Dr. Jeje Zaenuddin: “Rohingya Merupakan Problematika Berat yang Sulit Diatasi”
Persoalan kedatangan pengungsi etnis Rohingya ke Indonesia belum menemukan penyelesaian hingga kini. Hal itu pun disoroti Ketua Umum DPP Persatuan Islam (Persis), Dr. Jeje Zaenuddin. Kepada Rafiqi Yahya dari Sabili.id, Ustadz bernama lengkap Jeje Zaenuddin bin Mardi Amsari itu mengatakan, masalah terkait pengungsi Rohingya tidak hanya terbatas dialami di Indonesia, melainkan juga menjadi masalah di beberapa negara. Di Indonesia, masalah di seputar pengungsi pertama kali muncul karena keberadaan pengungsi Rohingya yang ilegal.
“Keberadaan pengungsi Rohingya di Aceh dan wilayah lainnya telah menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat. Terutama menimbulkan penolakan keras dari kalangan mahasiswa. Di satu sisi, mereka adalah bagian dari masyarakat yang terjalin, namun di sisi lain, mereka termasuk dalam masyarakat yang teraniaya. Banyak dari mereka tidak memiliki identitas kependudukan dan akhirnya dikategorikan sebagai stateless karena tidak diberikan kewarganegaraan oleh pemerintah,” katanya.
Pria kelahiran Ciawi Tasikmalaya, 18 Juni 1969, itu menyebut, masalah berikutnya yang timbul dari kedatangan pengungsi Rohingya ke Indonesia adalah hal yang terkait dengan kekurangan identitas kenegaraan. Baik secara keseluruhan maupun sebagian. Kondisi ini menimbulkan kesulitan bagi lembaga pengungsi dunia, terutama UNHCR, untuk menangani persoalan mereka. Kesulitan itu pada akhirnya menciptakan keprihatinan di kalangan masyarakat Aceh.
“Keberadaan pengungsi membawa konsekuensi bagi pemerintah dan masyarakat setempat, yang harus menyediakan lahan dan membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Berapa lama mereka akan tinggal di sana juga menambah tingkat ketidakpastian. Akumulasi masalah ini menimbulkan kebingungan dan ketidak jelasan di kalangan masyarakat setempat. Terdapat dilema antara kewajiban menolong sesama manusia – terutama sesama muslim dan sesama bangsa Asia Tenggara – dengan potensi masalah sosial yang mungkin muncul akibat kehadiran pengungsi. Jika pengungsi diterima dengan baik, diberikan fasilitas yang memadai, hal ini dapat memberikan dorongan motivasi bagi kelompok masyarakat Rohingya yang lainnya untuk juga mencari perlindungan di Aceh atau wilayah Indonesia lainnya,” urainya.
Ustadz Jeje menegaskan, terkait dengan pengungsi, sudah ada hukum internasional yang menentukan bagaimana seharusnya mereka diperlakukan. Jika dilihat dari aspek nilai kemanusiaan dan keagamaan, jelas mereka adalah sesama muslim dan sesama bangsa Asia Tenggara yang sepatutnya diperlakukan dengan baik.
Baca juga: Prof. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA: “Tidak Perlu Memandang Kurang Baik Pengungsi Rohingya”
“Namun, hal ini tidak berarti bahwa para pengungsi juga boleh bersikap dan berperilaku tidak sesuai dengan adat budaya dan tradisi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Aceh. Menurut beberapa sumber atau informasi yang saya dapatkan, terdapat kesimpulan bahwa sebagian dari mereka awalnya memiliki tujuan bukan menuju Indonesia atau Aceh, melainkan menuju negara lain seperti Australia. Namun, mereka mengalami penolakan di sana, sehingga Indonesia menjadi tempat transit. Dampak dari keberadaan mereka di Aceh sebagai tempat transit, mereka tidak selalu menguntungkan bagi masyarakat setempat dan tidak selalu dapat diterima,” katanya.
Menurut Ustadz Jeje, kita juga harus memahami sikap sebagian anggota masyarakat setempat yang sempat menyatakan penolakan terhadap para pengungsi dari Rohingya. Sebab, masyarakat setempat mungkin merasa iri, karena para pengungsi tersebut seakan-akan diperlakukan istimewa. Mereka tanpa usaha, tidak bekerja, namun semua kebutuhan hidup mereka dipenuhi. Di sisi lain, penduduk asli di sana harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari semisal makanan, minuman, dan pakaian.
“Meskipun pelayanan ini seharusnya bersifat sementara, dan bantuan yang diberikan tidak hanya berasal dari anggaran pemerintah daerah tetapi juga dari lembaga-lembaga kemanusiaan swasta, namun (pemberian bantuan kepada pengungsi itu) tetap menimbulkan risiko terjadinya kecemburuan dan ketidak nyamanan di kalangan penduduk setempat,” katanya.
Juga ada beberapa keluhan masyarakat Aceh mengenai perilaku para pengungsi yang cenderung kasar, memaksa, dan mendikte penduduk setempat. Mungkin, hal itu karena perbedaan kultur, budaya, kebiasaan, dan bahasa. Namun, keluhan masyarakat setempat itu menurut dia perlu mendapatkan perhatian.
“Antara keprihatinan dan rasa kasihan atas nasib para pengungsi dengan ketidak nyamanan terhadap perilaku mereka, perbedaan budaya, adat istiadat, dan sikap sosial, merupakan hal yang tidak mudah untuk dipersatukan dan disinkronkan,” sebutnya.
Menyikapi hal itu, menurut Ustadz Jeje Zaenuddin, pemerintah perlu mengambil langkah cepat untuk menyelesaikan masalah itu. Itu kewajiban pemerintah. Masyarakat tidak boleh dibiarkan mengambil tindakan dan hukum sendiri. Sebab, hal itu dapat merusak citra Indonesia di mata bangsa lain dan juga mencederai nilai-nilai keadaban yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Baca juga: Status Pengungsi Menurut Hukum Internasional
“Semua ini merupakan problematika berat yang sulit diatasi. Sehingga, masalah ini perlu dihadapi secara komprehensif oleh pemerintah Indonesia yang berwenang terkait dengan keberadaan para pengungsi, yang dapat disebut sebagai pengungsi ilegal atau pelarian, ke Aceh ini,” tegasnya.
Ustadz Jeje melanjutkan, sebenarnya secara esensi, masalah pengungsi Rohingya ini ada di pemerintahan Myanmar sendiri. Mereka harus bertanggung jawab untuk memberikan perlakuan yang baik terhadap etnis Rohingya.
“Diperlukan tindakan agar tidak ada perilaku zalim, represif, penganiayaan, bahkan kekejaman yang dicurigai masuk ke dalam kategori genosida dan pembersihan etnis. Ini harus diprioritaskan oleh PBB dan negara-negara ASEAN, supaya menekan pemerintah Myanmar agar bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Selain itu, mereka (pemerintah Myanmar) seharusnya mencabut kebijakan yang sangat zalim, yaitu menghapus kewarga negaraan bagi suku Rohingya,” tegasnya.
Ustadz Jeje juga menyoroti aksi mahasiswa yang menjelang akhir tahun lalu mendemo hingga mengusir para pengungsi Rohingya. Menurut dia, itu adalah aksi yang berlebihan. Tentu lebih tepat jika pemerintah segera mengambil langkah-langkah yang jelas dan terukur. Jika para pengungsi itu akan ditampung sementara, harus ada kepastian dan standardisasi mengenai waktu, tempat, dan pengalokasian.
“Menurut hemat saya, jika sampai dilakukan aksi pengusiran paksa dan penyerangan terhadap saudara-saudara kita – para pengungsi Rohingya – itu berlebihan dan tidak sejalan dengan prinsip maupun nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan keberadaban. Ingat ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’ sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia,” katanya.
Terkait dengan penyerangan dan pengusiran yang dilakukan sejumlah mahasiswa setelah melakukan demo dan berbagai tindakan lainnya, Ustadz Jeje menyebut, tentu saja ada pemicunya. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa Indonesia dan negara-negara tetangga, terutama di Asia Tenggara.
Ada dugaan yang mencuat bahwa ada pihak-pihak tertentu yang mendalangi aksi pengusiran tersebut. Bagaimana menurut Ustadz Jeje? “Terkait kemungkinan ada dalang di balik aksi ini, terdapat indikasi ada yang memprovokasi bahkan mendalangi untuk melakukan aksi tersebut. Namun, biarlah hal itu menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan dan menjalankan proses hukum yang jelas,” tutupnya.