Politisi muda, seperti juga anak muda pada umumnya, punya pilihan untuk bisa menikmati masa muda atau membangun sebuah entitas lain di luar politik. Sebab, jalan untuk menjadi politisi muda adalah jalan yang tidak mengenakkan. Penuh tantangan, tekanan, dan dinamika. Tentu berbeda dengan menjadi kaum profesional. Hal itu dikatakan Ketua DPP PKS Bidang Kepemudaan, dr. Gamal Albinsaid, saat menyampaikan sambutan di acara peluncuran program “Pahlawan Demokrasi” bertema “Menang Bermartabat, Menang Menginspirasi” di Kantor DPTP PKS, pada Selasa, 3 September 2024, mulai pukul 14.00 WIB.
“Jalan yang kita miliki adalah jalan yang tidak mengenakkan. Sebab, saya pelajari dan sering sampaikan, kita ini – politisi profesional – paling tidak dipercaya. Kita memilih jalan yang penuh ketidakpercayaan, penuh dengan tekanan dan tantangan. Jalan ini memang tidak mudah dan tidak nyaman. Tetapi, kalau kita bisa membentuk politisi yang baik di jalan ini, maka insya Allah kita akan mampu memiliki kewarisan politisi besar, yang insya Allah akan menjadi kenangan dan menjadi amal baik, kebaikan kita di hari-hari mendatang,” katanya.
Di kesempatan itu, Gamal pun secara resmi meluncurkan “Pahlawan Demokrasi”. “Dengan mengucap ‘bismillahirrahmanirrahim’, kita launching ‘Pahlawan Demokrasi’ sebagai sebuah titik awal untuk melahirkan politisi-politisi muda, pejuang-pejuang politik muda, yang menampilkan keindahan moral dan perjuangan politiknya,” ucapnya saat resmi meluncurkan “Pahlawan Demokrasi”.
Gamal bertutur, dalam berbagai forum demokrasi, ia sering ditanya bagaimana cara memenangkan suara milenial. Ia menyebut, tak suka dengan pertanyaan itu, karena itu pertanyaan yang membuat anak muda seolah-olah sekadar obyek politik, mangsa politik, parkir politik, sasaran politik. Bagi dia, anak muda harus menjadi subyek politik.
“Kita, anak muda, harus menjadi subyek politik. Ide kita, gagasan kita, narasi kita, harus bertemu di panggung demokrasi Indonesia. That's my first point! Jadi, Pahlawan Demokrasi ini hadir untuk mengubah anak-anak muda yang selalunya dijadikan sasaran, mangsa politik, itu lalu menjadi subyek dalam sebuah gerakan politik hari ini, dan bersuara di panggung-panggung demokrasi Indonesia. Pesan saya buat anak-anak muda, juga jangan pilih pemimpin karena kepandaiannya bermedia sosial, gaya bicaranya, (atau) gaya penampilannya, tetapi pilihlah pemimpin yang memahami masalah anak muda, melahirkan ide-ide nyata buat generasi muda hari ini,” pesannya.
Tentang program “Pahlawan Demokrasi” yang diluncurkan kemarin, Gamal lantas menjelaskan, mengapa pahlawan demokrasi menjadi penting. Menurut dia, sejarah membuktikan bahwa anak muda punya saham besar dan menorehkan tinta emas dalam melahirkan bangsa dan negara Indonesia. Misalnya Budi Oetomo yang ketika itu dilahirkan oleh mahasiswa-mahasiswa kedokteran. Walau mereka mahasiswa kedokteran, tetapi kata Gamal, narasi mereka bukan narasi mahasiswa Kesehatan, melainkan mereka mendirikan Budi Oetomo untuk memastikan agar rakyat pribumi bisa mendapatkan kehidupan yang pantas. Dan mereka pun, menurut Gamal, ingin memberikan pendidikan yang berkualitas untuk masyarakat pribumi.
“Di dalam berbagai momentum lahirnya bangsa dan negara Indonesia, kita anak muda selalu memiliki saham besar dan menorehkan tinta emas. Semoga ‘Pahlawan Demokrasi’ ini juga menjadi bagian dari tinta emas dan saham besar kita generasi muda PKS untuk melahirkan solusi-solusi nyata dalam membangun pergerakan moral politik hari ini,” ucapnya.
Gamal melanjutkan, pihaknya menganggap kelahiran gerakan “Pahlawan Demokrasi” menjadi sesuatu yang kompatibel. Sebab, Presiden Pertama Indonesia, Ir. Soekarno atau Bung Karno pernah menulis dalam salah satu artikelnya di “Foreign Policy: Indonesia's First Policy”.
“Beliau (Bung Karno, red) mengatakan, ‘The Republic of Indonesia was born immediately after World War II when a colony became a free country strongly independent. Their slogan wasn't just Sovereign, just Independent, and Prosperous Now this country has a sovereign independent status But it's easy to defend the sovereign To get a complete idea of social justice and prosperity’. Bung Hatta pernah menulis, kita punya cita-cita yaitu kedaulatan, kemandirian, keadilan, lalu kesejahteraan. Sekarang kita sudah memiliki kemandirian, kedaulatan, kemerdekan, tetapi yang kita butuhkan hari ini adalah keadilan dan kesejahteraan,” tegasnya.
Gamal menyebut, siapa pun yang memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan, ia adalah cucu ideologis Bung Hatta. Ia lalu berkisah, pernah suatu kali Presiden Ketiga Indonesia, B.J. Habibie mengundang ia datang ke rumahnya. Di sana, Habibie bertanya “Gamal, kenapa kamu buat program berobat dengan sampah?” Gamal menjawab pertanyaan Habibie. Mendengar jawaban Gamal, Habibie menyebut, “Why? Because you are not blind, you care about them. That is the beginning of everything”. Karena kamu tidak buta, kamu peduli kepada mereka. Itu adalah awal dari segalanya.
“Waktu itu, Eyang Habibie mengatakan, ‘I'm not a politician. I'm a technocrat, but I survive in politics’. Nah, itulah mengapa kita memilih diksi pahlawan. Jadi, kita melahirkan sebuah gerakan moral. We can't simply blame the youth and say that we're ignorant. Kita tidak bisa menyalahkan anak muda dan mengatakan mereka apatis. Jadi, for me, political party is public service. Become politician is become public servant. We’ll serve people who will not forget by our memory. Kita akan melayani orang yang bahkan tidak pernah kita temui dan tidak pernah kita kenal, tetapi mereka layak mendapatkan itu semuanya,” katanya.
Gamal menegaskan, melalui Pahlawan Demokrasi, mereka ingin menanamkan gerakan moral. “Apa saja gerakan moral itu? Pertama, jalan kepemimpinan itu adalah jalan penderitaan. Pemimpin adalah menderita. Kita rindu sosok Muhammad Hatta yang tidak bisa membeli sepatu dari impiannya. Kita rindu sosok Muhammad Natsir yang bahkan dia mengenakan jas bertambal dan mengayuh sepeda ontel ke rumah kontrakannya. Kita rindu sosok Jendral Polisi Hugeng yang meninggalkan rumah dinasnya di Jalan Pattimura lalu pindah ke rumah sederhana di Jalan Madura, Jakarta Pusat. Kita rindu sosok Agus salim yang tinggal dengan istri dan delapan anak dalam satu rumah dengan menjual minyak tanah untuk menghidupi keluarganya. Mereka ingin memberikan pesan kepada kita semua bahwa menjadi pemimpin itu memang harus menderita,” urainya.
Kedua, kata Gamal, perlu kita belajar bagaimana Singapura bisa maju. Menurut dia, Lee Kuan Yew di tahun 1965 menangis di televisi, dan saat itu ia mengatakan, “Ini saat kesedihan. Seluruh kehidupan saya, saya, …” lalu beliau tidak mampu melanjutkan.
“Karena beliau dan Partai Aksi Rakyat yang dipimpinnya yakin bahwa Singapura harus berjabat dengan negara federasi Malaysia. Bagaimana tidak? Dia harus memimpin negara baru, miskin sumber daya alam, sulit air bersih, banyak masyarakatnya rentan malaria, bahan bakar sulit. Tetapi dalam waktu 50-60 tahun, sekarang kita lihat bagaimana Singapura menduduki ranking top di berbagai kategori dan berbagai indikator dunia. Sebuah sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi. Nah, oleh karena itu, saya titip kepada semua cakada agar bagaimana nilai-nilai pahlawan demokrasi mengarahkan kondisionalitas, karena saat ini kita anak muda sudah jengah, jijik, dan ngeh sama politisi-politisi yang mengejar uang dan kekuasaan, lalu melupakan nilai-nilai moral yang selama ini kita perjuangkan,” jelasnya.
Gamal berharap, semoga spirit Pahlawan Demokrasi bisa diimplementasikan. Sebab, menurut dia, tugas mereka bukan sekadar memenangkan kontestasi politik, tetapi lebih jauh dari itu, menginspirasi generasi muda untuk berpolitik dengan santun, bijak, dan berkarakter. Tidak peduli usia, siapa pun yang memiliki ide dan gagasan akan punya tempat untuk mengabdi di negeri ini.
“Cerita kita adalah bagian dari cerita banyak anak muda yang bukanlah siapa-siapa tetapi ingin berbuat sesuatu untuk negerinya,” tegasnya.
Jadilah bagian dari perjuangan Sabili
Bangun Indonesia dengan Literasi!