasan dan bukan sekadar menampilkan janji-janji palsu. Tiga paslon yang bertarung dalam Pilpres memiliki karakteristik masing-masing. Benturan ide semakin frontal. Baik di panggung terbuka maupun tertutup. Hanya dua pekan dan satu kali debat tersisa. Kini, masyarakat akan menentukan nasib negeri kita tercinta, Indonesia, selama lima tahun ke depan.

Pesta ini menarik. Sebab, pada pemilu kali ini, mayoritas pemilih adalah para pemilih muda di rentang usia 17 hingga 40 tahun. Mengutip data yang dirilis oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), terdapat 106.358.447 jiwa pemilih muda. Mereka mencakup sekitar 52% dari total angka pemilih. Sebanyak 66.822.389 orang (33,60%) merupakan pemilih dari kalangan Milenial (kelahiran tahun 1981-1996). Dan sebanyak 66.822.389 orang (22,85%) merupakan pemilih dari kalangan Generasi Z (kelahiran tahun 1997-2012).

Data lain dari hasil survei yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan, dari pemilu 2014 dan 2019 pemilih dari kalangan muda yang benar-benar menggunakan hak suaranya mengalami peningkatan. Pada Pemilu 2014, sebanyak 85,9% responden dari kalangan muda mengatakan memilih. Sedangkan 11,8% menyatakan tidak memilih dan 2,3% tidak menjawab. Pada Pemilu 2019, persentase partisipasi pemilih muda itu meningkat. Sebanyak 91,3% responden mengatakan memilih pada Pemilu 2019, diikuti 8% yang tidak memilih, serta 0,7% tidak menjawab.

Berpijak dari data itu, tidak menutup kemungkinan pada tahun ini persentase partisipasi pemilih dari kalangan pemuda akan meningkat lagi. Maka, perlu strategi khusus untuk meraih suara dari pemilih muda. Bagi para pemuda, tidak cukup kampanye dengan hanya bermodal spanduk-spanduk yang terpasang di setiap persimpangan jalan. Pun hanya bendera dan atribut partai yang terpasang di setiap rumah. Sebab, pemuda tidak suka dengan hal itu. Yang mereka inginkan adalah kampanye dengan kegiatan sosial yang praktikal dan mengikut sertakan mereka dalam bertukar gagasan, menyentuh sisi kritis mereka.

Mengutip data dari Jakpat (Jajak Pendapat), sebanyak 70% dari responden yang merupakan Gen Z menyatakan memiliki poin minus pada keadaan penempatan baliho serta spanduk yang tidak resmi. Dan data lanjutan dari Jakpat menyatakan, mayoritas responden Gen Z mengaku mereka paling suka kegiatan sosial (62%), diikuti di bawahnya sebanyak 59% menyukai kampanye secara langsung.

Baca juga: Jelang Akhir Kampanye, Mahfud MD Mengundurkan Diri dari Posisi Menko Polhukam

“Penerapan atribut kampanye juga mempengaruhi persepsi responden. Hal ini terlihat dari Generasi Z, Milenial, dan Generasi X yang sepakat bahwa penempatan billboard dan spanduk tidak resmi merupakan jenis kampanye yang paling mereka tidak sukai,” tulis Jakpat dalam rilisnya.

Angka persentase 52% dari total angka pemilih akan mampu membuat Pilpres menjadi satu putaran saja. Tak elak, sasaran utama kampanye para paslon capres-cawapres adalah kalangan pemuda. Mulai dari melakukan gimmick “gemoy”, live Tik Tok, maupun aktivitas menginap di rumah warga. Semua berlomba mengumpulkan notice dari kalangan pemuda hingga berakhir masa kampanye pada 10 Februari 2024.

Namun, ada pula hoaks (informasi bohong). Seperti dikutip dari databoks, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menemukan ada 96 hoaks terkait Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Puluhan hoaks itu tersebar dalam 355 konten di berbagai media sosial selama periode 17 Juli - 26 November tahun lalu.

Tersisa sekitar 10 hari lagi sebelum kampanye berakhir. Namun, walaupun 4 debat telah berlalu, elektabilitas paslon terlihat tak berubah signifikan. Sangat besar kemungkinan pemilu berlangsung dengan dua putaran. Dan peran pemuda sangat berarti. Maka, gunakan hak pilihmu. Cobloslah pilihanmu dengan kesadaran. Pahami gagasan dan track record mereka. Tidak ada paksaan untuk memilih salah satu paslon tertentu.

Selektiflah dalam menyelami informasi di media sosial. Sebab, bukan hal yang aneh jika menjelang pemilu berita hoaks kian merebak. Instagram dan tiktok antara lain menjadi platform sumber mencari informasi bagi anak muda. Di sanalah biangnya hoax. Jadi, sikap selektif menjaring informasi sangat diperlukan.