Di Negara Maju Pembelajaran Puisi Diterapkan Sejak Dini: Sebuah Keniscayaan Literasi
Di antara deru zaman yang kian cepat, puisi tetap berdiri sebagai oase. Diam, tetapi penuh gema. Di negara-negara maju, puisi bukan sekadar kata-kata yang dirangkai indah. Ia adalah cermin jiwa, jendela budaya, dan perjalanan pikiran. Puisi diajarkan kepada anak-anak sejak dini. Anak-anak belajar bukan hanya membaca, tetapi menelusuri aliran makna yang tersembunyi di antara baris dan bait.
Sastra membuka ruang bagi pembaca untuk merasakan dunia dengan cara yang tak bisa diukur oleh angka atau logika semata. Di dalam puisi, satu kata bisa menyalakan ratusan bayangan di kepala, menumbuhkan empati, dan mengajarkan kesabaran dalam memahami sesuatu yang tak tampak. Di kelas-kelas Finlandia atau Kanada, guru mendorong murid menulis, membacakan, dan mendengarkan puisi, hingga setiap bait menjadi dialog antara pengalaman pribadi dengan pengalaman manusia secara universal.
Bahkan jika kita mempelajari lebih dalam, bahasa Al Qur'an sendiri, yang diturunkan oleh Tuhan langit dan bumi, bersuara lebih indah dari puisi apa pun di muka bumi. Ia tidak hanya menyentuh kedalaman kesadaran. Lebih dari itu, ia menguak sisi fitrah paling esensi dari jiwa manusia. Sehingga, dengan membaca ayat-ayat awal dari surat Thaha saja sudah membuat Umar bin Khatab yang terkenal keras, luluh seketika dan masuk Islam.
Teknologi pun tak menggerus kesakralan puisi. Justru, melalui layar dan jaringan, bait-bait lama bertemu pembaca baru dari belahan dunia lain. Haiku Jepang atau soneta Shakespeare bisa dibaca, direnungkan, bahkan diubah maknanya dalam forum digital, menjadikan sastra hidup dan bergerak.
Namun, keindahan sastra tak selalu mudah dicapai. Ia membutuhkan kesabaran, ketelitian, dan keberanian untuk memasuki ruang yang tak terlihat — ruang di mana kata bukan sekadar alat komunikasi, tetapi perjalanan rasa dan pikiran. Maka, pembelajaran puisi adalah keniscayaan literasi: Bukan hanya mengajarkan bahasa, tetapi mengajarkan hidup.
Di era modern saat ini, literasi tidak hanya terbatas pada kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup pemahaman dan apresiasi terhadap berbagai bentuk ekspresi kreatif, termasuk puisi. Negara-negara maju semisal Finlandia, Jepang, dan Kanada, telah menempatkan pembelajaran puisi sebagai bagian penting dalam kurikulum pendidikan mereka. Fenomena ini bukan sekadar kebetulan, melainkan sebuah keniscayaan dalam membangun literasi yang komprehensif dan mendalam.
Pembelajaran puisi tidak hanya mengajarkan siswa tentang tata bahasa, kosakata, atau struktur sastra. Di negara maju, puisi digunakan sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, empati, dan kreativitas. Dengan menganalisis puisi, siswa belajar menangkap makna yang tersirat, memahami konteks budaya, dan mengeksplorasi perspektif baru. Misalnya, di Finlandia, guru sering menggunakan puisi untuk memicu diskusi tentang nilai sosial dan moral, sekaligus melatih kemampuan interpretatif siswa.
Negara maju mengintegrasikan puisi ke dalam berbagai mata pelajaran, tidak terbatas pada bahasa dan sastra saja. Di Jepang, pembelajaran puisi haiku digunakan untuk mengajarkan siswa tentang hubungan manusia dengan alam dan budaya lokal. Hal ini menunjukkan bahwa puisi bukan sekadar teks, melainkan media pembelajaran lintas disiplin. Integrasi ini juga mendorong siswa untuk aktif berpikir dan mengekspresikan ide, sehingga literasi mereka menjadi lebih hidup dan relevan dengan pengalaman sehari-hari.
Teknologi menjadi salah satu faktor penting dalam pembelajaran puisi di negara maju. Platform digital memungkinkan siswa mengakses karya sastra dari seluruh dunia, berinteraksi dengan komunitas pembaca, dan bahkan menulis serta menerbitkan puisi mereka secara online Amerika Serikat, misalnya, memiliki berbagai portal pendidikan yang menyediakan puisi interaktif, di mana siswa bisa memanipulasi bentuk teks dan bunyi untuk memahami nuansa bahasa. Pendekatan ini tak hanya memperkaya pengalaman belajar, tetapi juga menumbuhkan literasi digital dan kritis secara bersamaan.
Meski pun negara maju berhasil menanamkan literasi puisi, tantangan tetap ada, terutama terkait motivasi siswa dan relevansi konten. Puisi sering dianggap abstrak dan sulit dipahami, sehingga guru perlu mengadopsi metode kreatif, semisal dramatisasi, visualisasi, atau kolaborasi multimedia. Namun, tantangan ini justru menjadi peluang untuk mengembangkan strategi pembelajaran inovatif yang dapat diterapkan secara global.
Pembelajaran puisi di negara maju menunjukkan, literasi sejati tidak hanya soal kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga tentang kemampuan memahami, menafsirkan, dan mengekspresikan ide secara kreatif. Puisi menjadi jembatan antara pengetahuan akademik dengan pengalaman emosional, antara teks dengan konteks sosial. Dengan demikian, menjadikan puisi sebagai bagian dari pendidikan formal bukan lagi pilihan, melainkan keniscayaan bagi pembangunan literasi yang utuh dan adaptif di abad ke-21.
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan budaya dan tradisi. Salah satu bentuk ekspresi budaya yang menonjol adalah puisi. Puisi bukan sekadar rangkaian kata indah, tetapi juga sarana untuk menyampaikan nilai-nilai kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Kearifan lokal merupakan pengetahuan, norma, dan kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat tertentu sebagai bagian dari identitas budaya. Di Indonesia, puisi tradisional semisal pantun, syair, gurindam, dan mantra, memuat pesan moral, ajaran kehidupan, dan nilai-nilai sosial. Misalnya, pantun yang sering digunakan dalam adat pernikahan atau upacara adat mengajarkan tentang kesopanan, gotong royong, dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.
Negeri kita pun tidak kekurangan penyair. Bahkan syair menjadi warisan dan kearifan lokal sejak dulu. Di era 1920 sampai 1980 kita punya Hamzah Fansuri, Muhammad Yamin, Sanusi Pane, Chairil Anwar, WS. Rendra, dan lain-lain. Penyair era 1980 hingga kini diwarnai oleh Joko Pinurbo, Afrizal Malna, Helvy Tiana Rossa, dan lain-lain.
Maka benar, kita memang tak pernah kehilangan penyair-penyair tangguh di negeri ini. Walau pada kenyataannya kebijakan tentang pengajaran puisi hanya sebatas definisi dan tata bahasa sebagai pengetahuan. Bukan pada pemaknaan dan pengalaman reflektif.
Negeri ini terbiasa menafsirkan pembelajaran adalah sekelompok pengetahuan "yang dijejalkan" tanpa memahami ke mana pengetahuan itu harus bermuara. Padahal, sastra adalah jendela dan cermin sekaligus ruang yang membiarkan kita melihat dunia, sekaligus menatap diri sendiri di balik bayangan kata.
Menurut Litbang Kompas (dalam artikel tahun 2025), hanya 2,2% responden yang membaca karya sastra hampir setiap hari. Sebaliknya, 41,1% hanya membaca sastra sesekali dalam sebulan, dan 26,1% responden menyatakan tidak pernah membaca karya sastra. Rendahnya minat sastra bisa jadi terkait dengan faktor pendidikan, ekonomi, dan akses. Survei LSI menyebut pendapatan dan pendidikan sebagai variabel signifikan.
Jadi, bagaimana kabar pembelajaran puisi di negeri kita? Menjawab pertanyaan itu tentu tidak lebih sulit dari mencari jawab atas pertanyaan tentang bagaimana keseriusan pemerintah dalam membangun literasi secara terintegrasi sebagai mata rantai terukur dan terencana dalam membangun peradaban.