Di dalam Islam, Penghormatan terhadap Ibu dan Perempuan Lebih Maju dari Zamannya
Di dalam Islam, penghormatan terhadap ibu yang berjenis kelamin perempuan menjadi prioritas utama dalam kehidupan seorang Muslim, sebagaimana ditegaskan dalam berbagai dalil Al Qur’an dan Hadits.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Ibumu, ibumu, ibumu, kemudian ayahmu” – HR. Bukhari dan Muslim. Hal itu menunjukkan bahwa Islam memberikan penghargaan khusus kepada sosok ibu. Al Qur’an juga memerintahkan umat Islam untuk berbuat baik kepada ibu, yang sering kali mengalami beban fisik dan emosional dalam proses kehamilan, kelahiran, dan pengasuhan anak.
Firman Allah dalam Surat Luqman ayat 14 mengingatkan bahwa ibu telah “mengandung dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapih dalam dua tahun”, sehingga menuntut balas budi dari anak-anaknya. Para ulama klasik dan kontemporer menekankan bahwa penghormatan tinggi terhadap ibu dalam Islam bukan sekadar bentuk budaya, melainkan implementasi dari nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan dalam agama ini.
Imam Al-Ghazali dalam “Ihya Ulumuddin” menegaskan bahwa peran ibu sangat esensial dalam mendidik dan membentuk karakter anak, yang kelak menjadi dasar bagi peradaban. Di dalam pandangan Al-Ghazali, sosok ibu yang dihormati akan melahirkan anak-anak yang menghargai moral dan etika, sekaligus berkontribusi pada kedamaian sosial.
Sementara itu, pakar Islam Barat, Karen Armstrong, dalam “Muhammad: A Prophet for Our Time”, berpendapat bahwa penghormatan terhadap ibu menunjukkan keberpihakan Islam pada posisi perempuan yang mulia di tengah-tengah masyarakat patriarkal pada zamannya, menepis anggapan bahwa Islam merendahkan perempuan.
Secara sains, banyak riset modern mengungkapkan peran vital seorang ibu dalam pembentukan peradaban melalui institusi keluarga. Penelitian psikologi dan sosiologi menunjukkan bahwa ibu memiliki peran besar dalam pembentukan kepribadian dan emosi anak.
Melalui kelekatan emosional, ibu berperan dalam membentuk kecerdasan emosional anak, yang merupakan fondasi bagi stabilitas psikologis individu. John Bowlby, seorang pionir dalam teori keterikatan, menekankan pentingnya hubungan ibu-anak dalam perkembangan mental yang sehat. Pandangan ini selaras dengan ajaran Islam yang menempatkan ibu sebagai sosok pertama yang berperan dalam pendidikan awal anak, bahkan sejak dalam kandungan.
Namun, di era modern, nasib perempuan masih sering kali terpinggirkan. Baik dalam akses pendidikan, kesehatan, maupun dalam aspek ekonomi. Banyak perempuan yang menjadi korban ketidakadilan sosial dan ekonomi, meski Islam sejatinya mengajarkan penghormatan tinggi terhadap kaum ibu dan perempuan secara umum.
Di beberapa negara Eropa, meski pun hak-hak perempuan secara formal dijamin, realitas sosial sering kali menunjukkan adanya diskriminasi terselubung. Misalnya di Prancis, meski pun terdapat undang-undang yang melarang diskriminasi gender di tempat kerja, perempuan masih menghadapi kesenjangan upah yang signifikan dibandingkan laki-laki.
Menurut data Eurostat, rata-rata perempuan di Prancis mendapatkan upah sekitar 15-20% lebih rendah daripada laki-laki untuk pekerjaan yang setara. Selain itu, perempuan sering kali dibebani dengan tanggung jawab rumah tangga yang tidak seimbang, meski pun mereka juga bekerja penuh waktu, yang menciptakan tekanan fisik dan mental yang besar tanpa dukungan sosial yang memadai.
Kesenjangan ini mencerminkan ketidakseimbangan struktural yang masih menghambat perempuan untuk mendapatkan pengakuan dan penghargaan yang seharusnya, meski berada di negara yang dikenal maju dalam hal kesetaraan gender.
Kritik ini penting agar umat Islam tidak terjebak dalam pola budaya yang membatasi peran perempuan, dan kembali kepada ajaran autentik Islam yang memuliakan ibu dan perempuan. Pengakuan ilmiah modern terhadap peran krusial ibu dalam masyarakat ini menjadi apresiasi tak langsung terhadap ajaran Islam yang lebih dahulu menekankan penghormatan pada ibu.
Daniel Goleman, dalam bukunya “Emotional Intelligence”, menegaskan bahwa banyak aspek kecerdasan emosional seorang anak dibentuk oleh ikatan yang dibangun dengan ibu sejak usia dini. Hal ini semakin menegaskan nilai penghormatan pada ibu yang diajarkan Islam.
Di tengah pandangan stereotipe yang menganggap posisi perempuan rendah dalam Islam, nyatanya Islam justru mengangkat martabat ibu dan perempuan sebagai bagian integral dalam pembentukan peradaban. Karen Armstrong dan Fatima Mernissi, misalnya, mengungkapkan bahwa pandangan Islam terhadap perempuan — terutama ibu — adalah pandangan yang progresif pada masanya, di mana Islam menempatkan perempuan dalam posisi yang strategis dan mulia.
Pandangan Armstrong dalam karyanya “The Battle for God” menyoroti bahwa Islam memberikan kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial yang lebih baik dibandingkan tradisi lain pada masa itu. Dengan demikian, ajaran Islam yang memrioritaskan penghormatan terhadap ibu yang berjenis kelamin perempuan sejalan dengan berbagai temuan modern mengenai pentingnya peran ibu dalam keluarga dan masyarakat.
Hal ini sekaligus mengukuhkan bahwa Islam tidak hanya mengedepankan kesalehan individu, tetapi juga memberikan kerangka nilai yang mengutamakan keadilan sosial dan penghormatan terhadap perempuan yang merupakan tiang peradaban.