Di dalam momen Peringatan HUT ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, mengajak seluruh warga bangsa untuk sama-sama melakukan refleksi. Haedar mengatakan, merayakan kemerdekaan tentu dominan mengandung rasa gembira. Hal itu sebagai ekspresi kesyukuran atas karunia Allah Swt yang sangat berharga.
Namun, kegembiraan itu menurut Haedar juga mesti disertai penghayatan terhadap makna merdeka dan nilai-nilai dasar yang menjadi nyawa Indonesia. Sehingga, kegembiraan itu tidak bersifat lahiriah semata. Apalagi berubah menjadi pesta pora. Hal itu disampaikan Haedar pada Jumat (16/8/2024) dalam keterangan tertulis dari Yogyakarta yang diterima Redaksi Sabili.id.
“Apakah Pancasila saat ini benar-benar dijadikan ruh, jiwa, atau nyawa, dalam penyelenggaraan dan kebijakan membangun Negara Republik Indonesia? Apakah seluruh warga dan pemimpin Indonesia senantiasa berpikir, bersikap, dan bertindak di atas landasan nilai utama Pancasila? Pancasila tidak menjadi jargon dan kata-kata belaka?” kata tokoh kelahiran Bandung Selatan, 25 Februari 1958, itu.
Haedar melanjutkan, Pancasila niscaya menjadi praktik hidup berbangsa dan bernegara yang luhur dan utama. Wujudkan dan praktikkan Pancasila dalam kehidupan politik, ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan kebijakan-kebijakan publik secara nyata.
“Kekuasaan dalam pemerintahan negara di eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga-lembaga bentukan pemerintahan lainnya haruslah berdiri tegak di atas nilai dasar Pancasila dan konstitusi Indonesia. Agama dan kebudayaan menjadi nilai luhur yang membentuk dasar moral dan etika berindonesia,” urai Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Haedar menekankan, ketika saat ini bangsa Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun ke-79 Kemerdekaan, ada hal esensial yang harus dilakukan. Yaitu hayati dan praktikkan nilai-nilai dasar yang menjadi nyawa Negara Republik Indonesia itu. Jangan berhenti di kulit luar dan menampilkan kesemerakan lahiriah semata.
“Bangunlah jiwa Indonesia agar lahir Indonesia Raya yang bernyawa. Yakni Indonesia yang benar-benar merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sebagai tujuan dan cita-cita nasional yang digoreskan para pendiri negara. Bawalah negara dan bangsa tercinta ini pada cita-cita luhurnya yang mulia,” imbau suami dari Dr. Hj. Siti Noordjannah Djohantini, MM, M.Si, itu.
Menurut Haedar, rakyat Indonesia menderita selama ratusan tahun akibat kezaliman penjajah yang menikmati bumi dan kekayaan negeri ini. Maka, bermunculanlah pahlawan dari seluruh penjuru Indonesia yang berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan negara ini. Di antara pejuang bangsa itu, banyak yang tidak berpredikat Pahlawan Nasional. Bahkan gugur tanpa nama.
“Karenanya, jangan biarkan Indonesia saat ini mengalami nestapa, apalagi mati suri karena raganya terlepas dari jiwanya. Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, politik uang, politik transaksional, politik dinasti, utang negara, salah urus, dan penyimpangan dalam pengelolaan sumber daya alam, adalah wujud dari pengkhianatan atas jiwa kemerdekaan Indonesia,” tegas ayah dua anak itu pula.
Haedar Nashir menegaskan, kemerosotan moral, etika, dan segala tindakan buruk dalam berbangsa dan bernegara merupakan bentuk perusakan jiwa Indonesia. Jadi, kata dia, kunci Indonesia Raya agar tetap bernyawa dan tidak salah arah dalam memperjuangkannya saat ini berada di pundak para pemimpin bangsa. Karena itu, Haedar berpesan agar para pemimpin Indonesia berjiwa, berpikiran, bersikap, dan bertindak sejalan dengan Pancasila, agama, kebudayaan, dan sejarah Indonesia nan sarat makna. Ia pun mengimbau para pemimpin bangsa agar menjadi para pemimpin negarawan yang mengedepankan kepentingan Indonesia di atas kepentingan diri, kroni, dinasti, dan golongan sendiri.
Haedar lantas mengutip pidato Mr Soepomo yang mengingatkan, “Kepala Negara dan badan-badan Pemerintahan lain harus bersifat pemimpin yang sejati, penunjuk jalan ke arah cita-cita luhur, yang diidam-idamkan oleh rakyat. Negara harus bersifat badan penyelenggara, badan pencipta hukum yang timbul dari hati sanubari rakyat seluruhnya”.
“Para pemimpin Indonesia harus sudah selesai dengan dirinya, dengan mengutamakan sikap memberi dan bukan meminta, apalagi mencuri dari Indonesia,” tegas penulis buku “Indonesia dan Keindonesiaan: Perspektif Sosiologis” itu.
Haedar Nashir lantas mengutip pernyataan Presiden ke-35 Amerika Serikat, John F Kennedy, “Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu, tetapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu”.
“Jangan sampai Indonesia Raya kehilangan nyawa karena warga dan elite bangsanya bertindak sekehendaknya (sendiri). Menjadi elite dan warga pemburu kuasa, tahta, dan gemerlap dunia. Para pemimpin Indonesia termasuk para ilmuwannya, niscaya menjadi penjaga integritas kenegarawan berbasis nilai-nilai luhur Pancasila, agama, dan kebudayaan bangsa,” pesan Haedar.
Terakhir, Haedar berpesan kepada para elite untuk menjaga kebenaran, moral, etika, pengetahuan, dan kemajuan bangsa. Mereka diharapkan konsisten mengutamakan kepentingan negara dan bangsa dengan berkorban sepenuh jiwa dan raga.
“Para elite negeri jangan sibuk membangun legasi dan kepentingan diri yang merusak nilai-nilai luhur dan membebani masa depan Indonesia! Jadilah elite dan warga penyebar kebaikan berbasis iman dan taqwa agar Tuhan memberkahi Indonesia. Keberhasilan Indonesia di bidang ekonomi, politik, dan kemajuan fisik sedigdaya apa pun tidak akan bertahan lama jika negara dan bangsa kehilangan nilai-nilai luhur nan utama. Menjadi Indonesia tanpa nyawa!”pungkas Haedar.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!