Dr. Abdullah Hehamahua: “UU Nomor 19 Tahun 2019 Sakaratulmautkan KPK!”

Dr. Abdullah Hehamahua: “UU Nomor 19 Tahun 2019 Sakaratulmautkan KPK!”
ANTARA FOTO / Wahyu Putro A

Pekan ini publik dikejutkan oleh kabar tentang temuan Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang menyebut ada pungli (pungutan liar, red) di Rutan KPK. Di dalam rilisnya, Anggota Dewas KPK, Albertina Ho, menyebut angka pungli itu mencapai 4 miliar Rupiah! Sungguh nilai yang fantastis, apalagi untuk sebuah lembaga anti korupsi, yang selama ini dicitrakan demikian garang memberangus tindak pidana korupsi dan turunannya semacam suap dan pungli.

Angka 4 Miliar Rupiah itu adalah temuan sementara. Rentang waktunya terjadi mulai Desember 2021 hingga Maret 2022. Mengingat ini adalah temuan sementara, pendalaman kasus memungkinkan adanya temuan yang lebih besar. Menyikapi temuan Dewas KPK tersebut, Mantan Penasihat KPK, Dr. Abdullah Hehamahua, berkenan menjawab pertanyaan Sabili.id dalam sebuah perbincangan. Berikut ini petikan perbincangan itu, kami sajikan untuk pembaca Sabili.id.

Sebagai orang yang pernah menjabat sebagai Penasihat di KPK, bagaimana perasaan Anda mendengar kabar temuan Pungli 4 Miliar Rupiah di Rutan KPK?

Marah. Betul, marah. Rasanya, ingin kuminta DPR agar bubarkan saja KPK. Lebih dari itu, malu aku luar biasa. Rasanya saya tidak mau lagi mengaku sebagai Mantan Penasihat KPK.

Apakah ini mengindikasikan ada masalah yang lebih serius di dalam tubuh KPK era Firli Bahuri?

Analisisku, Firli jadi Ketua KPK dengan dua tujuan. Pertama, melindungi seorang Mantan Petinggi Kepolisian dan Penguasa Rezim yang pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta sebelum Anies, dari diproses hukum. Sebab, ketika menjadi Kapolda Metro Jaya, Mantan Petinggi Kepolisian itu santer diberitakan terlibat dalam kasus buku merah di KPK. Waktu itu, Penguasa Rezim tersebut adalah Gubernur DKI, sehingga diduga terlibat dalam kasus buku merah tersebut.

Kedua, dikhawatirkan Firli jadi Ketua KPK dengan misi membubarkan KPK dengan proses pembusukan dari dalam. Hal ini dilakukan dengan cara merekrut pegawai yang kurang berintegritas, sehingga mudah terlibat korupsi. Firli juga sering melanggar kode etik, sehingga menciptakan image yang buruk di masyarakat. Apalagi, putusan MK (Mahkamah Kostitusi, red) yang memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK tambah menguatkan analisisku ini.

Ambruknya kredibilitas KPK ini apakah ada hubungannya dengan perubahan UU KPK?

Tahun 2019, di acara ILC, saya bilang, UU Nomor 19 Tahun 2019 bukan melemahkan KPK tetapi justru men-sakratulmaut-kan KPK. Indikatornya: Kekuatan KPK yang tidak dipunyai Kepolisian dan Kejaksaan, yakni penyadapan, diamputasi dengan cara harus mendapatkan izin dari Dewas. Padahal, Dewas diangkat oleh Presiden. Sehingga, tidak mungkin Dewas mengizinkan KPK menyadap Presiden atau Menteri koalisinya.

Amputasi kedua, pimpinan tertinggi KPK bukan Komisioner KPK tetapi Dewas. Amputasi ketiga, Komisioner KPK bukan Penyidik dan Penuntut Umum. Dengan demikian, penetapan tersangka bukan oleh Komisioner tetapi oleh Penyidik, sama seperti di Kepolisian. Di sinilah akan terjadi penyalahgunaan kewenangan oleh Penyidik terhadap tersangka, seperti yang terjadi di Kepolisian. Ada candaan di warung kopi, Penyidik akan ATM-kan tersangka sampai habis ATM-nya, barulah dibebaskan dengan penerbitan SP3. Olehnya, amputasi keempat KPK adalah dibenarkannya SP3 bagi KPK, jika dalam waktu dua tahun, kasus terkait belum dibawa ke Pengadilan. Jadi kalau Anda sudah dapat info bahwa akan diproses KPK, maka Anda ke luar negeri selama dua tahun dulu, baru kemudian kembali ke Indonesia karena kasusnya sudah di-SP3.

Amputasi terakhir KPK adalah pasal 11 UU KPK diamandemen, sehingga korupsi bukan lagi kejahatan luar biasa. Amputasi-amputasi tersebut akan melahirkan kesan dalam masyarakat, bahwa KPK tidak beda dengan Kepolisian dan Kejaksaan. Untuk itu, masyarakat akan menganggap, untuk apa dikeluarkan biaya besar kalau KPK sama saja dengan Kepolisian dan Kejaksaan? Di sinilah strategis oligarki agar KPK dibubarkan sehingga mereka kembali leluasa korupsi.

Dengan rekam jejak Firli di KPK yang sering melanggar kode etik, mengapa bisa menjadi Ketua KPK?

Sudah dijelaskan sebelumnya, Firli sengaja dijadikan Ketua KPK agar dapat menyelamatkan Penguasa Rezim yang pernah jadi Gubernur DKI sebelum Anies itu dan koalisinya dari proses hukum. Lagipula, Firli adalah Mantan Deputi Penindakan KPK, sehingga beliau tahu kasus-kasus yang dipunyai Pansel maupun Anggota Komisi 3 DPR.

Menurut Anda, mengapa jabatan Firli malah diperpanjang?

Masa jabatan Firli diperpanjang agar sang Penguasa Rezim yang pernah jadi Gubernur DKI sebelum Anies itu dan koalisinya bisa aman sampai selesai Pilpres 2024. Sebab, jika Desember ini dilantik pimpinan KPK baru, maka mereka bisa proses kasus korupsi anak-anak sang Penguasa Rezim yang pernah jadi Gubernur DKI sebelum Anies itu dan koalisinya. Selain itu, Firli bisa digunakan sang Penguasa Rezim itu untuk membantai lawan politik menjelang Pilpres 2024. Hal tersebut sudah direkayasa, dimana Ketua MK adalah adik ipar sang Penguasa Rezim itu, sehingga bisa memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK.

Apa saran Anda, agar KPK kembali disegani seperti dahulu?

Saran saya, UU KPK dikembalikan ke UU yang lama, agar ia menjadi lembaga negara yang independen. Tidak seperti sekarang dimana KPK merupakan bagian dari eksekutif, sehingga tidak bisa independen. Untuk itu, Capres yang harus dipilih rakyat adalah Capres yang mau mengembalikan KPK ke posisinya semula.

Google News

Komentar Anda:

Anda telah berhasil berlangganan di Sabili.id
Selanjutnya, selesaikan pembayaran untuk akses penuh ke Sabili.id
Assalamu'alaikum! Anda telah berhasil masuk.
Anda gagal masuk. Coba lagi.
Alhamdulillah! Akun Anda telah diaktifkan sepenuhnya, kini Anda memiliki akses ke semua artikel.
Error! Stripe checkout failed.
Alhamdulillah! Your billing info is updated.
Error! Billing info update failed.